Dari Sejarah Alkitab Indonesia
Dari uraian terdahulu kita sebenarnya telah mulai melihat upaya Gereja Kristen pada abad-abad pertama untuk mengadakan Alkitab sebagai kitab suci bagi persekutuan religius itu. Pengadaan Alkitab tidak terlepas dari upaya penerjemahannya dari bahasa asli ke dalam pelbagai bahasa. Pada bagian ini kita tidak akan banyak berbicara tentang upaya dan seluk beluk penerjemahan, karena pokok itu merupakan porsi dari tulisan pada bab-bab berikutnya (lihat bab II-IV); kita akan lebih memusatkan perhatian pada upaya Gereja memiliki dan menyediakan Alkitab, terutama dalam rangka memenuhi kebutuhannya dalam hal peribadahan maupun pemeliharaan iman warganya, sejak kanon Alkitab (Perjanjian Lama dan Perjanjiaan Baru) tersusun secara definitif, yaitu sejak abad ke-4.
- Berbicara tentang penyusunan kanon Perjanjian baru yang definitif, ada beberapa dokumen atau peristiwa yang perlu dicatat, antara lain: (1) karya Eusebius tahun 337, Kehidupan Konstantinus, yang atara lain menceriterakan perintah Kaisar Konstantinus kepadanya tahun 330 (isinya lihat di bawah), di mana Eusebius menyebut ke-27 tulisan yang kita kenal dalam Perjanjian Baru sekarang; (2) surat edaran Athanasius, uskup Aleksandria, pada hari raya Paskah tahun 367, yang juga berisi daftar 27 tulisan yang kita kenal dalam Perjanjian Baru sekarang; (3) keputusan konsili di Hippo tahun 393, keputusan resmi pertama dari gereja yang menetapkan kanon. Susunan isi Perjanjian Baru pada kedua tulisan pertama sedikit berbeda dari Perjanjian Baru yang kita kenal sekarang, sedangkan susunan isi Perjanjian Baru pada dokumen ketiga di atas persis sama dengan perjanjian Baru yang kita kenal sekarang.
Pengadaan dan persebaran alkitab - ataupun tulisan-tulisan yang dinilai suci, sebelum tersusunnya Alkitab seperti yang kita kenal sekarang - sangat tergantung pada situasi dan kondisi yang dihadapi dan dialami Gereja. Khusus mengenai gereja atau jemaat-jemaat di lingkungan kekaisaran Romawi, kita tahu bahwa hingga awal abad ke-4 mereka sering mengalami penghambatan atau penindasan, terutama oleh para penguasa kekaisaran. Tetapi penghambatan itu tidak berlangsung sepanjang tahun dalam kurun waktu hampir tiga abad itu. Ketika penghambatan agak reda, di seluruh ataupun di sebagian wilayah kekaisaran itu, kitab suci atau tulisan-tulisan suci itu dapat disalin atau digandakan - dengan tulisan tangan - dan diedarkan dengan lancar. Tetapi bila penghambatan berkobar, semua itu harus dilakukan dengan sembunyi-sembunyi.
Penghambatan mencapai puncaknya pada akhir abad ke-3 hingga abad ke-4. Pada tanggal 23 Februari 303 Kaisar Diocletianus mengeluarkan maklumat yang isinya antara lain: semua gedung gereja harus diruntuhkan, pejabat gereja harus ditangkap dan dipenjarakan, dan kitab[-kitab] suci harus diserahkan kepada petugas pemerintah untuk dimusnahkan. Untuk yang terakhir ini, semua rumah orang Kristen digeledah. Untunglah para petugas itu tidak tahu persis, mana buku yang masuk kategori kitab suci dan mana yang bukan (karena pada saat itu, seperti kita catat di atas, belum ada kitab suci Perjanjian Baru yang kanonik, sedangkan kitab suci Perjanjian Lama tidak diganggu, karena tidak dianggap kitab suci khas Kristen), sehingga banyak kitab [-kitab] suci yang selamat. Dan seandainya pun para petugas mengenali kitab [-kitab] suci itu, banyak orang Kristen tidak mau menyerahkannya, karena mereka memahami betapa pentingnya kitab [-kitab] suci itu bagi kehidupan imannya. Apalagi mereka yang menyerahkan kitab [-kitab] suci itu ke tangan penindas akan dicap sebagai traditores (traitors): pengkhianat iman).
