Sejarah Alkitab Indonesia

Gereja Sekitar Muria

Bagikan ke Facebook

Dari Sejarah Alkitab Indonesia

Langsung ke: navigasi, cari
Sejarah Gereja di Indonesia
Sejarah Alkitab Daerah di Indonesia



Juga Gereja sekitar Muria yang dimunculkan oleh aliran Mennonit (= Doopsgezind) membawa faset yang baru ke dalam kekristenan Jawa. mengingat sifat yang istimewa yang terdapat pada orang-orang Mennonit, barangkali timbullah sangkalan, seakan-akan cara kekristenannya tidak bisa cocok dengan kekristenan yang telah berwujud di pulau Jawa ini. Mereka menolak baptisan kanak-kanak, dan sumpah dan wajib militer. Pendapat mereka mengenai Gereja, bentuknya serta penjabat-pejabatnya juga berbeda dari pada yang sudah dilakukan di antara orang-orang Kristen di pulau Jawa ini.

Sebenarnya soal itu bukan soal baru, melainkan sudah diinsafi ketika para pekabar Injil Baptis, yang sifatnya hampir sama dengan sifat Mennonit, memasuki Indonesia pada tahun 1812. Ketika perhimpunan Pekabaran Injil "Doopsgezind" didirikan pada tahun 1847 di Belanda, maka soal tadi menjadi begitu hangat sehingga mereka berpendapat, bahwa di antara usaha-usaha Pekabaran Injil yang sudah dilakukan di Indonesia tidak ada kesempatan dan tempat lagi bagi sifat yang khusus itu. Mereka tidak suka mengganggu usaha-usaha dari pihak lain.

Namun begitu pada tahun 1815 mereka mengutus P. Jansz, ke Indonesia. Jansz, seorang guru yang cakap, diberi izin untuk tinggal di sebidang tanah milik seorang Armenia di Japara. Diantara ke-6000 penduduk tanah itu Jansz memperoleh izin untuk memberitakan Injil. Pada 16 April 1854 dapatlah ia membaptiskan 5 orang. Tetapi hasil pekerjaannya di antara penduduk-penduduk yang sangat kuat di dalam agama Islam itu sedikit. Sesudah 20 tahun bekerja baru tercapai jumlah sebanyak 16 orang laki-laki dan 21 perempuan beserta 27 kanak-kanak yang tidak dibaptis, sesuai dengan ajaran Mennonit. Perlu dikemukakan, bahwa hasil selama 20 tahun itu bukan karena usaha Jansz sendiri saja, melainkan juga karena usaha beberapa Pekabar Injil Mennonit yang diperbantukan kepadanya. Di antara mereka terdapat juga Klinkert, yang kemudian ditugaskan menterjemahkan Alkitab ke dalam bahasa Melayu.

Harus juga disesalkan, bahwa para pekabar Injil tidak beroleh hubungan dengan golongan-golongan Kristen yang telah muncul di dalam daerahnya. Kita sudah mengenal golongan-golongan itu di Rembang, Kayuapu dan Pati, yang merupakan buah-buah dari penginjilan Jawa Timur, dan yang dipelihara oleh pekabar Injil NZG di Semarang yaitu Hoezoo.

Selain itu tidak ada pula hubungan dengan golongan Kristen Jawa yang terkumpul di sekitar Tunggul Wulung di Bondo dan di Banyu Towo, yang anggota-anggotanya berjumlah kurang lebih 200 orang. Tunggul Wulung tersebut termasuk golongan orang-orang Jawa pada pertengahan abad ke-19, yang sangat tebuka hatinya untuk Injil Yellesma di Mojowarno. Sebenarnya ia adalah seorang kiai yang berpengaruh di dalam masyarakat Jawa. Bertahun-tahun lamanya ia bertapa di Gunung Kelud dan ceritanya kepada Yellesma mengenai alasannya hendak masuk Kristen adalah aneh. Dengan tak di sangka-sangka, demikian ceritanya, ia menemukan di bawah tikarnya di tempatnya bertapa kesepuluh perintah Allah serta ia mendapat ilham untuk pergi ke Mojowarno. Akibat perkunjungannya itu ialah bahwa ia dibaptiskan oleh Yellesma pada tahun 1857. Tiada putus-putusnya Tunggul Wulung mengembara sebagai penginjil dengan ikhtiar sendiri. Dari desa ke desa, dari kota ke kota di Jawa Timur, Jawa Timur malahan sampai ke Jawa Barat, Ia mencari hubungan dengan Mr. Anthing (lih. hlm. 194) dan anaknya pun menjadi seorang penginjil di dalam jemaat-jemaat Anting.

