Dari Sejarah Alkitab Indonesia
Ketika orang-orang Belanda muncul di Asia, dan merasa terpaksa untuk mengambil alih pekerjaan Gereja di Indonesia dan sebenarnya di seluruh Asia dari tangan orang-orang Portugis, maka mereka sedikitpun tak bersiap-sedia untuk tugas ini. Sedangkan lain halnya dengan orang-orang Portugis yang memang sejak mulanya dapat mempergunakan perkumpulan-perkumpulan misi. Orang-orang Fransiskan, orang-orang Yesuit, orang-orang Dominikan dan yang lain-lain bersedia dan juga sanggup, untuk melakukan pekerjaan rohani di mana saja, pun kerajaan Portugis menegakkan kekuasaannya. Sifat internasional dari Gereja RK sedunia mengakibatkan bahwa pekerja-pekerjanya tidak melulu bernasional Portugis. Di samping padri-padri Portugis terdapat juga padri-padri Spanyol (Franciscus misalnya adalah warga-negara Spanyol!), Italia dan Belgia. Karena itu kendati adanya "padroado" Portugis, perkumpulan-perkumpulan misi mereka itu ke mana-mana membawa cap internasional dari Gereja RK. Dari berbagai-bagai ucapan Franciscus menjadilah jelas, betapa ia membatasi dirinya dari penguasa-penguasa Portugis. Umpamanya senantiasa ia berbicara tentang "orang-orang Portugis" dan bukannya berbicara tentang "pemerintah kita", sebagaimana kebiasaannya para pendeta Belanda di kemudian hari. Jika Gereja Portugis bersifat internasional maka Gereja Belanda bersifat nasional. Mereka beranggapan, terutama ketika baru muncul semangat nasionalnya, bahwa juga pekerjaan gerejanya tidak lepas daripada kepentingan nasional. Oleh karena itu maka ekspedisi yang telah dilakukan secara kejam terhadap orang-orang Banda dapat dirayakan oleh Ds. Hulsebos sebagai "suatu penaklukkan yang diberkati oleh Tuhan yang atasnya kita patut mengucapkan puji syukur yang tak berhingga kepada Allah". Keuntungan serta kehormatan bangsa sendiri rupa-rupanya tak dapat dipisahkan dari tindakan pengkristenan terhadap negeri ini. Lagipula orang-orang Kristen dipandang sebagai rakyat yang paling setia; makanya sangatlah mengejutkan bahwa seorang guru agama Ambon, namanya Yan Pays, di dalam pemberontakan-pemberontakan Ambon yang besar telah memihak kepada para pemberontak itu. Pada tahun 1653 ia dihukum mati secara dipancung kepalanya dan badannya dipotong empat. "Ekspedisi-ekspedisi Hongi" yang amat ditakuti itu, sering juga disertai oleh seorang pendeta. Peristiwa ini biasanya diakhiri dengan suatu pesta, hari pertama khususnya untuk orang-orang Kristen dan hari kedua merupakan pesta umum, juga untuk orang-orang Islam dan kafir. Hanya beberapa kali kita melihat pendeta-pendeta dan anggota-anggota majelis gereja menentang hubungan Gereja dan negara yang terlampau erat ini. Misalnya di Jakarta, sesudahnya berakhir pemberontakan-pemberontakan Ambon lalu pada tanggal 16 April 1655 diperintahkan untuk mengadakan kebaktian-kebaktian pengucapan syukur, maka beberapa anggota di dalam majelis gereja memperdengarkan suaranya yang menentang perintah itu, oleh sebab "peperangan ini tidak adil". Tetapi pada umumnya di dalam kesadaran kebanyakan pendeta maka kepentingan Gereja itu sudah menjadi satu dengan kepentingan VOC.
Kesukaran besar dalam soal pekerja-pekerja terutama disebabkan oleh karena pada waktu itu Gereja di Belanda memang sama sekali tidak dapat bersiap-sedia untuk tugas yang luas itu. Belumlah muncul di dalam Gereja-gereja reformasi suatu pikiran untuk melakukan pekerjaan Gereja di seberang lautan apalagi untuk mengadakan pekabaran Injil terhadap daerah-daerah yang bukan Kristen. Barulah pada akhir abad ke-16 terdapat perintis-perintis pertama yang insaf akan kewajiban mengabarkan Injil dari Gereja. Akan tetapi hanya beberapa oknum saja yang menginsafinya. Pada abad ke-19 mulailah Gereja menjalankan tugas itu.
