Sejarah Alkitab Indonesia

Organisasi, Ajaran, dan Kehidupan Gereja Pada Zaman VOC

Bagikan ke Facebook

Dari Sejarah Alkitab Indonesia

Langsung ke: navigasi, cari
Sejarah Gereja di Indonesia
Sejarah Alkitab di Indonesia



Tidaklah perlu diuraikan lebih lanjut, bahwa pada zaman ini VOC Gereja di Belandalah yang merupakan ibu-gereja bagi Gereja di Indonesia. Memang sebenarnya ia tak berkewibawaan apapun atas Gereja di Indonesia itu. Sudah kita lihat bahwa pemerintah VOC sama sekali tak meluaskannya dan hampir-hampir tak memberikan suatu kebebasan yang sesungguhnya kepada Gereja di Indonesia. Mereka juga tidak banyak memperdulikan protes-protes serta peringatan-peringatan yang dikeluarkan oleh synode-synode propinsi di Belanda, yang sekali-sekali mengeluarkan suaranya yang tegas. Tambahan pula, VOC-lah yang menanggung segala ongkos pengeluaran Gereja dan juga tak mengizinkan bahwa oleh pihak lain, misalnya oleh "ibu-gereja", disediakan wang bagi Gereja di Indonesia. Segala-galanya harus datang dari pihak pemerintah, ya sebenarnyalah ia ingin berkuasa atas segala hal. Namun demikian besar juga pengaruh rohani dari Gereja di Belanda. Bentuk-bentuk organisasinya, dasar-dasar pengakuan imannya, ketentuan-ketentuan siasat gerejanya, corak-corak kehidupan gerejanya, dengan sendirinya menjadi juga contoh dan ukuran di Indonesia. Dan pengaruh ini berlaku seberapa hal itu sesuai dengan maksud-maksud pemerintah serta di dalam keadaan-keadaan yang memungkinkannya di Indonesia. Orang tidak menghendaki apapun melainkan supaya Gereja di Indonesia ini dibangun "sesuai dengan aturan jemaat gereformeerd (menurut ajaran Calvin) di tanah air", sebagaimana dinyatakan oleh wakil pemerintah pada sidang am pertama di Jakarta tahun 1642. Dikatakan harus sesuai dengan bentuk Gereja-gereja kalvinis di Belanda, tetapi bagaimanakah harus melaksanakan suatu tata-gereja presbyterial di daerah-daerah ini? Sebab, bukankah pertama-tama harus ada jemaat yang berdiri sendiri lengkap dengan majelis-majelis gerejanya yang dipilih sendiri, berhak untuk memanggil serta meneguhkan pendeta-pendetanya sendiri, memiliki kebebasan serta kemerdekaan untuk memimpin jemaat-jemaat setempat. Dan selanjutnya, sama seperti di tanah tumpah darah, jemaat-jemaat ini akan digabungkan di dalam klasis-klasis, dan klasis-klasis ini di dalam suatu badan synodal. Akan tetapi sebenarnya maksud ini gagal di Indonesia. Memang ada terdapat beberapa jemaat, tetapi betapa berjauhan satu daripada yang lain! Betapa lemahnya, betapa tergantung kepada pendudukan orang-orang Eropa, atas faktor-faktor di Banda, Kupang, Ternate ataupun Ambon dan tempat-tempat lain! Betapa sukarnya bagi jemaat-jemaat ini untuk membentuk suatu kelompok yang tetap di dalam masyarakat yang selalu berubah itu. Dan betapa berjauhan tinggalnya golongan-golongan, yang terhisab pada jemaat ini. Lagipula, tidaklah dibentuk jemaat Indonesia tersendiri di samping jemaat-jemaat Eropa, sungguhpun sudah barang tentu diadakan kebaktian-kebaktian tersendiri menurut golongan-golongan bahasa. (Di Jakarta misalnya terdapat satu bagian jemaat khusus untuk orang-orang "mardeika" yang berbahasa Portugis dan yang berbahasa Melayu. Di Ambon terdapat satu jemaat, yang di dalamnya termasuk juga jemaat-jemaat kampung dari seluruh pulau itu, ya bahkan dari Saparua dan Haruku). Dengan sendirinya terdapat lebih banyak penatua-penatua serta syamas-syamas bangsa Eropa. Bahkan di Jakarta hanya terdapat orang-orang Eropa di dalam majelis gereja. Akan tetapi juga dimana ada orang-orang Indonesia menjadi anggota, hampir-hampir mereka tiada bersuara apapun. Perbedaan tingkat dan perbawa demikian besar di dalam masyarakat kolonial, sehingga sukar untuk bekerja-sama secara menguntungkan. Tambahan pula majelis-majelis gereja itu seluruhnya berbahasa Belanda. Orang-orang Kristen Indonesia yang ribuan banyaknya itu sebenarnya tiada bersuara di dalamnya, bukannya pertama-tama oleh sebab mereka disendirikan, melainkan oleh sebab dasar-dasar tata-gereja presbyterial dari negeri Belanda tersebut kurang sesuai dalam masyarakat kolonial ini untuk suatu perkembangan yang subur bagi orang-orang Kristen Indonesia.

