Sejarah Alkitab Indonesia

Alkitab: Pada Masa Lampau

Bagikan ke Facebook

Dari Sejarah Alkitab Indonesia

Langsung ke: navigasi, cari
Alkitab: Dari Mana Datangnya?
Sejarah Alkitab di Indonesia



Selama abad ke-19, Alkitab diterjemahkan ke dalam berbagai-bagai bahasa daerah. Sementara itu juga, umat Kristen di bumi Indonesia semakin insaf bahwa Alkitab bahasa Melayu terjemahan Leydekker itu tidak lagi memadai. Banyak orang tidak mengertinya, apakah ayat-ayat itu dibaca sendiri dirumah ataukah dibacakan kepada mereka oleh pendeta di gereja. Bahkan pernah ada tuduhan bahwa Alkitab Leydekker itu "dijunjung tinggi oleh orang Kristen, tetapi jarang dipahami--merupakan semacam penghormatan mekanik, tanpa jiwa atau roh."

Kalau kita melihat kutipan-kutipan dari terjemahan Leydekker di halaman 23 dan 53, mungkin kita pun akan merasa binggung. Sistem tanda-tanda baca, yang oleh sang penterjemah disusun secara teliti sekali, namun hanya menyulitkan saja bagi pembaca biasa. Ada banyak kata Arab yang dipakai dalam versi itu. Lagi pula, bahasa Melayu berkembang terus; istilah-istilah yang lazim pada tahun 1700, tidak lagi dapat diharapkan masih lazim pada tahun 1800 (apalagi pada tahun 1900!).

Di samping semua soal ini, Alkitab Leydekker juga dikritik karena sengaja dibuat dalam bahasa Melayu Tinggi, bahasa buku. Sedangkan kebanyakan orang sehari-hari memakai bahasa Melayu Rendah, bahasa pasar.

Daftar isi

Berbagai-bagai Terjemahan

Pada zaman Gubernur Raffles, beberapa utusan Injil Baptis datang dari Inggris ke bumi Indonesia. Salah seorang di antaranya, William Robinson, segera mulai menyiapkan bahan cetakan Kristen dalam bahasa Melayu. Bahasa yang dipakainya itu adalah bahasa yang ia dengar di Jakarta, tempat pelayanannya. Pada kurang lebih tahun 1815, Pdt. Robinson sudah berhasil menerbitkan Kitab Injil Matius dalam bahasa Melayu Rendah Beberapa tahun kemudian, ia pun menambahkan Kitab Injil Yohanes, yang diterbitkan di Bengkulu.

Sementara itu, ada sekelompok umat Kristen di Surabaya yang dibimbing oleh seorang awam, Johannes Emde. Sepanjang minggu Bapak Emde bekerja sebagai montir arloji, lalu pada hari ibadat memimpin kebaktian. Ia pun rajin memberitakan Injil kepada siapa pun yang mau mendengar. Ibu Emde adalah orang Jawa, dan hal ini sering menjadi pembuka jalan untun kesaksian mereka.

Emde dan saudara-saudara seimannya juga mulai prihatin terhadap Alkitab Leydekker yang sulit dibawa. Sedikit demi sedikit mereka menyadurnya kembali dalam kata-kata yang lebih mudah dipahami. Naskah revisi mereka lalu diteliti di Jakarta oleh Ds. D. Lenting, seorang pendeta Belanda, dan Walter Henry Medhurst, seorang utusan Injil Inggris.

Hasil usaha bersama itu adalah suatu Perjanjian Baru lengkap, yang diterbitkan di Jakarta pada tahun 1835. Inilah yang dianggap Perjanjian Baru yang pertama-tama dicetak dalam bahasa Melayu Rendah. Orang-orang Kristen di Surabaya itu bukan hanya menyiapkan terjemahan tersebut melainkan juga mengongkosinya.

Walaupun ada banyak kekurangannya, namun terjemahan baru itu cukup laris: Pada tahun 1848 persediaannya sudah habis. Perkumpulan Surabaya itu juga menyediakan Kitab Mazmur dengan cara yang agak sama seperti yang mereka pakai untuk Kitab Perjanjian Baru.

