Dari Sejarah Alkitab Indonesia
Huria Kristen Batak Protestan
Langkah-langkah yang pertama
Pada abad ke-19 barulah Injil itu diberitakan di Sumatra. Memang di Padang, di pantai sebelah barat sudah ada satu jemaat Kristen, yang terdiri dari pegawai-pegawai VOC, sejak tahun 1679. Akan tetapi tidak pernah Injil itu disebarkan kepada penduduk-penduduk asli di daerah itu. Baru pada saat pemerintahan Inggris yang berlangsung di daerah itu, mulai 1811 sampai 1825 usaha Pekabaran Injil terlaksanalah untuk pertama kalinya. Raffles yang memberikan izin untuk pertama kalinya kepada para pekabar Injil di Jakarta, dialah juga yang memungkinkan beberapa pekabar Injil bekerja di Sumatra Barat. Pada tahun 1820 tiga pekabar Injil dari perhimpunan pekabar Injil Baptis di Inggris memasuki daerah-daerah itu. Mereka adalah Ward yang pergi ke Bengkulu, Evans ke Padang dan Burton ke Sibolga. Yang terakhir ini mempelajari bahasa Batak Toba, malahan dia mencoba juga untuk menterjemahkan fasal I dari Alkitab. Ia menyadari bahwa usaha Pekabaran Injil di Sumatra mustahil akan berakar di dalam suku-suku Sumatra, bilamana usaha itu dilaksanakan di daerah-daerah pantai saja.
Di daerah-daerah pantai itu besarlah sekali pengaruh-pengaruh dari pihak Islam atas suku-suku yang masih dalam kekafiran. Oleh karena itu Burton beserta dengan Ward memutuskan untuk masuk ke pedalaman. Pada tahun 1824 mereka itu sampai ke Silindung, yaitu daerah pedalaman yang diduduki oleh suku Batak Toba. Meskipun disambut dengan baik namun kedua perintis itu pulang dengan tiada memperoleh hasil apapun dari pemberitaan Injil yang untuk pertama kalinya dilakukan di antara suku Batak itu.
Lagi pula pada waktu itu berobahlah sudah keadaan politik. Di Sumatra Barat pemerintah Inggris diganti lagi dengan pemerintahan Belanda. Berhubung dengan peristiwa itu berakhir pulalah usaha Pekabaran Injil dari pihak Inggris di Sumatra. Akan tetapi pada pihak lain, Sumatra mendapat perhatian dari perhimpunan Pekabaran Injil Belanda sejak waktu itu. Sudah pada tahun 1826 NZG mengutus seorang pekabar Injil untuk menyebarkan Injil di Sumatra, yaitu Gützlaff. Tetapi disebabkan berkobarnya perang Bonjol di Sumatra Tengah, maka mustahil Gützlaff dapat bertolak ke situ. Iapun tinggallah di Jakarta lalu mencurahkan segala perhatiannya kepada usaha pekabaran Injil di antara masyarakat Tionghoa. Di kemudian hari dialah yang menjadi perintis yang utama dalam usaha pekabaran Injil di Tiongkok.
Orang-orang Baptis Amerika (Boston) melakukan suatu percobaan lagi untuk membawa Injil ke pedalaman itu. Pada tahun 1834 dua pekabar Injil yaitu Munson dan Lyman berangkat dari Sibolga ke pedalaman yang sudah dikunjungi oleh Ward dan Burton lebih dahulu. Mereka menjadi korban-korban dari keganasan suku-suku kafir itu yang membunuh serta memakan mereka. Peristiwa itu terjadi di Lobu Pining, 20 km jauhnya dari Silindung, tempat mana Gereja Batak mendirikan satu batu peringatan 75 tahun kemudian. Pada batu itu tertulis ungkapan Augustinus: "Darah para martir merupakan bibit Gereja." Kebenaran ungkapan itu terbukti di dalam Gereja tersebut. Percobaan yang lain dari pihak Baptis Amerika dimulai di daerah Batak sebelah selatan pada tahun 1837. Tetapi perintis pekabaran Injil itu, Ennis namanya mengalami kegagalan oleh karena penyakit yang menimpanya.