Soal lain pula ialah hak untuk memanggil pendeta-pendeta. Bagaimanakah hal itu bisa dilaksanakan sedangkan jarak-jarak yang begitu jauh tidak memungkinkah untuk mengenal dan dapat memilih pendeta yang akan dipanggil itu. Dapatlah dikatakan, bahwa mengingat keadaan-keadaan geografi maka perlu diadakan semacam pusat pimpinan Gereja. Artinya bahwa hak jemaat untuk memanggil setidak-tidaknya harus ditempatkan pada suatu instansi Gereja yang tertinggi. Sebenarnya pemerintah VOC telah merampas begitu saja hak ini. Biarpun para pendeta dan juga "ibu-gereja" di Belanda memajukan keberatan-keberatannya dengan tegas, namun para penguasa di Indonesia tetap berpegang keras pada haknya untuk menempatkan serta memindahkan pendeta-pendeta menurut kebijaksanaan mereka.

Dan hanya dalam satu hal Gereja di Belanda dapat melaksanakan hak-gerejanya, yaitu bahwa synode-synode provinsi dari Noord-ataupun Zuid-Holland ataupun Zeeland -- artinya provinsi-provinsi pantai yang banyak sangkut-pautnya dengan VOC -- dapat memilih pejabat-pejabat Gereja sendiri, meneguhkannya serta mengutusnya, biarpun memang hal itu terjadi dengan persetujuan tuan-tuan XVII. Akan tetapi jelaslah, bahwa hal ini tidak mempunyai arti apapun bagi pertumbuhan, serta kemerdekaan Gereja-gereja di Indonesia. Ternyata bahwa suatu tata-gereja presbyterial tidak dapat dijalankan begitu saja.

Lebih-lebih jika mengingat organisasi Gereja maka hal tadi jelas pula. Bagaimanakah dapat membentuk klasis-klasis sedangkan jarak-jarak antara jemaat yang satu dengan lainnya itu sangat jauh sekali? Bahkan bagaimanakah dapat mengadakan suatu rapat synodal biarpun hanya sekali dalam tiga tahun, sedangkan perjalanan pulang-pergi dari beberapa utusan sekurang-kurangnya memakan waktu setengah tahun! Keadaan-keadaan geografis memang memaksa orang untuk mengurus segala sesuatu dari atas. Dan siapa lagi yang dapat memegang pimpinan selain daripada Jakarta, yaitu jemaat di ibukota yang dekat pada pemerintah? Beralaskan dasar-dasar gereformeerd maka "ibu-gereja" telah melawan tindakan-tindakan itu sekeras-kerasnya. Akan tetapi orang-orang Kristen di Indonesia memang mengerti, bahwa mau tak mau hal itu harus terjadi demikian. Jakarta ialah pusat segala sesuatu. Pemusatan kekuasaan di ibukota mengakibatkan juga suatu pemusatan organisasi Gereja. Jadi maksud untuk menyesuaikan organisasi Gereja di Indonesia dengan Gereja di negeri Belanda boleh dikatakan hampir tidak terlaksana. Pada hakekatnya sia-sialah usaha Ds. Danckaerts yang mencoba untuk menyusun tata gereja baru yang sesuai dengan tata gereja yang ditetapkan oleh synode Dordrekht.