Doa Bapa Kami (dari Matius 6:9-13) dalam bahasa Melayu Rendah terjemahan Perkumpulan Surabaya (1835) berbunyi sebagai berikut:

"Bapa kita, jang ada disorga!
namamoe depersoetjikan.
Karadjaanmoe dedatangkan :
kahendakmoe dedjadikan,
saperti didalam sorga, bagitoe lagi diatas boemi.
Reziki kita sahari-hari brilah akan kita pada hari ini.
Dan ampoenilah pada kita segala kasalahan kita,
saperti lagi kita ini mengampoeni
pada orang jang bersalah kapada kita.
Dan djanganlah membawa kita kapada pertjobaan,
hanya lepaskan kita deri pada jang djahat."

Sementara itu, umat Kristen di Tanah Melayu tidak tinggal diam. Sejak tahun 1817 sudah ada berbagai-bagai usaha untuk merevisi terjemahan Leydekker, atau menyiapkan suatu terjemahan yang baru sama sekali. Pekerjaan ini dilakukan di Pulau Pinang, di Singapura, dan di tempat-tempat lain. Salah seorang yang paling giat dalam usaha itu adalah seorang utusan Injil Inggris bernama B.P Keasberry. Besar juga sumbangsih seorang sastrawan Melayu bernama Abdullah bin Abdul Kadir.

Di berbagai-bagai tempat di kepulauan Indonesia, ada juga orang-orang yang terus berikhtiar supaya Firman Allah disalin ke dalam bahasa yang dapat dimengerti. Pada tahun 1850 muncullah Kitab Injil Matius dalam terjemahan C. T. Hermann dari Minahasa. Pada tahun 1986 keluarlah Kitab Injil Markus, hasil karya J. G. Bierhaus.

Di Padang Nathaniel M. Ward, seorang utusan Injil Baptis, pada tahun 1858 menghasilkan sebuah terjemahan baru dari Kitab Kejadian. Di Ambon seorang guru bernama B. N. I. Roskott rajin menyiapak seluruh Perjanjian Baru, tetapi versinya itu bukan diterbitkan setelah ia sendiri meninggal. Dan di Semarang ada juga seorang penterjemah Alkitab yang perlu kita soroti: Namanya Hillebrandus Cornelius Klinkert.

Karena Keperluan Satu Orang

H. C. Klinkert lahir di Amsterdam pada tahun 1829. Sebagai pemuda ia pernah menjadi pengukur tanah, pekerja pabrik dan masinis pada kapal Sungai Rhein. Karena suatu kecelakaan ia terpaksa berbaring di rumah sakit di kota Worms. Setelah ia kembali ke negeri Belanda, hidupnya lebih dekat kepada Tuhan, sehingga akhirnya ia merasa dipanggil menjadi utusan Injil.

Pada tahun 1856 ia bertolak ke Indonesia, di bawah asuhan badan zending aliran Menonit. Mula-mula ia ditempatkan di Jepara, di mana ia bekerja sama dengan Pdt. Pieter Jansz, salah seorang penterjemah Alkitab bahasa Jawa. Di Jepara pun ia menikah dengan seorang wanita Indo, yang hanya dapat berbicara bahasa Jawa dan bahasa Melayu. Tentu saja hubungan keluarga itu mendorong Klinkert untuk terus rajin belajar bahasa setempat!

Mulai tahun 1858, Klinkert melayani di Semarang. Karena sukar bagi istrinya untuk mengerti Alkitab Leydekker, sang suami mengerahkan dua orang yang pandai bahasa Melayu untuk menolong dia menyiapkan suatu terjemahan baru. Bahasa yang mereka pakai ialah yang lazim di daerah Semarang pada zaman itu. Tahun 1861 keempat Kitab Injil sudah dicetak di Semarang. Tahun 1863 menyusullah seluruh Kitab Perjanjian Baru.