Makin lama makin matanglah saat untuk mengkristenkan pedalaman Sumatra itu. Kita ingat beberapa faktor yang menjadikan keadaan di situ baru.
Peperangan Bonjol sudah berakhir. Imam Bonjol bukannya saja berusaha untuk mengusir pemerintah Belanda dari daerahnya yaitu Minangkabau, melainkan tentaranya melakukan juga perampokan untuk menindas suku-suku kafir yang diam di daerah sebelah utara Minangkabau. Mereka sering mengadakan serangan-serangan sampai ke daerah Angkola, malahan sampai ke Silindung dan Toba sampai melakukan rampasan-rampasan, menangkap orang-orang untuk diperhambakan dan mengislamkan mereka dengan paksaan. Jelaslah bahwa berpuluh-puluh tahun kemudian penduduk-penduduk daerah Batak masih ketakutan, jikalau mereka mengenangkan peristiwa-peristiwa yang dahsyat dari "perang Bonjol" itu atau dengan sebutan lain "perang padri". Akan tetapi sesudah mencapai kemenangan, maka pemerintah Belanda memelihara keamanan serta ketertiban di daerah itu, termasuk Tapanuli Selatan (Daerah mandailing dan Angkola), sehingga mungkin di situ usaha Pekabaran Injil dapat dijalankan.
Keadaan yang damai itu memberi kesempatan untuk menyelidiki pedalaman Sumatra untuk pertama kali. Seorang ahli, yaitu Dr. Yunghuhn yang berkebangsaan Jerman ditugaskan untuk mengadakan ekspedisi penyelidikan ke pedalaman itu. Bukunya mengenai "Daerah Batak di Sumatra" membuktikan hasil penyelidikannya itu.
Disebabkan pengetahuan yang baru itu maka Lembaga Alkitab Belanda mengutus seorang ahli bahasa, Neubronner van der Tuuk, ke situ, dengan tugas untuk menyelidiki bahasa Batak serta menterjemahkan Alkitab ke dalam bahasa itu. Van der Tuuk menetap di Baros, di pantai barat. Keahliannya demikian rupa sehingga ia menghasilkan beberapa buku penyelidikan mengenai bahasa Batak serta menterjemahkan sebuah kamus dan beberapa fasal Perjanjian Lama. Buku-buku itu diterbitkan oleh Lembaga Alkitab Belanda. Mengenai kesempatan untuk menyebarkan Injil di daerah Batak, maka adalah nasehat yang berbunyi sebagai berikut: "Tidak ada harapan untuk beroleh hasil di antara penduduk-penduduk Angkola dan Mandailing. Dalam jumlah yang besar mereka sedang masuk Islam, sebagaimana halnya pada hampir segala orang Batak yang telah ada di bawah pemerintah (Balanda). Untuk memajukan kekristenan, maka perlulah dilaksanakan tindakan yang tegas. Sejarah pekabar Injil harus ditempatkan di suatu daerah tertentu. Jika tidak menempuh jalan itu, maka menurut hemat saya seluruh masyarakat sudah diislamkan, sebelum kita menyadarinya. Biasanya dengan masuknya gubernemen maka bahasa Melayu turut masuk juga, dan lagi pula terdapat sejumlah orang-orang Melayu yang bertujuan untuk mengislamkan mereka itu."
Pada satu pihak bolehlah dikatakan bahwa oleh karena hal-hal yang disebut di atas sudah tibalah kesempatan untuk menjalankan Pekabaran Injil ke daerah itu. Pada pihak lain kita melihat beberapa golongan Pekabaran Injil yang bersedia untuk melakukannya.