Lebih mudahlah persoalan mengenai pengakuan dan ajaran Gereja. Ketiga pasal keesaan, ialah pasal-pasal ajaran Synode Dordrekht, pengakuan iman Belanda, dan Katekismus Heidelberg merupakan dasar-dasar yang kuat bagi Gereja di Indonesia pada waktu itu. Tiap "agama" lain tidak diperbolehkan, termasuk tentunya Gereja RK, akan tetapi juga konfesi-konfesi Reformasi yang lain, misalnya Remonstran, Lutheri dsb. Baru pada tahun 1745 Gubernur Jenderal Imhoff membolehkan didirikannya suatu jemaat Lutheri di Jakarta disebabkan adanya pasukan sewaan Jerman. Ajaran diawasi dengan tegas supaya tetap murni dan tidak boleh dinodai. Akan tetapi rupa-rupanya jaranag ada alasan untuk bertengkar tentang perbedaan-bedaan ajaran ataupun untuk menyelidiki ajaran-ajaran sesat. Jadi dalam hal ajaran ada tercapai persesuaian dengan "ibu-gereja". Makanya sejak mulanya diusahakan untuk memperoleh terjemahan-terjemahan dari Katekismus Heidelberg, formulir-formulir tentang baptisan dan perjamuan kudus dsb. Juga terjemahan buku pertanyaan karangan Marnix sejak permulaan memainkan peranan yang penting. VOC telah menerbitkan dan menyiarkan beribu-ribu buku kecil itu.

Sudah barang tentu yang terutama diperlukan ialah terjemahan Alkitab. Dengan kagumnya kita melihat terjadinya terjemahan-terjemahan Alkitab dalam jumlah yang banyak. Pada tahun 1629 keluarlah terjemahan Perjanjian Baru, pada tahun 1648 keempat kitab Injil, pada tahun 1668 seluruh Perjanjian Baru dan kitab Kejadian (Ds. Brouwerius). Pada akhirnya seorang pendeta di Jakarta, yaitu Leydekker menyelesaikan seluruh terjemahan Alkitab sesudah bekerja bertahun-tahun dengan rajinnya. Untuk tugas yang besar dan berat itu ia telah dibebaskan dari pekerjaannya sebagai pendeta. Tetapi pada tahun 1701 meninggallah ia sebelum tugasnya itu selesai. Mulai dari Epesus 6:6 terjemahan itu diteruskan oleh penggantinya, yaitu Ds. P. van der Vorm. Lalu seluruh terjemahan itu diperiksa sekali lagi oleh seorang pendeta Swis, namanya Werndly. Pada tahun 1723 siaplah Alkitab itu untuk dicetak, akan tetapi barulah pada tahun 1733 keluar cetakan yang pertama. Sebenarnya lebih dari dua puluh tahun lamanya naskah-naskah itu disimpan di dalam lemari tuan-tuan XVII. Sebabnya ialah karena mereka menunggu berakhirnya suatu pertikaian yang disebabkan oleh Ds. Valentiyn. Pendeta ini -- di samping pekerjaannya sebagai pendeta dan penulis dari 5 jilid buku "Oud en Nieuw Oost Indiƫ" -- telah menterjemahkan pula Alkitab ke dalam bahasa Melayu Ambon dan mencoba supaya terjemahannya itu yang dicetak dan bukan terjemahan Leydekker. Pendapatnya ialah bahwa bahasa tinggi dari Leydekker itu toh tidak akan dimengerti oleh orang-orang Kristen di Indonesia bagian timur. Akhirnya VOC memberi putusan yang lain, dan justru terjemahan Leydekkerlah seakan-akan memperoleh nilai pusaka di Timur Besar.

Sebagaimana "ibu-gereja" hendak menjadi suatu Gereja di bawah Alkitab, demikian juga halnya dengan anaknya di Indonesia. Meskipun begitu agak mengherankan kita, bahwa sesudah seabad berselang barulah diberikannya kepadanya segenap Alkitab. Akan tetapi hal itu tentu disebabkan juga oleh kenyataan, bahwa untuk kebaktian-kebaktian Belanda setidak-tidaknya orang memiliki Alkitab Belanda yang disebut "Statenvertaling". Dan selanjutnya untuk dipergunakan oleh "para guru" ternyata cukuplah buku-buku katekisasi dan terjemahan-terjemahan kitab-kitab Injil yang sudah disebut tadi itu. Dalam hubungan ini patut disebutkan bahwa juga orang-orang Kristen berbahasa Portugis memperoleh Alkitabnya di dalam bahasa Portugis. Malah terdapat tiga terjemahan Perjanjian Baru dalam bahasa Portugis. Tetapi yang diterima dan dicetak di Belanda pada tahun 1681, ialah terjemahan Ferreira (lih. hlm. 51), seorang keturunan Portugis. Terjemahan Perjanjian Lama yang pada tahun 1691 hampir selesai ketika Ferreira meninggal dunia, barulah dicetak pada tahun 1753.

