Sejarah Alkitab Indonesia

Revisi Terjemahan Leijdecker

Bagikan ke Facebook

Dari Sejarah Alkitab Indonesia

Langsung ke: navigasi, cari
Mengenal Alkitab Anda
Sejarah Alkitab di Indonesia



Awal abad ke-19 ini ditandai dengan didirikannya Lembaga Alkitab Inggris (The Bible Society of Britain and Foreign Parts, sekarang The British and Foreign Bible Society) pada tahun 1804. Disusul dengan Lembaga Alkitab Belanda (Nederlandsch Bijbel Genootschap) pada tahun 1814, dan Lembaga Alkitab Amerika Serikat (American Bible Society) pada tahun 1816. Konon pada tanggal 4 Juni 1814 di bawah pimpinan Gubernur Jendral Thomas Raffles didirikan Lembaga Alkitab di Batavia, tetapi kita tidak mengetahui apa-apa mengenai kegiatan lembaga ini.

Karena terjemahan Alkitab Leijdecker memakai bahasa Melayu tinggi, yaitu bahasa buku kesusastraan, dan banyak memakai kata-kata pinjaman dari bahasa Arab dan Persia, maka terjemahan itu sulit dibaca. Itulah sebabnya timbul berbagai usaha untuk merevisi terjemahan Leijdecker. Antara lain pada tahun 1815 seorang rohaniwan dari Inggris yang bernama Pdt. Wiliam Robinson menerbitkan buku Matius dalam bahasa Melayu Rendah seperti yang lazim dipakai di Batavia pada masa itu. Beberapa tahun kemudian ia mengerjakan buku Yohanes yang diterbitkan di Bengkulu.

Di Pulau Penang seorang pendeta Gereja Anglikan yang bernama Robert Hutchings dengan rekannya J. McGinnis menemukan sekitar 10,000 kata dalam terjemahan Leijdecker yang tidak terdapat dalam Kamus Bahasa Melayu yang disusun oleh William Marsden yang dianggap sebagai kamus baku pada masa itu. Dengan alasan itulah mereka merevisi terjemahan Leijdecker. Revisi Perjanjian Baru diselesaikan dan dicetak di Serampore, India pada tahun 1817, sedang Perjanjian Lamanya dicetak pada tahun 1821 atas pembiayaan Lembaga Alkitab Inggris (BFBS). Penyebaran terbitan ini agaknya hanya terbatas di Penang.

Seorang utusan misi the London Missionary Society (LMS) yang bernama William Milne yang datang ke Semenanjung Malaka pada tahun 1814 meminta pandangan guru bahasa Melayunya mengenai terjemahan Leijdecker. Guru bahasanya adalah Abdullah bin Abdul Kadir yang dikenal dengan sebutan Munsyi Abdullah. Munsyi Abdullah menilai terjemahan Leijdecker kurang wajar bahasanya dan penuh dengan istilah asing. Karena Munsyi Abdullah mengakui keabsahan Kamus Bahasa Melayu William Marsden, maka kamus ini dijadikan patokan untuk merevisi terjemahan Leijdecker. Dan yang mendapat tugas khusus untuk pekerjaan revisi ini adalah Claudius Thomsen, seorang utusan LMS yang lain. Ia bekerjasama dengan Munsyi Abdullah guru bahasanya dalam tugas revisi itu. Thomsen selesai dengan revisi Matius pada tahun 1821. Dengan bantuan Robert Burns, Thomsen menyelesaikan revisi 4 Injil dan Kisah Rasul-rasul pada tahun 1832. Hasil revisi 4 Injil dan Kisah Rasul-rasul ini dicetak sebanyak 1500 eksemplar. Tetapi Munsyi Abdullah tidak puas dengan hasil pekerjaan Thomsen ini. Tetapi masalahnya bukan saja pemakaian bahasa melayunya, yang dipersoalkan juga istilah-istilah Kristiani seperti "Kerajaan Syurga", "Anak Allah", "Mulut Allah", (Sabda/Firman Allah), "Bapa-ku yang ada di Syurga" dsb.

Sementara itu di Pulau Jawa, Perjanjian Baru dalam bahasa Melayu rendah dialek Surabaya dikerjakan oleh seorang tukang reparasi jam yang bernama Johannes Emde beserta kawan-kawannya. Emde yang beristrikan seorang Jawa adalah pemimpin awam dari suatu Kumpulan Kristiani di Surabaya. Ia rajin menginjil, tetapi prihatin akan sukarnya terjemahan Leijdecker dipahami. Emde dan teman-temannya mulai merevisi dan naskahnya diperiksa oleh seorang pendeta Belanda yang bernama D. Lenting dan penginjil Inggris yang bernama Walter Henry Medhurst. Hasil jerih payah mereka diterbitkan di Batavia pada tahun 1835 dan biayanya ditanggung oleh anggota Kumpulan Kristiani di Surabaya tersebut. Kelompok ini juga menyiapkan Buku Mazmur.

Inilah "Doa Bapa Kami" dalam terjemahan Emde dkk:

Bapa kita, jang ada disorga!
namamoe depersoetjikan.
Karadjaanmoe dedatangkan:
kahendakmoe dedjadikan,
saperti didalam sorga, bagitoe lagi diatas boemi.
Reziki kita sahari-hari brilah akan kita pada hari ini.
Dan ampoenilah pada kita segala kasalahan kita,
saperti lagi kita ini mengampoeni
pada orang jang bersalah kapada kita.
Dan djanganlah membawa kita kapada pertjobaan,
hanya lepaskan kita deri pada jang djahat.
(Indjil Mattheus - Batavia 1835 - terjemahan J. Emde dkk).

Usaha menyalin Alkitab dalam bahasa yang mudah dimengerti itu terus dilaksanakan diberbagai tempat di Kepulauan Indonesia, antara lain C.T. Hermann dari Minahasa menerbitkan buku Matius pada tahun 1850. J.G. Bierhaus menerbitkan buku Markus pada tahun 1856. Nathaniel M. Ward dari Padang menerbitkan buku Kejadian pada tahun 1858. B.N.I. Roskott dari Ambon mengerjakan seluruh Perjanjian Baru yang dicetak setelah ia meninggal dunia.

Sekembalinya Thomsen ke Inggris pada tahun 1832, usaha revisi di Semenanjung Malaka tersendat-sendat sampai seorang utusan LMS yang bernama Benjamin Keasberry melaksanakan tugas tersebut. Keasberry juga bekerjasama dengan guru bahasanya Munsyi Abdullah. Pekerjaan revisi penerjemahan dan penerbitannya didukung oleh Lembaga Alkitab Inggris (BFBS). Akhirnya Perjanjian Baru lengkap dicetak di Singapura pada tahun 1852 menggunakan aksara Latin, dan pada tahun 1856 dicetaklah edisi aksara Arab (Jawi). Terbitlah ini disebarkan di Semenanjung Malaka dan di Sumatra serta Borneo (sekarang Kalimantan). Keasberry sempat menyelesaikan beberapa buku Perjanjian Lama tetapi tidak sempat diterbitkan karena ia meninggal pada tahun 1875. Agaknya hanya hasil pekerjaan Keasberry lah yang tidak dikritik oleh Munsyi Abdullah.


Bibliografi
Artikel ini diambil dari:
Soesilo, Dr. Daud H., Ph.D. 2001. Mengenal Alkitab Anda. Lembaga Alkitab Indonesia, Jakarta.
kembali ke atas