Sejak tahun 311, tetapi terutama sejak tahun 313, penghambatan berakhir, sebagaiman dipermaklumkan dalam Edik Galerius dan Edik Konstantinus (lebih dikenal dengan nama Edik Milano). Gereja diberi kebebasan berkembang di seluruh wilayah kekaisaran Romawi di seputar Laut Tengah dan agama Kristen diakui sebagai agama yang legal. Dengan demikian kitab[-kitab] suci pun boleh digandakan dan diedarkan dengan leluasa. Bahkan penggandaannya didukung para penguasa. Kaisar Konstantinus, misalnya, yang baru resmi menjadi Kristen menjelang ajalnya, beberapa tahun sebelum meninggal dunia, tepatnya tahun 330, memerintahkan kepada Eusebius di Kaisarea, sejarawan gereja yang tersohor itu, untuk menyediakan lima puluh buah salinan Kitab Suci. Sang kaisar mewanti-wanti agar salinan dilakukan dengan secermat mungkin oleh para jurutulis terlatih, dengan menggunakan bahan-bahan yang terbaik, lalu hasilnya dikirimkan dengan ekspedisi khusus ke Konstantinopel, ibukota baru kekaisaran. (1) Tak perlu kita persoalkan naskah mana yang dijadikan Eusebius sebagai dasar salinan; yang jelas, seperti telah disinggung di atas, di dalamnya terdapat ke-39 kitab-kitab Perjanjian Lama dan ke-27 kitab-kitab Perjanjian Baru, kendati susunannya sedikit berbeda dari yang kita kenal sekarang.
Contoh di atas menggambarkan betapa pengadaan Alkitab pada masa lalu bukan merupakan urusan yang sederhana dan remeh. Masalahnya bukan hanya terletak pada biaya yang tinggi, sehingga yang mampu memiliki Alkitab ketika itu hanyalah kalangan bangsawan atau orang kaya, melainkan juga pada akurasi (kecermatan) penyalinan. Karena itu tak heran bila pada abad-abad permulaan dari kehadiran dan perkembangan gereja kita menemukan beraneka ragam versi naskah, dan tidak mudah bagi para sarjana Alkitab di kemudian hari untuk menetapkan mana yang asli, atau yang paling dekat pada yang asli. Dan pada gilirannya kenyataan ini menimbulkan banyak kesulitan ketika Alkitab hendak diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa. (2)
Keadaan itu berlangsung hingga abad ke-15, saat ditemukannya mesin cetak (lihat di bawah). Betapapun besar dan banyaknya kesulitan dalam pengadaan dan penyebaran Alkitab sejak masa penghambatan hingga masa kebebasan dan dukungan pemerintah, gereja terutama para pejabatnya - tetap berupaya menyediakan/menggandakan dan menyebarkannya, sebab mereka sadar bahwa Alkitab mempunyai kedudukan dan peranan yang sangat vital bagi kehidupan dan ibadah Gereja (mengenai hal yang terakhir ini, lebih lanjut lihat bab V buku ini).
Dengan tidak mengurangi penghargaan dan penghormatan kepada mereka yang berlelah mengupayakan pengadaan dan penyebaran Alkitab selama sekian belas abad itu, kita toh perlu mencatat bahwa keadaan itu ikut membuat Alkitab selama berabad-abad menjadi ibarat benda keramat. Terutama di Barat (Eropa Barat dan Selatan), Alkitab hanya boleh dimiliki dan dibaca oleh elite gereja (mungkin ditambah dengan segelintir elite penguasa), yang jumlahnya sangat terbatas. Apalagi Alkitab hanya tersedia dalam bahasa Latin (yaitu Vulgata, hasil terjemahan Hieronimus (Jerome) pada akhir abad ke-4), yang tidak dipahami oleh masyarakat luas yang - dibandingkan dengan para klerus (imam) - pada umumnya kurang berpendidikan. Faktor ini ikut menyulitkan warga gereja untuk memeriksa apakah ajaran Gereja sesuai dengan isi Alkitab. Kenyataan ini ikut menjadi alasan bagi para reformator gereja pada abad ke-16, yaitu Luther dan kawan-kawan, bahkan juga bagi para perintis Reformasi pada masa sebelumya (misalnya John Wycliffe, 1324-1384, di Inggris), untuk mengupayakan terjemahan Alkitab ke dalam bahasa mereka masing-masing. Ini sejalan dengan salah satu semboyan Reformasi, sola scriptura (Alkitab satu-satunya sumber ajaran Gereja yang benar). Para reformator cukup beruntung, karena belum lama sebelumnya Johannes Gutenberg (1400-1468) menemukan mesin cetak, yang mampu dengan cepat menggandakan hasil terjemahan mereka, dengan tingkat akurasi yang lebih terandalkan pula dibanding dengan salinan tulis tangan.
