Sejarah Alkitab Indonesia

Alkitab: Di Bumi Indonesia

Bagikan ke Facebook

Dari Sejarah Alkitab Indonesia

Langsung ke: navigasi, cari
COLLECTIE TROPENMUSEUM Ouderlingen in Ullath op weg naar zieke en bedlegerige mensen om te bidden en bijbel te lezen TMnr 20000203.jpg
Alkitab: Dari Mana Datangnya?
Sejarah Alkitab di Indonesia



Orang-orang Kristen yang mula-mula menginjak bumi Indonesia, sudah mempunyai Alkitab. namun Alkitab itu tak dapat dipahami oleh penduduk yang mereka temui di sini. Bahkan orang Portugis, yang tiba di Nusantara sebelum orang Belanda, pada waktu itu belum memiliki Alkitab yang lengkap dalam bahasa mereka sendiri. Kitab Perjanjian Baru pun dalam bahasa Portugis belum ada. Anehnya, hal itu baru dikerjakan di sini.

Jodo Ferreira d'Almeida masih seorang anak ketika ia meninggalkan tanah airnya, negeri Portugis. Pada umur 14 tahun, sambil tinggal di Malaka, ia mengaku percaya kepada Tuhan Yesus. Dua tahun kemudian, pada tahun 1644, ia pun mulai menterjemahkan Kitab Perjanjian Baru.

Pada tahun 1651 d'Almeida pindah ke Jakarta. Di kota itu, sama seperti di Malaka sebelumnya, ia melayani kerohanian anak buah kapal-kapal yang sedang berlabuh, dan juga menginjili budak-budak yang berbahasa Portugis. d'Almeida pun meneruskan pekerjaannya sebagai penterjemah Firman Tuhan. Perjanjian Baru dalam bahasa Portugis hasil karyanya sudah selesai pada tahun 1654. Sang penterjemah pada waktu itu baru berumur 26 tahun. Dari tahun 1656 sampai dengan tahun 1663, d'Almeida menjadi pendeta di Sri Langka dan di India. Lalu ia kembali ke Jakarta, dan selama sisa hidupnya menggembalakan sidang jemaat yang berbahasa Portugis di situ. Terjemahannya berkali-kali dikoreksi, dan akhirnya jadi dicetak di Belanda pada tahun 1681.

Menjelaskan ajalnya dalam tahun 1691, d'Almeida masih rajin menterjemahkan Perjanjian Lama. Ia baru sampai kepada Yehezkiel 48:21 pada saat ia tutup usia. Orang-orang lain menyempurnakan terjemahannya, yang baru dicetak setengah abad kemudian. Sampai sekarang Alkitab d'Almeida (dengan banyak revisi) masih tetap dipakai oleh umat Kristen di negeri Portugis dan negeri Brasilia.

Firman Allah Dalam Bahasa Melayu

Akan tetapi di bumi Indonesia tiga abad yang lalu, bahasa Portugis makin lama makin kurang dipakai. Yang sudah menjadi bahasa perdagangan di seluruh kepulauan, dan juga di semenanjung benua Asia yang menonjol dekat pulau Sumatera, adalah bahasa Melayu.

Sepanjang sejarah terjemahan Firman Allah ke dalam bahasa Melayu, nama-nama yang dijunjung tinggi adalah nama-nama orang Belanda, orang Inggris, dan orang Jerman. Tentu saja tiap penterjemah itu banyak ditolong oleh orang-orang setempat, dari Tanah Melayu atau dari bumi Indonesia; sayang sekali, nama-nama penolong itu sebagian besar tidak disebut-sebut. Namun kita dapat mengucap syukur, karena pasti ada di antara mereka yang percaya akan isi Kitab Suci yang telah turut mereka kerjakan, dan oleh karena itu nama-nama mereka "tertulis di dalam kitab kehidupan Anak Domba" (Wahyu 21:27).

Albert Cornelisz Ruyl berlayar dari Belanda pada tahun 1600. Sebagai seorang pedagang pembantu, ia banyak berkesempatan belajar bahasa Melayu. Sebagai seorang Kristen, ia memakai pengetahuannya itu untuk mulai menterjemahkan Firman Allah.

Pada tahun 1612 Ruyl sudah mengerjakan Kitab Injil Matius. Hasil karyanya itu baru diterbitkan 17 tahun kemudian. Menurut catatan Lembaga Alkitab Inggris dan Luar Negeri, "Edisi ini mungkin sekali menandakan pertama kali dalam sejarah bahwa sebuah kitab dari Alkitab diterjemahkan dan dicetak dalam sebuah bahasa yang bukan bahasa Eropa, khusus sebagai alat pengabaran Injil."