Rupanya inilah salah satu terjemahan bahasa Melayu Rendah yang paling mengena pada hati para pembaca--walaupun mula-mula dikerjakan karena keperluan satu orang saja! Versi itu mengalami berbagai-bagai peredaksian, dan masih tahan sampai zaman modern. Cetakan yang terakhir diadakan pada tahun 1949.

Doa Bapa Kami dalam bahasa Melayu Rendah terjemahan H.C. Klinkert (1861, 1863, di sini dikutip dari revisi tahun 1885) berbunyi sebagai berikut:

"Bapa saja, jang ada di sorga,
moega-moega nama Toehan dipersoetjiken,
Karadjaan Toehan dateng
dan kahendak Toehan djadi,
seperti di dalem sorga, bagitoe djoega di-atas boemi.
Bijar Toehan kasih sama saja redjeki saja pada ini hari,
Serta ampoeni segala salah saja,
seperti saja mengampoeni djoega orang, jang bersalah sama saja.
Dan bijar Toehan djangan bawa sama saja kadalem pertjobaan,
melainken lepasken saja dari jang djahat."

Karena Keperluan Banyak Orang

COLLECTIE TROPENMUSEUM Groepsportret van de 4de tot en met 7de klas van de school met de Bijbel te Semarang TMnr 60024368.jpg

Pada masa H.C. Klinkert masih sibuk menyiapkan terbitan pertama dari terjemahannya dalam "bahasa Semarang," ia pun membaca sebuah iklan yang luar biasa. Surat kabar Javasche Courant, edisi 10 Oktober 1860, memuat suatu seruan yang dimulai kira-kira sebagai berikut: "DICARI: Seorang penterjemahan Alkitab bahasa Melayu." Iklan itu telah dipasang oleh Lembaga Alkitab Belanda, yang akhirnya juga setuju dengan pendapat umum bahwa Alkitab Leydekker haruslah diganti.

Klinkert tertarik sekali akan iklan itu. Dengan teliti ia mengikuti syaratnya: Harus ada terjemahan percobaan, beberapa pasal dari Perjanjian Baru. Naskah itu harus ditulis dalam huruf Latin dan huruf Arab.

Lama sekali ia tidak menerima kabar apa-apa dari Lembaga Alkitab. Karena ia sulit mengabarkan Injil secara langsung di daerah Semarang, pada tahun 1862 ia pindah ke Cianjur, di Jawa Barat. Di situ ia mendirikan sebuah sekolah. Tapi di situ pun penginjilannya sangat terbatas.

Betapa lega hatinya pada tahun 1863, ketika ia mendapat berita dari negeri Belanda. Ternyata dialah orang yang ditunjuk untuk mengerjakan sebuah terjemahan baru. Namun masih ada syarat: Bahasa Melayunya dianggap terlalu rendah, dan terlalu banyak dipengaruhi oleh satu daerah tertentu. Haruslah ia diberi kesempatan tinggal di antara orang yang berbahasa Melayu tulen.

Pada tahun 1864 berangkatlah Klinkert sekeluarga ke Tanjungpinang, ibu kota daerah Riau. Di situ hidupnya serba sulit. Rumah yang baik tidak ada, sehingga mereka harus menyewa tempat di sebuah toko, tanpa dapur, sumur, atau kakus. Meja tulis Klinkert menghadap jendela toko, tanpa kaca atau pelindung lainnya. Sering ada banjir, sehingga naskah-naskahnya bahkan harus dicedok dari dalam air.

Di tengah-tengah keadaan yang demikian, Klinkert berjuang terus. Dan memang banyak kesempatan untuk memperluas dan memperbanyak bahasa Melayunya di Riau. Misalnya, salah seorang pembantunya adalah Encik Mumin, putra penghulu Penyingat.

Karena kesehatannya terganggu, pada tahun 1867 Klinkert pulang ke Belanda. Di sana pun hidupnya masih sulit. Istrinya kena penyakit TBC, dan wafat pada tahun 1870, dengan meninggalkan tiga anak yang masih kecil. Namun Klinkert pantang mundur. Dan hail jerih payahnya sekarang mulai nyata.