Persesuaian itu tentunya meliputi juga penggunaan nyanyian-nyanyian mazmur di dalam kebaktian-kebaktian. Pada permulaan abad ke-17 kita jumpai sudah di Banda empat nyanyian gereja yang pertama, yaitu "Kesepuluh firman", "doa Bapa Kami", "Mazmur 100" yang telah digubah dan sebuah "nyanyian malam". Hingga 1652, terutama oleh Heurnius, selesailah dikarang 150 nyanyian mazmur. Kira-kira seabad kemudian jaitu pada tahun 1735 terbitlah suatu terjemahan serta gubahan baru oleh Ds. Werndly. Memang tidaklah mungkin untuk menyesuaikan juga lagunya dengan "ibu-gereja". Sejak tahun 1624 sudah sering diadakan surat-menyurat, bahwa hendaknya ditinggalkan saja "cara Inggris" dalam menyanyikan mazmur-mazmur itu. Sebenarnya "cara Inggris" ini tak ada sangkut pautnya dengan cara pembacaan mazmur di dalam doa pagi dan malam di Gereja Anglikan, dimana seorang juru baca (liturg) dan jemaat berganti-ganti dalam mengucapkan ayat-ayat mazmur. Kesulitan terutama untuk mengucapkan mazmur-mazmur itu sebaris demi sebaris sebelum jemaat menyanyi ialah kurangnya buku-buku nyanyian mazmur dan tidak pandainya kebanyakan orang-orang Kristen Indonesia membacanya.

Hal yang selanjutnya sesuai ialah bahwa khotbah itu dengan sendirinya merupakan hal yang utama di dalam kebaktian. Memang hanya pendeta-pendeta saja yang boleh mengadakan khotbah. Akan tetapi dalam hal kekurangan pejabat-pejabat yang berwenang maka orang membutuhkan juga para penghibur-orang-sakit dan para guru Indonesia, tetapi yang tidak berhak untuk membuat khotbahnya sendiri. Mereka hanya boleh membacakan khotbah-khotbah saja. Terutama kumpulan-kumpulan khotbah dalam bahasa Melayu karangan Wiltens, Caron dan Molanus, yang beberapa kali dicetak-ulang, yang dipergunakan untuk maksud itu. Malah doa-doa untuk kebaktian-kebaktian tidak diperbolehkan diucapkan secara bebas. Oleh karena itulah maka diterbitkan dalam satu jilid buku katekismus, pasal-pasal keesaan dan doa-doa.

Gereja di Belanda selalu mendesak, supaya "Gereja di Indonesia tidak menyimpang dari cara-cara yang berlaku di dalam Gereja kalvinis di negeri Belanda." Dan di dalam tata-gereja 1643 dengan tegas dikatakan: "Perlulah juga, bahwa pengawasan terhadap orang-orang Kristen Indonesia diperkeras, agar supaya merekapun di dalam kebiasaan-kebiasaannya secara lahir sesuai dengan cara-cara orang-orang Belanda." Hal ini dilaksanakan demikian keras sehingga juga diharuskan memakai pakaian-gereja hitam yang diuntukkan bagi para penatua dan syamas-syamas. Bahkan sesuai dengan kebiasaan di Gereja Belanda maka Katekismus juga dikhotbahkan, dan malahan jam Kebaktian Katekismus disesuaikan dengan cara Belanda yaitu jam 3 petang.