Sadrakhpun (lih. hlm. 177) menjadi penganutnya pada waktu ia mengumpulkan sejumlah keluarga Jawa dari Semarang dan sekitarnya, dengan maksud untuk mendirikan satu desa Kristen di Bondo dan di Banyu Towo yang telah disebut di atas. Sayang sekali Tunggul Wulung beserta dengan golongannya menolak untuk menggabungkan diri dengan golongan Kristen kecil di bawah bimbingan para pekabar Injil. Memang caranya sebagai orang-orang Kristen tidak cokcok dengan cara para pekabar Injil itu. Boleh dikatakan, bahwa kekristenan Jawalah yang diutamakan oleh mereka. Etika Kristen pun belum diinsafi oleh mereka, sehingga persaudaraaan antara mereka dan golongan-golongan Kristen yang pertama tak mungkin dipupuk oleh para pekabar Injil. Baru setelah meninggalkan Tanggul Wulung (1884) maka golongan-golongan itu mencari perhubungan dengan para pekabar Injil tersebut. Pada tahun 1869 berdirilah jemaat yang pertama yaitu Kedung Penjalin atas usaha seorang penginjil bernama Pasrah.

Dipengaruhi oleh kejadian di Jawa Timur serta didorong oleh pengalamannya sendiri maka Jansz mengarang suatu surat selebaran pada tahun 1872 yang berpokok: "Usaha pekabaran Injil dengan jalan membuka tanah." Ia berpendapat bahwa hidup orang-orang Jawa secara batin dan lahir sangat bersangkutpaut dengan ikatan desa. Hal ini merupakan rintangan-rintangan yang hampir tak dapat diatasi oleh para pekabar Injil. Oleh kesadaran itu maka Jansz mengusulkan untuk membuka tanah, serta mendirikan desa-desa Kristen yang memungkinkan adanya suatu suasana Kristen di bawah pemerintah desa Kristen. Hanya dengan jalan itu maka Injil bisa masuk ke dalam suku Jawa, demikian Jansz.

Anaknya, yaitu P.A. Jansz, yang diutus oleh perhimpunan Pekabaran Injil untuk membantu ayahnya, dengan giat melaksanakan usul-usul tersebut. Pada tahun 1881 dibukalah tanah Margorejo. Tanah tersebut terbuka untuk siapa saja, tetapi dengan syarat bahwa mereka harus menaati suatu peraturan tertentu. Misalnya dituntut dari mereka supaya menghentikan pekerjaan mereka pada hari Minggu, dan mengunjungi kebaktian-kebaktian. Selain daripada itu mereka diharuskan membayar sedikit sewa tanah. Pemerintah desa tersendiri dari orang-orang Kristen, dan yang menjadi tuan tanah memanglah pekabar Injil sendiri. Kemudian didirikan beberapa desa yang lain, misalnya Margokerto (1901) dan Pakis (1925) yang pada tahun 1941 dijual lagi. Berangsur-angsur pimpinan desa-desa yang dipegang oleh para pekabar Injil diserahkan kepada orang-orang Jawa.