Kitab Injil Matius terjemahan Klinkert diterbitkan pada tahun 1868. Perjanjian Baru menyusul pada tahun 1870. Untuk memperdalam dan menyegarkan bahasanya, Klinkert kembali ke Asia Tenggara serta tinggal di Malaka selama enam bulan pada tahun 1876-1877. Dan pada tahun 1879, sudahlah lengkap Alkitab hasil karyanya.

H. C. Klinkert tidak pernah lagi sempat menjadi pengajar Injil di Nusantara. Ia bekerja di tanah airnya sebagai mahaguru bahasa Melayu. Namun jasanya besar demi penginjilan di sini, karena terjemahannya itu merupakan Alkitab bahasa Melayu yang paling baik pada masanya.

Berkali-kali Alkitab Klinkert direvisi. Tentu saja ia sendiri turut meneliti tiap peredaksian itu, walaupun ia tidak lagi bekerja sepenuh waktu di bidang terjemahan. Bahkan ketika timbul gagasan untuk mencetak Alkitab Klinkert dalam huruf Arab, ia menulis tiap ayat dengan tangannya sendiri, serta menghiasi naskahnya dengan gaya yang khas untuk kitab-kitab suci yang berhuruf Arab.

Klinkert meninggal pada tahun 1913. Tetapi sebagian dari terjemahannya masih hidup terus: Di dalam apa yang masa kini biasa disebut "terjemahan lama," bagian Perjanjian Lama adalah karya Klinkert (sedangkan bagian Perjanjian Baru adalah karya orang lain, sebagaimana akan diuraikan dalam pasal berikut). Masih banyak orang Kristen Indonesia yang tetap suka memakai terjemahan Klinkert, walaupun kini ada terjemahan-terjemahan lainnya yang lebih mutakhir.

Doa Bapa Kami dalam terjemahan H. C. Klinkert (1868, 1870, 1879) berbunyi sebagai berikut:

"Bapa kami jang ada disorga,
dipermoeliakan kiranya Namamoe,
Datanglah kiranya karadjaanmoe;
kahendakmoe berlakoelah
di-atas boemi ini saperti dalam sorga.
Berilah akan kami pada hari ini rezeki jang tjoekoep;
Dan ampoenilah segala salah kami,
saperti kami pon mengampoeni orang jang bersalah kapada kami.
Maka djangan bawa akan kami kadalam penggoda,
melainkan lepaskan kami daripada jang djahat."

Penterjemah di Negara Tetangga

Pada waktu H. C. Klinkert sudah lama menjadi mahaguru bahasa Melayu di Belanda, tibalah di Asia Tenggara seorang perwira tentara Inggris yang masih muda, baru berumur 24 tahun. Kapten William Girdlestone Shellabear mendarat di Singapura pada tahun 1887, dan mulai menjalankan tugasnya di Pulau Brani. Di sana ia menjadi komandan sebuah pasukan laskar Melayu yang menjaga pelabuhan besar itu.

Kapten Shellabear kurang puas mengurus anak buahnya melalui seorang pengalih bahasa. Ia berguru kepada Incek Ismail, bekas murid B. P. Keasberry, seorang utusan Injil yang semasa hidupnya rajin menterjemahkan Alkitab. Tak lama kemudian perwira itu dapat berbicara langsung kepada para bawahannya.

Pada tahun 1887 itu juga, Kapten Shellabear mengalami suatu pembaharuan rohani. Kemudian ia giat sekali mengabarkan Injil. Heran, para utusan Injil di Singapura hanya berusaha menginjili orang Tionghoa dan suku-suku lain, orang Melayu tidak. Dengan bantuan saudara-saudara seimannya dari aliran Metodis, Kapten Shellabear mulai menyiapkan bahan untuk dipakai dalam pengabaran Injil. Yang pertama-tama dikerjakannya ialah Sepuluh Hukum, Ucapan Bahagia, dan beberapa lagu rohani dan surat selebaran, semuanya dalam bahasa Melayu.