Akan tetapi persesuaian itu tidak dapat dicapai dalam beberapa hal. Terutama dalam soal-soal baptisan dan perjamuan kudus. Dalam soal baptisan misalnya, orang segera menghadapi kesulitan-kesulitan yang tak dapat dipecahkan oleh "ibu-gereja". Pertama-tama orang menghadapi soal, apakah anak-anak boleh dipermandikan jika mereka itu lahir di luar perkawinan yang sah antara seorang Kristen Eropa dengan seorang wanita Indonesia, dan apakah "anak-anak kafir" boleh dipermandikan jika mereka itu menjadi anak-anak angkat dari orang-orang Kristen. Mengenai soal pertama baptisan itu diperbolehkan, jika salah seorang dari orang tua adalah anggota jemaat. Soal kedua lebih sukar jawabannya. Yang disebut anak-anak angkat ialah sebenarnya anak-anak yang lahir dari perhubungan antara seorang Eropa dengan seorang budak perempuan Indonesia. Disebabkan oleh baptisan yang diterimanya maka mereka memperoleh juga hak untuk menjadi warga-negara Belanda. Mengenai soal ini Synode Dordrekht memberi nasehat, untuk membiarkan dulu anak-anak ini lanjut dalam usianya dan mengajar mereka sebaik-baiknya, sebelum mereka dibaptiskan. Akan tetapi kemudiannya menjadi kebiasaan untuk toh membaptiskan anak-anak ini, jika dapat diunjukkan surat keterangan adopsi. Mengenai baptisan untuk anak-anak Indonesia yang ibu bapanya masih berada didalam kekafiran telah dicarikan jalan sendiri oleh "synode am" pertama pada tahun 1620. Diusulkan supaya terhadap anak-anak sedemikian diadakan upacara pemberkatan saja. Kelak apabila mereka sudah dewasa mereka dapat meminta sendiri untuk dibaptiskan sesudah memperoleh didikan dalam kepercayaan Kristen. Akan tetapi kebiasaan "penyerahan" dan "pentahbisan" ini tidak diperbolehkan oleh ibu-gereja Belanda.

Pertanyaan-pertanyaan tadi itu pada hakekatnya sudah menunjukkan ke arah suatu persoalan, yang menjadi sangat penting bagi Gereja di Indonesia dan yang akibat-akibatnya masih nampak di beberapa daerah. Persoalan itu ialah pemisahan sakramen-sakramen. Singkatnya soal itu ialah kalau-kalau mereka yang sudah dibaptisknan itu juga langsung dapat diperbolehkan ikut serta dalam perjamuan kudus ataukah sebelumnya itu mereka harus dahulu mendapat pelajaran yang lebih dalam tentang kepercayaan Kristen. Dengan kata lain: dapatkah sakramen Perjamuan Kudus dipisahkan daripada sakramen Baptisan dengan menyelipkan lagi suatu pengajaran kateksasi di antara kedua sakramen itu? Jadi sebenarnya yang menjadi persoalan ialah baptisan orang dewasa, sedangkan baptisan anak-anak dengan sendirinya diikuti kemudian oleh pelajaran katekisasi, sehingga menjadi sidi dan diperbolehkan duduk pada meja perjamuan Tuhan. Rupa-rupanya persoalah ini sudah terdapat pada zaman Portugis. Para padri memang merasakan betapa sukarnya untuk memperbolehkan begitu saja beribu-ribu orang-orang Kristen, yang kadang-kadang dibaptiskan tanpa memperoleh suatu pengajaran apapun, ikut serta dalam sakramen komuni. Kecuali di Ambon sendiri, dimana oleh pemeliharaan rohani dapat diadakan pengajaran seperlunya, maka pada umumnya seorang yang baru dibaptiskan hampir-hampir tak diperbolehkan mengikuti komuni. Kira-kira keadaan yang serupa itu kita dapati di mana saja ada segolongan bangsa Indonesia menjadi anggota Gereja oleh baptisan massa, tanpa persediaan yang mendalam.