Untuk tugas itu Gereja-gereja tidak memiliki organisasi-organisasi, mereka hanya mengenal jabatan-jabatan jemaat. Merekapun tidak mengetahui bagaimana langkah-langkah pertama harus dilakukan supaya dapat membawa orang-orang kepada Kristus dan menghimpunkannya di dalam jemaat-jemaat. Menurut keinsyafan mereka maka yang penting hanyalah suatu tata gereja yang tidak berubah-ubah dengan jemaat-jemaatnya serta jabatan-jabatan yang teratur tetap. Jadi dari manakah memperoleh tenaga-tenaga, yang dalam waktu yang singkat akan ditempatkan di tanah Indonesia yang jauh itu, untuk suatu tugas yang berlainan sekali? Para penghibur-orang-sakit yang pertama sembarang saja telah diangkat oleh Tuan-tuan XVII", supaya ikut belayar dengan kapal-kapalnya. Akan tetapi tidak lama kemudian segera dicari perhubungan dengan beberapa klasis yaitu klasis-klasis yang menghubungkan jemaat-jemaat di dalam kota-kota pelabuhan. Memang di sanalah terdapat banyak minat terhadap usaha VOC di Indonesia. Dari mereka dimintakan nasihat serta pengesahan atas pengangkatan para penghibur-orang-sakit serta para pendeta. Sejak tahun 1605 sudah disediakan beasiswa oleh VOC bagi beberapa mahasiswa theologia, yang akan dididik untuk pekerjaan di Indonesia. Berdirinya suatu Seminarium Indicum pada tahun 1620 merupakan langkah terpenting untuk memperoleh pendeta-pendeta. Atas nasihat fakultas theologia di Leiden maka di bawah pimpinan gurubesar A. Walaeus dididiklah di dalam seminarium itu 12 orang muda. Memanglah ternyata bahwa kecakapan serta kesalehan mereka istimewa jika dibandingkan dengan kawan-kawan sekerja mereka di Indonesia. Tetapi sayang bahwa seminarium ini sesudah berdiri 10 tahun ditutup pada tahun 1630. Pemerintah di Indonesia tiada sudi mempekerjakan pendeta-pendeta yang berpendirian serta bertindak sendiri. Dengan demikian perlengkapan jumlah tenaga-tenaga tetap merupakan suatu kesukaran, ya malah kian lama kian menjadi lebih sukar. Makanya juga dipungut saja sembarang pendeta dan penghibur-orang-sakit untuk dikirimkan ke Indonesia, yang beberapa di antaranya hampir-hampir tidak ditempatkan di dalam sesuatu pekerjaan Gereja. Malah kita dapati di antara mereka avonturir-avonturir (petualang-petualang) dan orang-orang yang mencari-cari untung. Di antara para penghibur-orang-sakit sering terdapat tukang-tukang biasa, yang melalui jalan ini ingin menaiki tangga masyarakat lebih tinggi. Akan tetapi di antara mereka terdapatlah juga sejumlah nama-nama yang patut dipuji. Mereka itulah hamba-hamba Yesus Kristus yang setia, yang menyerahkan dirinya sepenuhnya yang tidak bergoncang dan yang beriman di dalam gerejaNya di Indonesia. Dan dapatlah dengan pasti dikatakan bahwa seluruh korps para pekerja Gereja di dalam "masyarakat Eropa di Indonesia" berada pada tingkat kebudayaan dan kesadaran moril yang melebihi rata-rata golongan Eropa. Sebab bagaimanakah keadaan waktu itu, jelaslah dari laporan-laporan beberapa pendeta, misalnya dari Ds. Vertrekht, yang bekerja di Ambon dan Banda mulai dari tahun 1643 sampai 1648. Ditulisnya, bahwa "orang-orang Belanda adalah suatu bangsa yang paling fasik, suatu bangsa Sodom dan Gomora, yang menunjukkan bahwa dengan perbuatan-perbuatannya seperti berjudi, mabuk, menghina Firman dan kebaktian kepada Tuhan, mereka tidak peduli lagi akan Allah maupun agama, yang tiap hari melakukan perbuatan-perbuatan yang menyakitkan hati dan keji terhadap orang-orang Ambon yang halus itu, terkecuali beberapa saja yang baik". Dengan latar belakang inilah harus kita menimbang korps para pekerja Gereja. Memang disesalkan perbuatan seorang pendeta seperti Ds. Du Praet di Ambon yang melakukan perdagangan budak. Demikikan pula kita tidak mendalihkan pendeta yang ingin lekas menjadi