Ruyl juga menterjemahkan Kitab Injil Markus, yang dicetak di Belanda pada tahun 1638. Lalu pada tahun 1651 terbitlah keempat Kitab Injil dan Kisah Para Rasul. Di samping hasil karya Ruyl, sisanya dikerjakan dan kesemuanya direvisi oleh Jan van Hasel, seorang pengurus Kumpeni, dan Justus Heurnius, seorang pendeta di Jakarta. Versi kuno ini dicetak dalam bahasa Melayu di kolom sebelah kanan, dan bahasa Belanda di kolom sebelah kiri. Dan Kumpenilah yang membiayai semuanya.

Sebuah halaman terjemahan Ruyl

Doa Bapa Kami (dari Matius 6:9-13) dalam terjemahan A.C. Ruyl (1612, 1629, 1651) berbunyi sebagai berikut:

Bappa kita, jang berdudok kadalam surga
bermumin menjadi akan namma-mu.
Radjat-mu mendatang
kahendak-mu menjadi
di atas bumi seperti di dalam surga.
Berila kita makannanku sedekala hari.
Makka ber-ampunla pada-kita doosa kita,
seperti kita ber-ampun akan siapa ber-sala kapada kita.
D'jang-an hentar kita kapada setana seitan,
tetapi muhoon-la kita dari pada iblis.

Kawan-kawan sekerja Ruyl, yaitu Van Hasel dan Heurnius, juga menerbitkan Kitab Mazmur dalam bahasa Melayu pada tahun 1652. Dan sepuluh tahun setelah itu, muncullah sebuah nama baru dalam sejarah terjemahan Alkitab: Ds. Daniel Brouwerius.

Brouwerious adalah seorang pendeta, dulu di Belanda, kemudian di Indonesia. Rupanya ia mula-mula berpendapat bahwa tugas terjemahan sebaiknya dimulai dengan kitab pertama: Pada tahun 1662 terbitlah Kitab Kejadian hasil karyanya. Lalu ia mengalihkan perhatiannya kepada tulisan-tulisan yang lebih langsung memberikan Injil Kristus.

Nama Albert Cornelisz Ruyl harus dihormati, oleh karena dialah yang mula-mula menterjemahkan sebuah kitab dari Firman Allah ke dalam bahasa Melayu. Dan nama Daniel Brouwerius harus dihormati, oleh karena dialah yang mula-mula menterjemahkan seluruh Kitab Perjanjian Baru ke dalam bahasa Melayu. Hasil karyanya itu dicetak di Amsterdam pada tahun 1668

Namun demikian, harus juga diakui bahwa terjemahan Brouwerius itu banyak kelemahannya. Rupanya ia kurang mendengar dan kurang menguasai bahasa yang dipakai di pasar. Ia pun gemar memasukkan kata-kata dari bahasa Portugis: crus untuk "salib," sanctus untuk "kudus," spiritus untuk "roh," Deos untuk "Allah." Umumnya pembaca masa kini akan menemukan bahwa terjemahan Ruyl, walaupun menurut tahun asalnya lebih kuno, namun lebih mudah ditangkap artinya daripada terjemahan Brouwerius.

Doa bapa Kami dalam terjemahan D. Brouwerius (1668) berbunyi sebagai berikut:

Bappa cami, jang adda de Surga,
Namma-mou jaddi bersacti.
Radjat-mou datang.
Candati-mou jaddi
bagitou de boumi bagimanna de surga.
Roti cami derri sa hari hari bri hari ini pada cami.
Lagi ampon doosa cami,
bagaimanna cami ampon capada orang jang salla pada cami.
Lagi jangan antarken cami de dalam tsjobahan,
hanja lepasken cami derri jang djahat.

Mungkin kita tidak merasa heran bahwa terjemahan-terjemahan tadi tak lama dapat memuaskan umat Kristen di bumi Indonesia. menjelang akhir abad ke-17, sudah ada suara-suara yang menuntut agar ada usaha baru untuk menyalin Firman Allah ke dalam kata-kata yang tidak merupakan teka-teki untuk pembaca bahasa Melayu. Usaha baru itu dibebankan kepada salah seorang yang paling terkenal dalam sejarah terjemahan Alkitab: Dr. Melchior Leydekker.