Pada tahun 1850 muncullah suatu gerakan rohani di Ermelo (lih. juga hlm 186) yaitu sebuah kota kecil di Belanda. Jemaat-jemaat petani itu merasa terdorong untuk mewujudkan kesaksiannya dengan kuat sekali. Hampir serupa dengan gerakan persaudaraan Moravi 150 tahun lebih dahulu maka pada gerakan ini tampaklah ciri-ciri hidup yang baru itu. Di antaranya para pekabar Injil yang pertama kalinya diutus oleh jemaat Ermelo adalah G. van Asselt, yang ditahbiskan pada tahun 1856 dan tiba di Padang pada bulan Desember tahun tersebut. Akan tetapi ia tidak menuruti nasihat Van der Tuuk tadi untuk menyingkiri daerah-daerah yang sudah dipengaruhi oleh Islam. Gubernur Sumatra Barat mempekerjakannya padaa perkebunan kopi dari pemerintah di Angkola; di samping itu ada kesempatan baginya untuk melakukan pekabaran Injil di situ. Van Asselt menetap di Sipirok yang menjadi batu loncatan bagi usaha pekabaran Injil di antara suku-suku Batak. Dua tahun kemudian tibalah beberapa pekabar Injil lagi dari Ermelo, seorang untuk Sibolga, sedangkan yang lain menetap di sekitar Siporak juga. Mereka mendapat sokongan pula dari "Perhimpunan untuk Pekabaran Injil di dalam dan di luar Gereja" Jakarta. Tetapi sokongan itu makin lama makin berkurang, sehingga pada tahun 1864 "Komite Jawa" (lih. hlm. 204) memelihara sebagian pekerjaan mereka, dan hal itu berlangsung sampai tahun 1931, waktu mana jemaat Batak yang dimunculkan oleh "Komite Jawa" dipersatukan dengan HKBP.
Peristiwa yang menyebabkan terjadinya sejarah pengkristenan suku-suku Batak, ialah keputusan yang diambil oelh "Rheiniskhe Missionsgesellskhaft" (RMG) untuk menyebarkan Injil di situ. Sudah 25 tahun lamanya RMG bekerja di Kalimantan Selatan (lih. hlm. 146) Tetapi pemberontakan tahun 1859 sangat merugikan usahanya di daerah itu malahan pemeritah melarang Pekabaran Injil masuk ke pedalaman Kalimantan oleh karena peristiwa yang dahsyat itu. Akibatnya ialah bahwa RMG mencari bidang pekabaran Injil yang lain. Bagaimanakah mulanya sehingga RMG tertarik oleh Sumatra? Bolehlah dikatakan bahwa secara kebetulan telah terjadi suatu peristiwa yang tiada berarti apa-apa, namun akibatnya sangatlah luas. Pada perkunjungannya ke Belanda untuk membicarakan hal-hal mengenai pekabaran Injil di Indonesia, maka ketua RMG secara kebetulan melihat buku-buku Neubronner van der Tuuk yang baru diterbitkan. Hal itu dianggap olehnya sebagai petunjuk dari Tuhan sendiri. Bukankah suku-suku Batak itu sudah siap untuk dikerjakan oleh para pekabar Injil? Bahasanya sudah selesai diselidiki, adat istiadatnya sudah diketahui; sudah pula diakui bahwa Injil itu perlu dibawa ke antara mereka supaya suku itu sudah dikristenkan sebelum Islam berpengaruh di sana. Dengan cepatnya RMG mengambil keputusan untuk mengutus dengan segera para pekabar Injil yang telah menganggur di Kalimantan ke Sumatra. Pula diberangkatkan dari Jerman para pekabar Injil yang baru! Termasuk juga di antaranya seorang pekabar Injil Belanda yang sudah dipekerjakan di situ. Pada tanggal 7 Oktober 1861 maka ke-4 pekabar Injil itu sudah dapat mengadakan konperensi yang pertama di Sipirok untuk merencanakan pekerjaan bersama. Tanggal ini kemudian ditetapkan oleh HKBP sebagai tanggal kelahirannya. Menurut pendapat kami, sebaiknya, tanggal 31 Maret 1861 dijadikan tanggal lahirnya Gereja. Sebab pada hari itulah dilakukan baptisan yang pertama. Baptisan yang pertama ini dilakukan terhadap 2 orang Batak di Sipirok.
Sejarah HKBP (Huria Kristen Batak Protestan) yang telah 100 tahun lamanya merupakan suatu bagian yang paling menarik dari sejarah Gereja di Indonesia pada umumnya. Memang hanya garis-garis besarnya saja yang dapat dibentangkan di sini.
- Catatan: dialihaksarakan ke ejaan baru oleh SABDA
Bibliografi | |
Artikel ini diambil dari: |