kaya. Tetapi dengan latar belakang tadi kelakuan mereka itu bukannya merupakan kelakuan yang luar biasa. Jika dibandingkan dengan para rahib, di zaman Portugis, maka kuranglah nilai para pekerja Gereja Protestan. Para rahib senantiasa terikat oleh janji-janji biara dalam hal kemiskinan dan ketaatan, dan justru di dalam kedua kebajikan ini para pejabat Gereja Protestan tidak dapat menandingi para monnik (biarawan). Terlebih pula sebagaimana halnya dengan kebanyakan orang-orang Portugis pada waktu itu, maka para padri ini merupakan orang-orang yang menetap, dan bukan orang-orang yang sebentar lagi akan berangkat pula. Bagi mereka tidak ada kontrak-kontrak buat beberapa tahun, untuk kemudian kembali ke tanah air. Dan oleh karena itu pekerjaan merekapun dapat berakar lebih dalam di dunia Indonesia, dibandingkan dengan orang-orang Protestan pengganti mereka itu. Jelaslah, bahwa pekerjaan Gereja dari para pendeta dan para penghibur-orang-sakit ini amat tergantung kepada pusat. Keadaan sedemikian tidak sesuai dengan tatagereja presbyterial. Selain daripada itu mejelis-majelis gereja -- terutama di Jakarta dan Ambon -- terdiri dari pegawai-pegawai VOC. Dan guna kepentingan hidup mereka sendiri, sukarlah bagi mereka untuk melaksanakan sesuatu yang bertentangan dengan kehendak pemerintah. Pendeta-pendetapun hanyalah "pegawai-pegawai negeri" dan oleh tindakan-tindakan yang keras dari banyak gubernur para pendeta ini merasa bahwa mereka hanya wajib menaati saja. Sering hukuman-hukuman yang keras dijalankan terhadap mereka itu. Misalnya pemindahan paksa, pengiriman kembali ke negeri Belanda, penahanan di dalam penjara. Kesukaran lain pula yang dialami oleh para pendeta itu ialah hubungan yang sangat berjauhan antara golongan Eropa dengan golongan Indonesia. Di antara keduanya itulah mereka harus berdiri. Di samping harus melayani orang-orang Belanda yang kasar-kasar serta cabul itu, merekapun harus melayani orang-orang Kristen Indonesia yang baru dibaptiskan. Pada hakekatnya berdasarkan keadaan serba tanggung-tanggung ini hampir-hampir mereka tidak dapat mengadakan hubungan-hubungan dengan orang-orang Indonesia. Tambahan dapat pula mereka dihalangi oleh pengetahuan mereka yang amat kurang dalam bahasa Melayu. Hanya beberapa yang dapat memahirkan dirinya di dalam bahasa itu. Selain itu sebenarnya hanya di beberapa kota besar saja bahasa Melayu itu dipergunakan sebagai bahasa pergaulan, sedangkan yang umum dipakai ialah "bahasa-bahasa daerah". Makanya juga pada "perkunjungan-perkunjungan" ke pulau-pulau yang jauh-jauh letaknya, bahasa "Melayu" mereka tidak dapat menghasilkan hubungan-hubungan yang sesungguhnya. Pula perkunjungan-perkunjungan ini seringkali memisahkan mereka untuk beberapa bulan lamanya dari pekerjaan jemaatnya ditempatnya. Akibatnya ialah bahwa pembangunan jemaat yang sesungguhnya hampir tidak dapat dilaksanakan. Pada pihak lain pula mereka tidak dapat berbuat apa-apa terhadap pulau-pulau yang hanya dikunjungi beberapa hari itu. Pendek kata, para pendeta itu kebanyakannya melakukan suatu pekerjaan, yang sedikit sekali memberi hasil dan karenanya juga kurang memberi kepuasan. Sebab itu juga kebanyakan dari mereka hanya mau tinggal di Indonesia selama suatu kontrak. Lagi pula banyak dari mereka yang gugur dalam pekerjaannya oleh karena menderita penyakit-penyakit dan mengalami kematian-kematian yang lekas. Karena itulah terjadi perubahan-perubahan yang cepat di dalam korps para pekerja Gereja dan tidaklah terdapat sama sekali suatu kelangsungan pertumbuhan rohani di dalam jemaat-jemaat.
Patutlah kita menyebutkan khusus beberapa pendeta yang telah berjasa besar karena kecakapan dan penyerahan diri mereka sepenuhnya kepada pekerjaan Gereja di Indonesia.