Meskipun usaha tersebut boleh dikatakan sehat serta bermanfaat, namun harus diakui bahwa maksud yang terutama tidaklah tercapai. Tetapi pada pihak lain tak dapat disangkal bahwa pekerjaan pengasihan, misalnya poliklinik dan sebagainya, yang dilaksanakan di dalam desa-desa itu, berangsur-angsur mengakibatkan perubahan suasana di sekitarnya. Bahkan di Kelet di sekitar rumah sakit yang didirikan pada tahun 1915, muncullah suatu jemaat pada tahun 1923. Juga asrama orang-orang kusta di Donorejo (1916) mempunyai pengaruh yang tidak sedikit.

Sejak tahun 1928 -- hampir sama dengan di Jawa Timur -- pekabaran Injil di kota-kota mendapat perhatian. Kota-kota yang pertama-tama menerima berita Injil ialah Kudus dan Pati. Terbentuklah jemaat-jemaat yang anggota-anggotanya terdiri dari para mantri Kristen, para pegawai dan para pemuda. Akan tetapi perkembangan Gereja selaku organisasi berjalan amat lambat. Hal itu disebabkan oleh sifat Mennonit yang tidak memperhatikan organisasi Gereja serta para pejabatnya. Dapatlah dimengerti, bahwa mereka tidak mengusahakan pendidikan theologia untuk memperoleh pendeta-pendeta. Mereka mempekerjakan guru-guru sekolah menjadi pemimpin jemaat-jemaat setempat. Kepada mereka diberikan hal melayani sakramen, sehingga pada tahun 1940 memang terdapat 5 pemimpin jemaat yang mempunyai hak tersebut. Di antara merea ada juga yang dididik di sekolah pendeta di Ungaran, dan kemudian di Bale Wyoto di Malang. Untuk mengadakan organisasi yang menghubungkan jemaat-jemaat setempat maka pada tanggal 30 Mei 1940 didirikanlah "Patunggilan Pasamuan Kristen Jawi tata Injil ing keresidenan Pati, Kudus lan Japara". Dua belas jemaat dengan kira-kira angotanya tergabung di dalam organisasi itu.

Penderitaan Gereja di masa perang dunia kedua dan sesudahnya adalah hebat sekali. Golongan Islam yang sangat fanatik menganiaya mereka seakan-akan melakukan jihad untuk memusnahkan mereka yang tidak mau menganut agama Islam. Beberapa gedung gereja dimusnahkan, malahan orang-orang Kristen diancam supaya menjadi murtad. Tetapi sesudah peperangan di dalam perjuangan kemerdekaan maka pemuda-pemuda Kristen di daerah itu membuktikan sikap nasional mereka, sehingga sejak waktu itu mereka diakui di dalam masyarakat.

Meskipun dalam beberapa soal ajaran Gereja itu berbeda dengan Gereja-gereja yang lain, namun begitu Gereja Mennonit itu bersedia untuk bekerjasama secara oikumene. Memang timbul persoalan-persoalan misalnya mengenai pemeliharaan atas mereka yang berpindah ke daerahnya dari Gereja yang lain. Bagaimanakah sikap mereka terhadap baptisan dewasa, dan sebagaimana? Akan tetapi perbedaan-perbedaan itu dapat diselesaikan di dalam suasana persaudaraan yang benar. Lagi pula adanya suatu Gereja yang menitikberatkan beberapa soal berarti juga suatu pertolongan bagi Gereja yang lain, supaya mereka jangan tenggelam di dalam tradisinya, melainkan selalu mencari kebenaran.

Seperti halnya di Gereja-gereja yang lain di pulau Jawa, demikian juga di daerah ini muncullah golongan Kristen Tionghoa, di samping Gereja sekitar Muria tersebut. Terkumpullah di kota-kota jemaat-jemaat Tionghoa Mennonit yang besar jumlahnya. Sejarahnya akan kita gambarkan dalam fasal mengenai sejarah Gereja-gereja Tionghoa.


Catatan: dialihaksarakan ke ejaan baru oleh SABDA
Bibliografi
Artikel ini diambil dari:
Kruger, Dr. Th. Muller. 1966. Sejarah Gereja di Indonesia. Badan Penerbitan Kristen-Djakarta.
kembali ke atas