Peranan para reformator bukan hanya dalam hal penerjemahan Alkitab dan penggandaan serta penyebarannya, melainkan juga - bahkan terutama - dalam menjadikan Alkitab sebagai kelengkapan utama di dalam peribadahan. Sebelum reformasi, ibadah Gereja berpusat pada pelayanan ekaristi (perjamuan kudus), yang dipahami sebagai sarana utama penyaluran rahmat Allah. Para reformator, sejalan dengan semboyan sola scriptura tersebut di atas, menegaskan bahwa Firman Tuhanlah pusat peribadahan, karena Firman Tuhanlah yang memberitakan kepada kita rahmat Allah. Sejalan dengan itu, perjamuan kudus dipahami para reformator sebagai Firman Tuhan yang diberitakan dalam bentuk tanda (untuk membedakannya dari khotbah yang merupakan pemberitaan Firman Tuhan dalam wujud kata-kata, atau secara verbal). Karena Firman Tuhan menduduki tempat sentral di dalam ibadah gereja-gereja reformatoris (kemudian disebut juga Protestan), maka Alkitab tak bisa tidak harus tersedia disetiap tempat peribadahan, entah di rumah-rumah ibadah ataupun disetiap rumahtangga, dan harus dapat didengar atau dibaca dalam bahasa yang dimengerti oleh umat.Kedudukan sentral Firman Tuhan sebagaimana terdapat di dalam Alkitab, dan kewibawaan Alkitab sebagai satu-satunya sumber ajaran yang benar, yang kepadanya seluruh ajaran dan keputusan Gereja harus tunduk, dapat kita baca di dalam berbagai karya tulis para reformator maupun dokumen-dokumen yang memuat ajaran atau pandangan mereka. Sebagai contoh, berikut ini disajikan kutipan dari tulisan Calvin:
- Allah dinyatakan kepada kita di dalam Alkitab sebagai Pembuat dunia, dan kepada kita ditunjukkan pula apa yang harus kita ketahui tentang Dia, supaya kita tidak kesasar ke sana ke mari dalam usaha kita mencari suati ilah yang tidak pasti. ...Di dalam hati para bapa leluhur telah diterakan suatu kepastian yang teguh tentang ajaran itu, sehingga mereka yakin dan paham bahwa ajaran yang telah mereka peroleh itu datangnya dari Allah. Akhirnya, supaya ajaran yang benar itu tak putus-putusnya tetap berlaku dari abad ke abad, maka dikehendaki-Nya supaya wahyu-wahyu yang dipercayakan-Nya ke dalam tangan para bapa leluhur dicatat dalam berita resmi. Untuk itu diumumkan-Nya Hukum Taurat-Nya, kemudian ditambahkan-Nya Nabi-nabi sebagai penerang-penerang Taurat itu. Maka pastilah sudah hal ini: Bahwa tiada seorang yang dapat mencicipi sedikit pun dari ajaran sehat dan benar tanpa menerima pelajaran dari Kitab Suci. Jika pada mulanya Gereja Kristen didirikan atas dasar kitab-kitab para Nabi dan pemberitaan para Rasul, maka sudah semestinya bila di mana pun penerimaan terhadap ajaran mereka itu mendahului adanya Gereja, karena tanpa ajaran itu tidak akan ada Gereja. Maka ketika Gereja menerima Kitab Suci dan meneguhkannya dengan persetujuannya, itu tidak berarti bahwa keaslian Kitab itu diteguhkan seakan-akan sebelumnya diragukan atau dipersoalkan. Tetapi karena Kitab itu diketahuinya merupakan kebenaran Tuhannya, Gereja tanpa ragu menghormatinya, sesuai dengan ketaatan yang menjadi kewajibannya. (1)