Kaspar Wiltens, lahir pada tahun 1584 di Antwerpen, adalah pendeta Belanda yang pertama di Indonesia. Pada tahun 1610 ia diuji dan ditahbiskan oleh klasis di Amsterdam bagi pelayanan Gereja di "Indiƫ" dan pada tahun 1612 datanglah ia ke Indonesia. Ia ditempatkan di Bacan, 1614 di Ambon, 1617 ke Banda sebagai "hukumannya," dari sana kembali pula ke Ambon dimana ia pada tahun 1619 meninggal dunia dalam usia yang masih muda yaitu 31 tahun. Ia telah berusaha mempelajari bahasa "Melayu" dan membuat serangkaian khotbah-khotbah dalam bahasa melayu guna dibacakan di dalam kebaktian-kebaktian Indonesia. Berpuluh-puluh tahun lamanya khotbah-khotbah ini masih dipergunakan dan beberapa kali dicetak ulang.
Pendeta pertama dari Jakarta ialah Adriaan Yacobsz Hulsebos. Sebenarnya ia adalah seorang guru, akan tetapi berdasarkan bakat-bakatnya ia telah diterima sebagai pendeta dan diutus ke Indonesia. Pada tahun 1616 tibalah ia di Indonesia dan masih mengalami pendudukan orang-orang Belanda atas Jakarta. Bersama-sama dengan Danckaerts ia telah menyusun tatagereja yang pertama bagi Indonesia. Iapun telah meresmikan majelis gereja Jakarta yang pertama. Kemudiannya itu ia dikirim ke Banda dan Ambon untuk melantik juga di tempat-tempat ini majelis-majelis gerejanya. Akan tetapi pada perjalanannya ini di tahun 1622 ia mati tenggelam ketika memasuki teluk Ambon.
Sebastiaan Danckaerts, lahir pada tahun 1593 di Den Haag, berangkat ke Indonesia pada tahun 1617. Sesudah setahun tinggal di kampung orang Belanda di Banten, maka pada tahun 1618 ia dipindahkan ke Ambon, dimana hingga tahun 1622 ia telah melakukan pekerjaan yang penting. Berkat usahanyalah maka dapat dididik guru-guru yang pertama, yang dilakukan dalam semacam "seminari" di rumahnya. Sesudah suatu masa cuti di negeri Belanda dimana ia hadir juga pada Synode Dordrekht, kembalilah pula ia pada tahun 1624 dan bekerja di Jakarta hingga matinya pada tahun 1634. Dialah pula sebenarnya yang telah menyusun tatagereja yang pertama (1624) dan sebuah katekismus Melayu.
Georgius Candidius, seorang Jerman dari daerah Paltz, lahir pada tahun 1597, datang ke Indonesia pada tahun 1625 dan ditempatkan di Ternate. Di sana ia mengalami penganiayaan-penganiayaan yang terberat dari seorang wakil pemerintah disebabkan ia telah berani menegurnya karena tingkah-laku hidupnya yang tiada senonoh. Dari sana ia dipindahkan ke Formosa. Di situ bersama-sama dengan pendeta Yunius yang cakap itu, ia telah mempelajari sungguh-sungguh bahasa negeri itu. Tetapi pada tahun 1638 dan sesudah bercuti di Belanda kembali pada tahun 1644 sampai matinya pada tahun 1647.
Akan tetapi tidaklah dapat disangkal bahwa yang paling cakap di antara para pendeta itu ialah Yustus Heurnius, lahir pada tahun 1587 di Utrekht. Setelah membuat pelajaran di dalam ilmu kedokteran dan kemudian ilmu theologia, berangkatlah ia dalam usia 36 tahun ke Indonesia pada tahun 1624. Sesudah bekerja 8 tahun di Jakarta, iapun dipindahkan ke Saparua dimana ia tinggal sampai tahun 1638. Pada tahun itu ia kembali ke Belanda dan meninggallah ia pada tahun 1652. Sebagai seorang mahasiswa enam tahun sebelum diutus, ia sudah menulis sebuah buku, yang pada pertama kalinya di Belanda membahas soal kewajiban memberitakan Injil. Nama buku itu ialah "De Legatione evangelica ad Indos capessenda admonitio" ("Ajakan untuk memulai pekabaran Injil di antara orang-orang Indonesia") dikarang pada tahun 1618. Di Jakarta ia berusaha untuk mengadakan hubungan-hubungan zending dengan penduduk Tionghoa yang banyak itu. Antara lain ia telah ikut menyelenggarakan suatu daftar kata-kata Tionghoa-Latin-Belanda, kemudian ia terutama mengerjakan terjemahan-terjemahan dan peninjauan kembali dari terjemahan-terjemahan Alkitab. Ia telah mengalami banyak sekali kesukaran karena sikapnya yang tegas dan berani terhadap tindakan-tindakan pemerintah yang se-wenang-wenang. Hal ini juga telah menahan dia untuk kembali ke Indonesia. Yang amat penting ialah usulnya untuk mendirikan di Indonesia suatu pendidikan theologia bagi orang-orang Indonesia (1629). Atas nasihat Gereja-gereja di Belanda sayang hal itu tidak terlaksana, sebab orang menyangka bahwa dengan cara demikian kemurnian ajaran tidak dapat dijamin lagi. Pandangan yang picik ini telah sangat merugikan perkembangan Gereja-gereja di Indonesia.