Setelah masa tugasnya genap, W. G. Shellabear mengundurkan diri dari tentara Inggris. Mulailah dia bekerja sepenuh waktu sebagai seorang penginjil. Pada masa yang sama, ia ditunjuk bersama dua orang lagi unruk memprakarsai sebuah proyek terjemahan Alkitab. Tahun 1897 sudah ada cetakan Kitab Injil Matius sebagai hasil karya panitia tersebut.

Beberapa waktu kemudian, Shellabear diangkat menjadi penterjemah tunggal. Pada tahun 1904 ia pun pindah ke Malaka, agar ia dapat memperbagus bahasa Melayunya. Berturut-turut terbitlah kitab-kitab dalam terjemahan baru sebagai buah pena Shellabear. Akhirnya pada tahun 1910 ada Perjanjian Baru lengkap; dan pada tahun 1912, seluruh Alkitab.

Cetakan tahun 1910-1912 itu dalam huruf Arab. Jauh kemudian, pada tahun 1927-1929, ada dua cetakan lagi dalam huruf Latin. Yang satu memakai sistim ejaan berdasarkan bahasa Inggris, yang lazimnya di Singapura dan di Tanah Melayu. Yang satunya lagi memakai sistim ejaan berdasarkan bahasa Belanda, yang lazim "waktoe doeloe" di sini. Namun Alkitab versi Shellabear hanya sedikit diterima di Indonesia, sedangkan di negara-negara tetangga kita terjemahan itu menjadi yang umumnya dipakai di mana-mana, bahkan hingga kini.

Doa Bapa Kami dalam terjemahan W.G. Shellabear (1904, 1910, 1912, 1927-1929) berbunyi sebagai berikut:

"Ya Bapa kami jang di-shurga,
terhormat-lah kira-nya nama-mu.
Datang-lah keradjaan-mu.
Jadi-lah kehendak-mu :
di-atas bumi seperti di-shurga.
Beri-lah akan kami hari ini makan kami yang sa-hari-harian.
Maka ampunkan-lah hutang-hutang kami,
seperti kami sudah mengampuni orang yang berhutang pada kami.
Jangan-lah membawa kami masok penchobaan,
melainkan lepaskan-lah kami dari pada yang jahat."

Sepanjang umurnya Dr. W. G. Shellabear prihatin sekali agar Firman Allah disebarluaskan antara penduduk Asia Tenggara. Minatnya itu masih berkobar terus setelah ia harus pindah ke Amerika Serikat karena kesehatannya memburuk sebagai akibat hidup lama di daerah tropika. Di Amerika ia menjadi mahaguru pada sebuah perguruan tinggi Kristen yang khusus untuk calon utusan Injil. Ia meninggal dalam tahun 1947, pada umur 84 tahun.

Satu lagi karya terjemahan Dr. Shellabear yang perlu kita sebutkan: Ia juga pada tahun 1913 menghasilkan sebuah Kitab Perjanjian baru dalam apa yang biasa dijuluki "bahasa Melayu Baba." Dasarnya ialah bahasa percakapan yang dipakai oleh orang Tionghoa. Menurut sebuah artikel di surat kabar The Straits Times, edisi 3 Desember 1977, terjemahan Shellabear itu "dipakai secara luas oleh tiga generasi orang Kristen 'baba-dan nonya' di Singapura, Malaka, dan Pulau Pinang."

Doa Bapa Kami dalam bahasa Melayu Baba terjemahan W. G. Shellabear (1913) berbunyi sebagai berikut:

"Ya Bapa kami yang di shorga,
biar-lah nama-mu di-kuduskan.
Datang-lah kerajaan-mu.
Jadi-lah kahandak-mu,
sperti di shorga bgitu juga di atas bumi.
Bri-lah sama kami ini hari makanan kami yang s-hari-s-hari.
Dan ampunkan-lah hutang-hutang kami,
sperti kami sudah ampunkan orang yang berhutang sama kami.
Jangan-lah bawa kami masok dalam pnchoba'an,
ttapi lpaskan-lah kami deri-pada yang jahat."


Bibliografi
Artikel ini diambil dari:
Cermat, H.L. Alkitab: Dari Mana Datangnya?. Lembaga Literatur Baptis, Bandung.
kembali ke atas