Peraturan Gereja sebelumnya itu jelas. Synode Dordrekht dengan tegas telah menetapkan, bahwa orang-orang dewasa yang telah menjadi anggota Gereja oleh baptisan dewasa, pada kesempatan pertama harus juga duduk pada meja perjamuan. Akan tetapi bagaimanakah hal itu dapat dilaksanakan pada orang banyak, yang pada suatu perkunjungan singkat sering dibaptiskan tanpa diberi pengajaran yang mendalam? Sering juga dilakukan pembaptisan yang serba cepat, sebab dengan demikian para pendeta menyangka dapat menghindarkan orang-orang kafir dari pengaruh Islam. Bahkan untuk mengajak orang-orang lain supaya menganut agama Kristen. "Juga untuk menyatakan betapa senangnya kita, bahwa penduduk-penduduk kita yang beragama kafir dan Islam itu boleh mencari keselamatannya pada Juru Selamat yang satu-satunya yaitu Tuhan Yesus Kristus", maka kepada "tiap-tiap orang bumiputera" yang minta dibaptiskan, diberikan suatu hadiah wang. Pendeta yang membaptiskannyapun menerima semacam "wang murid" dan bahkan sang raja, yang membawa orang-orang kafir itu, mendapat upah. Bagaimanapun juga, cara pembaptisan serba cepat ini terhadap "orang-orang Kristen nasi" itu akan hanya dapat dipertanggung-jawabkan, jika segera dapat dijamin suatu pengajaran dan pemeliharaan rohani yang mencukupi bagi orang-orang yang baru dibaptiskan itu. Tetapi hal ini tak pernah dilaksanakan. Satu-satunya hal yang dilihat oleh orang-orang Kristen ini ialah perkunjungan-perkunjungan yang hanya sekali-sekali diadakan oleh para pendeta dan para penghibur orang sakit, yang jumlahnya hanya sedikit, itupun juga sering bertahun-tahun sesudah baptisan. Karena itu tidaklah mengherankan, bahwa misalnya Ds Brand pada tahun 1705 di Siau sama sekali tidak melayani perjamuan kudus, malah merasa tidak perlu untuk berkhotbah di hadapan sekian banyak orang yang sama sekali bodoh itu. "Diantara 3298 orang yang telah dibaptiskan agaknya tidak ada seorangpun anggota jemaat"! Inilah juga salah satu akibat yang menyedihkan dari praktek baptisan ini bahwa hampir-hampir tidak ada seorangpun yang menjadi anggota tetap di dalam jemaat itu. Misalnya statistik yang berikut memperlihatkan kepada kita keadaan yang menyedihkan itu:

Tahun Tempat Jumlah yang
dibaptiskan
Jumlah yang menjadi
anggota tetap
1708 di pulau Seram 1132 33
1710 Ternate 432 39
1741 Roti 964 4
1754 Kisar 425 0
1754 Banda 1088 72
1762 Ambon 27311 963
1771 Sangir dan Minahasa 12396 34

Dan kehidupan rohani apakah yang dapat diharapkan dari suatu Gereja, jika rata-rata hanya 3% dari orang-orang Kristen itu yang diperbolehkan turut serta dalam perjamuan kudus?! Dalam hal ini timbul kesangsian kita bahwa mereka belum memutuskan keadaannya dahulu yang bersifat kekafiran. Juga kita menaruh sangsi bahwa tidak terjadi suatu perhubungan yang sesungguhnya dengan Tuhan Yesus Kristus, bahwa mereka tidak menyadari bahwa mereka merupakan GerejaNya. Mereka hanyalah "orang-orang Kristen mulut", "orang-orang Kristen tanpa Kristus", orang-orang "Laodikea". Itulah sebutan-sebutan yang sering terbaca di dalam laporan-laporan para pendeta. Akan tetapi apa boleh buat? "Didesak oleh ketakutan akan agama Islam, dan oleh pertimbangan bahwa suatu pengkristenan secara cepat dan sekali gus adalah cara bekerja yang tepat, baik ditinjau dari sudut pekabaran injil maupun politik", maka praktek semacam itu diteruskanlah. Dan itu terjadi walaupun ada suara-suara yang memperingatkan agar supaya lebih berhati-hati, seperti yang dapat kita baca di dalam tatagereja Ambon 1673 yang bunyinya sebagai berikut: "juga orang-orang yang sudah dewasa baik yang merdeka maupun yang budak, tidak boleh semudahnya dibawa kepada baptisan......"

Sebenarnya dengan cara bekerja seperti ini maka "pemisahan sakramen" sudah menjadi kenyataan. Bagaimanapun aneh kedengarannya, tetapi di dalam keadaan-keadaan ini maka hal itulah satu-satunya jalan untuk toh masih dapat mempertahankan sedikit taraf kerohanian Gereja. Sebab apakah yang akan terjadi jika orang banyak yang baru dibaptiskan itu diperbolehkan duduk pada meja Tuhan, tanpa kesadaran sedikitpun pada mereka apakah sebenarnya ini kepercayaan mereka dan khusus artinya perjamuan kudus? Jika demikian halnya maka agaknya agama kafir ini begitu saja memperboleh kelanjutannya di dalam agama Kristen. Jadi secara nama saja mereka menjadi Kristen.