Abraham Rogerius seorang mahasiswa tamatan Seminari Indicum, diutus pada tahun 1632 dan bekerja di India Selatan dari tahun 1632-1642. Di sana ia demikian memahirkan diri dalam bahasa Portugis, sehingga ia dipanggil untuk bekerja pada "jemaat Mardeika" yang berbahasa Portugis di Jakarta dari tahun 1643-1647. Kecuali beberapa terjemahan ke dalam bahasa Portugis, ia telah mengadakan juga suatu penyelidikan penting tentang cara-cara pekabaran Injil di India Selatan: "Gentilismus reseratus" ("Pintu kekafiran yang terbuka)".
Selanjutnya di antara orang-orang yang berbahasa Portugis bekerjalah juga Ferreira d'Almeida, seorang yang rajin sekali serta berbakat, lahir di Lisboa pada tahun 1628. Agaknya ia tadinya seorang anggota ordo Yesuit, yang kemudian menjadi Protestan. Mula-mula ia diangkat sebagai penghibur-orang-sakit, kemudian ditahbiskan menjadi pendeta (1654) di Sailan dan sejak tahun 1663 bekerja di Jakarta di antara orang-orang "Mardeika". Pada tahun 1689 ia dipensiunkan dan meninggal di Jakarta pada tahun 1691. Semasa hidupnya ia telah menterjemahkan ke dalam bahasa Portugis katekismus Heidelberg dan tulisan-tulisan mengenai liturgi, tetapi usahanya yang terutama ialah menterjemahkan juga seluruh Alkitab.
Kita sebut lagi Franciscus Valentiyn, bukan lantaran prestasi-prestasinya sebagai pendeta, melainkan berhubung dengan beberapa buku penting yang telah dikarangnya. Dilahirkan di Dordrekht pada tahun 1666, dan baru berusia 19 tahun ia telah diutus dan ditempatkan di Ambon (1686), dan tinggal di sana untuk waktu yang lama. Bukunya yang 5 jilid tentang "Oud en Nieuw Oost Indiƫ (Indonesia Lama dan Baru) membuktikan kecakapannya untuk mengumpulkan segala hal yang patut diketahui. Selanjutnya ia telah mengerjakan terjemahan Alkitab di dalam bahasa "Melayu rendah" dan mencoba supaya terjemahannya itu yang dicetak dan bukannya terjemahan Leydekker yang pada waktu itu telah diusahakan juga. Akan tetapi hasil usahanya tidak diterima untuk dicetak.
Melkhior Leydekker, doktor dalam ilmu kedokteran dan theologia datang ke Indonesia pada tahun 1675 dan ditempatkan di Jakarta. Sebagai seorang menantu dari Gubernur Jenderal van Riebeck ia memperoleh sebidang tanah di Tugu (Jakarta), maka tinggallah ia di sana hingga matinya pada tahun 1701. Sejak tahun 1693 ia telah dibebaskan dari pekerjaannya sebagai pendeta agar supaya dapat mencurahkan segenap waktunya kepada terjemahan Alkitab. Terjemahan ini telah ditugaskan kepadanya, oleh sebab memanglah ternyata bahwa ia memiliki bakat yang luar biasa dalam pengetahuan bahasa Melayu. Tetapi ia telah meninggal sebelum terjemahannya itu selesai. Selebihnya yaitu mulai dari Epesus 6:6 telah diselesaikan oleh Ds. P. van der Vorm.
Memang, deretan ini boleh dilanjutkan dengan menyebut beberapa nama lagi dari jumlah yang begitu besar yang terutama berasal dari negeri Belanda, Jerman dan Swiss. Akan tetapi kita membatasi saja pilihan tersebut pada mereka yang telah meletakkan batu-batu yang pertama di dalam Gereja Protestan di Indonesia serta yang mempunyai arti yang istimewa untuk perkembangan Gereja itu. Nama-nama dari sejumlah pekerja-pekerja Gereja bangsa Indonesia akan dibicarakan pada fasal yang berikut.
- Catatan: dialihaksarakan ke ejaan baru oleh SABDA
Bibliografi | |
Artikel ini diambil dari: |