Namun dalam kaitan ini bisa segera timbul pertanyaan: Alkitab mana yang dimaksudkan oleh para reformator? Sebab Alkitab yang digunakan Gereja hingga masa itu adalah Vulgata yang - disamping memuat 39 kitab-kitab Perjanjian Lama dan 27 kitab-kitab Perjanjian Baru - juga memuat sejumlah kitab lain yang dikenal dengan nama Deuterokanonika, yang termasuk dalam kumpulan tulisan yang dinamakan kitab-kitab Apokrif. (2) Martin Luther, misalnya, dengan mengacu pada catatan Hieronimus (sang penerjemah Vulgata itu), tidak serta-merta menolak kitab-kitab Apokrif ini, tetapi ia dipisahkan dari Perjanjian Lama dan ia beri judul sebagai berikut: "Apokrif: kitab-kitab yang tidak dipandang sebagai setara dengan kitab Suci, tetapi berguna dan baik untuk dibaca. "(3) Karena itu kitab-kitab yang diakui sebagai bagian dari Kitab Suci di dalam Alkitab yang diterjemahkan para reformator itu adalah 66 kitab, seperti yang lazim kita temukan di dalam Alkitab. Namun demikian banyak juga terbitan Alkitab di kalangan gereja reformatoris yang juga dilengkapi dengan Deuterokanonika, seperti misalnya Alkitab Jenewa yang disediakan Calvin dan kawan-kawan dan berbagai Alkitab berbahasa Inggris yang didasarkan pada Alkitab Jenewa itu. (1) Karena itu kita tidak usah heran apabila kini Lembaga Alkitab Indonesia menerbitkan juga Alkitab yang dilengkapi dengan Deuterokanonika, terutama untuk kebutuhan Gereja Katolik Roma di Indonesia. Langkah yang patut disambut gembira ini tentu dijiwai semangat oikumenis yang semakin digalakkan dan ditumbuhkembangkan di antara Gereja Katolik Roma dan gereja-gereja protestan sejak pertigaan terakhir abad ke-20 ini, yakni sejak Konsili Vatikan II 1962-1965.
Kembali kepada pandangan dan ajaran para reformator tentang fungsi dan kedudukan vital Alkitab di dalam kehidupan Gereja, pandangan ini lebih lanjut dipertahankan dan dikembangkan oleh gereja-gereja dan lembaga-lembaga zending (pekabaran Injil) Protestan pada abad-abad selanjutnya. Karena itu wajarlah bila kehadiran mereka di berbagai negeri dan lapangan penginjilan yang baru, termasuk di Indonesia, ini segera dibarengi, bahkan kadang-kadang didahului oleh penerjemahan dan pengadaan Alkitab (mula-mula bagian-bagiannya, kemudian secara lengkap). Kita tidak bisa membayangkan pertumbuhan dan perkembangan gereja-gereja di seluruh muka bumi ini seandainya Alkitab tidak tersedia di tengah-tengah masyarakat yang baru mengenal Kristus itu, di dalam bahasa yang mereka mengerti. Untuk memenuhi kebutuhan akan Alkitab dalam berbagai bahasa itu, acap kali gereja atau badan-badan zending itu tidak mampu, sehingga harus dibantu oleh badan lain. Syukurlah sejak tahun 1804 berdiri sejumlah Lembaga Alkitab (lihat bab III), yang pada hakikatnya merupakan semacam "Lembaga Swadaya Masyarakat [Kristen]" yang terpanggil untuk memenuhi tugas mulia ini. Dengan mengambil Lembaga Alkitab Belanda sebagai contoh, patut dicatat bahwa para personal Lembaga Alkitab ini tidak hanya sibuk dengan urusan penerjemahan Alkitab. Mereka juga mempelajari seluk-beluk kehidupan dan budaya masyarakat (adat-istiadat, bahasa, dsb.), lalu menghasilkan banyak karya studi yang berbobot, yang pada gilirannya memberi banyak pertolongan bagi masyarakat yang bersangkutan untuk mengenal, melestarikan dan mengembangkan budaya dan jati dirinya. Bahkan ada di antara mereka yang - berdasarkan asas Reformasi - mendorong kemandirian gereja-gereja di lapangan penginjilan, dalam hal ini Indonesia. Salah seorang diantaranya, Hendrik Kraemer (1888-1965) misalnya, mengeritik dengan tajam para pemimpin badan-badan zending yang tak kunjung memberi kepercayaan kepada para tokoh Kristen pribumi untuk memimpin gereja mereka. Dengan bertolak dari asas Reformasi tentang Firman Tuhan yang ada di dalam Alkitab sebagai pusat kehidupan Gereja, dan dari teologi Karl Barth yang juga didasarkan pada asas Reformasi itu, Kraemer menegaskan: kedewasaan dan kesejatian gereja bukan terletak pada kelengkapan organisasi, daya, sarana dan teologinya, melainkan pada kenyataan bahwa di dalam gereja itu Firman Tuhan atau Injil yang ada di dalam Alkitab diberitakan, dan sakramen dilayankan.(1)
Untuk mengakhiri tulisan ini, baiklah kita kutip dua buah pernyataan atau pemahaman iman dua lembaga gereja [Protestan] tentang Alkitab, yang mewakili dan mencerminkan pergumulan dan upaya Gereja pada zaman modern, ini, termasuk di Indonesia, dalam memahami Alkitab. Kutipan pertama diambil dari Laporan kepada Generale Synode Gereformeerde Kerken Nederland, 1979:
- Begitu banyak hal yang bersejarah diceritakan oleh Alkitab kepada kita, tetapi bukan dengan maksud untuk memberikan kepuasan kepada kita, melainkan untuk membawa kita pada iman dan untuk meyakinkan kita atas iman yang memberi hidup itu. Hal itu tidak hanya berkaitan dengan kebenaran yang jauh di atas batas waktu, tetapi berkaitan dengan bukti nyata, bahwa Allah itu terpercaya dan setia di sepanjang abad. Karena itu kebenaran historis dalam Alkitab, utamanya dan istimewanya: adalah kebenaran iman. Kebenaran itu kekal, sekalipun ada warisan-warisan tertulis tertentu yang saling bertentangan dalam hal makna sejarah yang ketat, seperti misalnya mengenai daftar silsilah Yesus.(2) Kutipan kedua kita ambil dari Pemahaman Bersama Iman kristen, salah satu dari lima Dokumen Keesaan Gereja-gereja di Indonesia.
- Sebagai firman Allah, Alkitab mempunyai kewibawaan tertinggi dan menjadi "pelita pada kaki dan terang pada jalan" orang-orang percaya (Mzm. 119:105) serta menjadi dasar dan pedoman bagi perbuatan dan kehidupan orang beriman (2Tim. 3:16-17). Oleh karena itu orang-orang percaya, baik pribadi maupun bersama-sama, harus membacanya, merenungkannya siang dan malam (Mzm. 1), berusaha dengan sungguh-sungguh untuk, memahami, menghayati dan melaksanakannya, dengan benar dalam iman dan ketaatan kepada Allah dalam Kristus. Jadi Alkitab itu bukanlah ajimat atau kitab ramalan. Sebagai mana Roh Kudus telah menyertai dan membimbing para penulis Alkitab, serta memimpin manusia untuk percaya kepada Yesus Kristus, maka pemahaman yang benar mengenai isi Alkitab serta penghayatan dan pelaksanaannya di dalam kehidupan sehari-hari juga hanya akan terjadi atas bimbingan Roh Kudus (1Kor. 12:3; Yoh. 16:15; 2 Ptr. 1:20-21).(1)
Pernyataan atau pemahaman iman ini pada gilirannya mendorong gereja-gereja itu untuk terus-menerus mendukung atau ambil bagian dalam pengadaan dan penyebaran alkitab. Lebih dari itu, pernyataan atau pemahaman iman seperti ini membekali generasi penerus di dalam gereja untuk tetap yakin, bahwa Allah yang bekerja dan berbicara di dalam sejarah pada masa lalu, sebagaimana disaksikan alkitab, tetap dan akan terus bekerja hingga akhir sejarah dunia ini, bahkan hingga di seberang sejarah dunia.
Bibliografi | |
Artikel ini diambil dari: |