Leydekker dilahirkan di Amsterdam pada tahun 1645. Ia dididik dengan seksama, baik di bidang kedokteran maupun di bidang theologia. Pada tahun 1675 ia pindah ke bumi Indonesia, di mana ia menjadi seorang pendeta tentara di Jawa Timur. Dari tahun 1678 sampai wafatnya, ia tinggal di Jakarta, sebagai gembala sidang jemaat yang berbahasa Melayu.

Pada tahun 1691 majelis gereja di Jakarta minta supaya Dr. Leydekker mengerjakan sebuah terjemahan baru dari seluruh Alkitab. ia menerima tugas yang berat itu, dan segera mulai bekerja. Dengan tekun dan teliti ia menyelidiki bahasa-bahasa asli, serta mencari istilah-istilah bahasa Melayu yang paling tepat.

Sembilan puluh persen lebih dari karyanya itu sudah selesai pada tanggal 16 Maret 1701, yaitu pada saat ia dipanggil Tuhan. Mungkin tidaklah kebetulan bahwa ayat penghabisan yang sempat dialihbahasakan oleh Melchior Leydekker adalah Efesus 6:6, yang menganjurkan agar hamba Kristus sebaiknya jangan hanya bekerja di hadapan umum "untuk menyenangkan hati orang," melainkan juga "dengan segenap hati melakukan kehendak Allah."

Ds. Pieter van der Vorm, seorang pendeta lainnya di Jakarta, ditugasi untuk menyempurnakan hasil karya almarhum Dr. Leydekker. Dalam bulan Oktober dari tahun yang sama, selesailah Alkitab lengkap yang pertama-tama dalam bahasa Melayu. Akan tetapi Firman Allah dalam bahasa manusia itu kemudian disimpan selama 22 tahun di dalam sebuah lemari milik majelis gereja di Jakarta. Mengapa ada perbuatan yang begitu aneh?

Terjemahan yang Manakah?

Biang keladinya adalah seorang pendeta Belanda lain lagi, yaitu Ds. Francois Valentyn. Pada umur 20 tahun ia telah mulai melayani di daerah Maluku. Menurut kesaksiannya sendiri, ia sudah sanggup berkhotbah dalam bahasa Melayu setelah hanya tiga bulan belajar. selama masa kerjanya di bumi Indonesia (1685-1695, 1705-1713), Velentyn memang banyak mengharapkan bahasa dan budaya setempat, serta mengarang buku-buku kesarjanaan berdasarkan penyelidikannya itu. Tetapi apakah hal itu menolong menyebarluaskan Firman Tuhan di Nusantara? Mari kita lihat.

Valentyn melawan penerbit Alkitab Leydekker, karena (katanya) terjemahan itu memakai "bahasa Melayu Tinggi," bukan "bahasa Melayu Rendah" yang sungguh dapat dipahami oleh khalayak ramai. Sebagai penggantinya, Valentyn menawarkan terjemahannya sendiri, yang (katanya) mencerminkan bahasa sehari-hari yang dipakai di Melayu.

Banyak orang, baik di sini maupun di Belanda, yang terbujuk oleh Valentyn. Tetapi ada juga banyak orang yang mau memperjuangkan hasil karya Leydekker. Sebagai akibat, kedua-duanya tidak mendapat cukup banyak sokongan untuk jadi diterbitkan. Dan siapa yang kalah dalam pertandingan itu? Umat manusia, karena Firman Allah tidak sampai-sampai ke dalam tangan mereka.

Akhirnya tuntutan Valentyn ditolak, terutama oleh karena dua hal:

  1. Yang ia namakan "bahasa Melayu Rendah" sebenarnya merupakan "bahasa Melayu Maluku," yang sulit dibaca oleh orang dari daerah lain.
  2. Yang ia namakan "terjemahannya sendiri," sebenarnya merupakan hasil karya orang lain.

Ds. Simon di Larges telah meninggal di Banda pada tahun 1677. (Waktu itu Francois Valentyn masih seorang bocah Belanda yang baru berumur sebelas tahun.) Jandanya menyerahkan suatu naskah peninggalan almarhum suaminya, kepada Ds. Jacobus du Bois. Du Bois kebetulan sedang menginap di rumah Francois Valentyn di Ambon, menjelang ajalnya dalam tahun 1687. Naskah tebal itu diwariskannya kepada tuan rumahnya. Dan itulah terjemahan yang (menurut Valentyn) telah dikerjakannya sendiri!.