Penghormatan besar terhadap perjamuan kudus, disebabkan baru sesudah persediaan dan penyelidikan yang lama seseorang diperbolehkan turut serta setidak-tidaknya telah membangunkan kesadaran, bahwa "agama Kristen" itu tidak begitu saja melebur di dalam agama-agama rakyat. Tak dapatlah disangkal, bahwa pandangan Alkitab tentang sakramen sudah ditinggalkan oleh mereka itu. Pemisahan sakramen-sakramen yang dilakukan itu tak sesuai dengan Alkitab. Akan tetapi selain daripada itu tampaklah akibat-akibat yang tidak dikehendaki ialah pandangan masyarakat terhadap sakramen-sakramen itu. Di dalam masyarakat kafir terdapat suatu upacara keagamaan, dimana para pemuda diterima di dalam lingkungan orang dewasa. Bukankah baptisan itu direndahkan menjadi upacara sedemikian? Pada pihak lain perjamuan kudus memperoleh suatu kedudukan istimewa. Karena itu amat bersifat magi (gaib), dan hanya dicapai oleh mereka yang berhubungan dengan suatu pengajaran yang lama dapat memenuhi tuntutan-tuntutannya secara intelektuil dan yang lantaran itu seolah-olah memperoleh bagian kebaktian yang lebih tinggi. Di dalam suatu suasana, dimana pada hakekatnya magi itu menjalar dan meresap di dalam segala kebiasaan serta perbuatan-perbuatan agama, maka hal ini membawa akibat-akibat yang membahayakan.

Jadi pada satu pihak kita melihat bahwa di dalam banyak "jemaat" di Indonesia pemisahan sakramen-sakramen itu merupakan suatu hal yang tak dapat dielakkan disebabkan oleh praktek-praktek baptisan tersebut. Pada pihak lain di dalam jemaat-jemaat Eropa hal itu disebabkan oleh kemerosotan susila, yang diderita oleh masyarakat Eropa. Sebenarnya banyak orang-orang Eropa hidup bersama-sama dengan budak-budak perempuan mereka ataupun dengan perempuan-perempuan pengasuh rumah mereka. Dari perhubungan-perhubungan inilah anak-anak dilahirkan. Anak-anak ini hanya dapat dibaptiskan, jika ibu-ibunya, kebanyakan masih kafir ataupun Islam, juga dibaptiskan. Akan tetapi sebagai orang-orang dewasa mereka hanya dapat dibaptiskan, jika mereka serentak menjadi anggota-anggota jemaat, jadi juga diperbolehkan merayakan perjamuan kudus. Tetapi hal ini tidak dapat pula dilaksanakan, oleh sebab perkawinan mereka yang tidak sah itu akan menempatkan mereka di bawah siasat Gereja. Jadi persoalannya ialah, kalau-kalau terhadap wanita-wanita ini boleh dilakukan pemisahan sakramen-sakramen dengan pengertian, bahwa wanita-wanita ini dapat menjadi "anggota-anggota baptisan" akan tetapi tidak dapat menjadi anggota-anggota jemaat. Hal itu telah menjadi pokok perdebatan yang lama dan sengit. Terutama seorang pendeta Belanda, dahulunya seorang padri RK yang berpindah kedalam Gereja Belanda serta menjadi VOC di Afrika Selatan, lalu dipecat dari pekerjaannya sebagai pendeta di sana, telah memainkan peranannya yang kurang enak. Namanya ialah Le Boucq. Sayangnya bahwa synode-synode Belanda yang bersangkutan karena pengaruh Le Boucq ini tidak mempunyai pendapat yang sama. Malah sampai dimintakan suatu nasehat theologia dari fakultas theologia di Leiden, yang tentu saja menegaskan bahwa pemisahan sakramen-sakramen secara theologia tidak dapat dipertahankan. Akan tetapi di bawah tekanan keadaan-keadaan maka akhirnya pada tahun 1743 disusunlah suatu resolusi, dimana dinyatakan bahwa terserahlah kepada "setahu hati pendeta" bagaimana ia harus bertindak. Jadi orang menghindarkan suatu ucapan tegas-jelas. Hal ini mengakibatkan bahwa pemisahan sakramen-sakramen masih terus menjalar di beberapa Gereja, berabad-abad lamanya.


Catatan: dialihaksarakan ke ejaan baru oleh SABDA
Bibliografi
Artikel ini diambil dari:
Kruger, Dr. Th. Muller. 1966. Sejarah Gereja di Indonesia. Badan Penerbitan Kristen-Djakarta.
kembali ke atas