Setelah persoalan Valentyn diatasi ("terjemahannya" itu tak pernah jadi dicetak, dan bahkan naskahnya hilang tak berbekas), masih ada pendapat bahwa terjemahan Leydekker perlu direvisi. Pada tahun 1723 sebuah panitia khusus diangkat untuk tugas itu. Anggota-anggotanya adalah Ds. Pieter van der Vorm (yang 22 tahun sebelumnya telah menyambung pekerjaan Leydekker), George Henric Werndly dari Makasar, Engelbertus Cornelius Ninaber dari Ambon, dan Arnoldus Brants dari Jakarta. Mereka pun dibantu oleh sarjana-sarjana bahasa Melayu (yang, menurut kebiasaaan zaman penjajahan, tidak disebut nama-namanya).

Terjemahan Leydekker diteliti kembali menurut bahasa-bahasa asli Alkitab. Versi itu pun dibandingkan dengan Kitab Suci dalam bahasa-bahasa Arab, Siriak, Latin, Belanda, Inggris, Jerman, Perancis, dan Spanyol. Pada bulan September 1729, selesailah peredaksian itu.

Terjemahan baru dari Alkitab lengkap itu dua kali ditulis dengan tangan: sekali dalam huruf latin, sekali dalam huruf Arab. Kedua naskah itu dikirim ke Belanda dalam dua kapal yang berbeda: Jangan sampai kedua-duanya hilang di dasar laut! Salah seorang redakturnya, G.H. Werndly, juga berlayar ke Belanda. Dengan pertolongan Ds. C. G Seruys dari Ambon dan dua pendeta pembantu bangsa Indonesia, ia mengawasi proyek penerbitan yang mahabesar itu.

Perjanjian Baru keluar pada tahun 1731. Seluruh Alkitab menyusul dua tahun kemudian. Barulah terbit pada tahun 1758 edisi yang berhuruf Arab, dalam bentuk lima jilid yang tebal. Edisi huruf Arab itu dicetak di Jakarta, karena dianggap terlalu mahal di Belanda.

Jadi, pada tahun 1733 muncullah Firman Allah yang lengkap dalam bahasa Melayu. Terjemahan Leydekker itu diterima dengan gembira. Lama sekali versi itu lebih disukai daripada yang lain-lain, bahkan mengungguli yang lebih baru dan lebih mudah dibaca. Masih dalam abad ke-20 ini ada cetakan ulang dari Alkitab Leydekker, atas desakan jemaat-jemaat di Ambon. Bahkan hingga kini belum ada satu terjemahan Alkitab yang lebih banyak mempengaruhi pikiran dan perbendaharaan kata umat Kristen Indonesia daripada Alkitab karya Melchior Leydekker.

Tidaklah mengherankan bahwa versi Leydekker itu dianggap sebagai suatu pusaka rohani yang tak ternilai harganya. Dalam tahun 1950an, ketika almarhum Presiden Sukarno mengadakan kunjungan resmi ke Ambon, kepala negara itu dihormati dengan persembahan sebuah Alkitab Leydekker dari cetakan pertama, sebagai ciri khas suku Maluku. Dan Lembaga Alkitab Indonesia pernah menolak tawaran empat juta rupiah dari seorang direktur musium yang mau membeli Alkitab Leydekker cetakan 1801 milik LAI itu.

Doa Bapa Kami versi Leydekker

Doa Bapa Kami dalam terjemahan M. Leydekker (1701, 1731, 1733) berbunyi sebagai berikut:

Bâpa kâmij jang 'ađa disawrga,
namâmu depersutjîlah kirânja.
Karadjâ'anmu dâtanglah.
Kahendakhmu djadîlah,
seperti didâlam sawrga, deḿikiĵenlah di'âtas bûmi.
Rawtij kâmij sahârij' berîlah 'âkan kâmij pađa hârij 'îni.
Dán 'amponîlah pađa kâmij segaĺa sâlah kâmij,
seperti lâgi kâmij 'îni meng'ampônij
pađa 'awrang jang bersâlah kapađa kâmij.
Dán djânganlah membâwa kâmij kapađa pertjawbâ'an,
hânja lepaskanlah kâmij deŕi pađa jang djâhat.

Mat 6:9-13 (Ldk Dr)


Bibliografi
Artikel ini diambil dari:
Cermat, H.L. Alkitab: Dari Mana Datangnya?. Lembaga Literatur Baptis, Bandung.
kembali ke atas