Sejarah Alkitab Indonesia

Hermeneutika atau Ilmu Tafsir

Bagikan ke Facebook

Dari Sejarah Alkitab Indonesia

Langsung ke: navigasi, cari
Buku Hijau
Sejarah Alkitab di Indonesia
Sejarah Alkitab Daerah Indonesia
Sejarah Alkitab di Luar Indonesia
Biblika
Doktrin Alkitab
Pengantar dan Garis Besar Kitab
Studi Kata Alkitab



Ilmu tafsir atau hermeneutika (Yunani: hermeneuein = menafsirkan, menterjemahkan) ialah ilmu yang menetapkan, prinsip, aturan dan patokan yang menolong untuk mengerti atau mengartikan salah satu karya atau dokumen dari jaman sekarang atau terutama dari jaman dahulu.

Dengan pertolongan prinsip, aturan dan patokan yang ditetapkan itu para ahli mengartikan suatu karya (seni) dan begitu menghasilkan "tafsiran". Pengetrapan ilmu tafsir itu disebut "eksegese" (Yunani: eks-egesthai=mengeluarkan, menerangkan). Meskipun ilmu tafsir dapat dan harus diterapkan pula untuk mengartikan suatu karya profan juga, namun ilmu itu terutama diperkembangkan sehubungan dengan Alkitab. Dan hanya ilmu tafsir alkitabiah itu yang menjadi pokok uraian ini. Adapun ilmu tafsir alkitabiah itu ialah: ilmu (prinsip, aturan , patokan) yang menolong untuk mengerti apa yang sesungguhnya dikatakan dan dimaksudkan oleh Kitab Suci.

Perlunya ilmu tafsir alkitabiah

Sudah barang tentu Kitab Suci membutuhkan tafsiran. Tidak dapat dikata, bahwa Alkitab begitu saja jelas dan terang untuk para pendengar dan para pembaca. Memang Kitab Suci adalah firman Allah (bdk. Inspirasi), tetapi firman Allah yang berupa perkataan manusia. Dari sebab itu Alkitab ikut mengalami nasib perkataan manusia pula. Kitab Suci ditulis sekian ratus, bahkan sekian ribu (bagian-bagian tertua) tahun yang lalu. Ia ditulis dalam bahasa (Ibrani/Aram, Yunani) yang bukan bahasa kita dan bahasa-bahasa Alkitab bahkan sudah menjadi bahasa mati, sehingga tidak lagi dipakai untuk hidup sehari-hari. Karena itu Kitab Suci perlu "diterjemahkan" kedalam bahasa yang masih hidup. Tetapi setiap "terjemahan" sekaligus suatu "tafsiran". Sebab sipenterjemah hanya (dapat) menterjemahkan apa yang dimengertinya dan hanya sejauh dimengertinya. Kecuali itu para pengarang (manusia) Kitab Suci menulis karangan-karangannya berdasarkan alam pikiran, kebudayaan dan keadaan historis tertentu yang bukan alam pikiran, kebudayaan dan keadaan para pembaca dan pendengar Alkitab dijaman kemudian dan dimasa sekarang. Jadi Alkitab membutuhkan tafsiran. Maksud sebenarnya dari Alkitab harus digali, lalu diterjemahkan kedalam alam pikiran lain. Dan baiklah kalau ada dan disusun sejumlah prinsip dan patokan yang menjadi pegangan dalam menafsirkan Alkitab, supaya salah paham dan kekeliruan sedapat mungkin dicegah. Dan justru itulah maksud dan tujuan ilmu tafsir atau hermeneutika.

Patokan-patokan tafsiran Kitab Suci

Ada dua macam patokan sehubungan dengan tafsir Alkitab. Kitab Suci adalah suatu karya (sastera) insani. Karenanya semua aturan yang ada untuk mengarti suatu karya sastera dari jaman dahulu boleh, bahkan harus diterapkan dalam menafsirkan Kitab Suci juga. Akan tetapi Alkitab sekaligus firman Allah yang tertulis. Dari sebab itu tafsir Kitab Suci harus memperhatikan juga ciri khas Alkitab dan tidak boleh mengartikannya hanya sebagai karya manusia belaka. Karena corak rangkap dua itu maka ada juga dua macam patokan yang harus dipakai dalam mengartikan Alkitab.

  1. Sebagai firman Allah maka Alkitab dapat ditafsirkan dengan wenang mutlak oleh Allah sendiri semata-mata. Tafsir berwenang semacam itu dapat diberikan dalam Alkitab sendiri. Dan sesungguhnya terjadi bahwa salah satu karangan yang ditulis kemudian mengartikan suatu karangan yang ditulis terlebih dahulu. Misalnya Yeh 18 menyajikan suatu keterangan terhadap Yer 31:29-30. Kitab Syemuel dan Raja-raja kemudian diinterprestasikan oleh Kitab Tawarikh. Dalam Perjanjian Baru 1Tim 5:18 menafsirkan Mat 10:10. Khususnya Perjanjian Baru kerap kali mengartikan Perjanjian Lama. Tidak sedikit ayat dan nas dari Perjanjian Lama dikutip dan ditafsirkan oleh Perjanjian Baru (misalnya: Yes 7:14; Mat 1:23; Mikh 5:1,3; Mat 2:6; Yer 31:15; Mat 2:18; Yes 40:3; Mat 3:3; Yes 61:1-2; Luk 4:18; Mzm 16:8-11; Kis 2:25-28; Mzm 16:10; Kis 2:31; Mzm 110:1; Kis 2:34-34 dll.) Harus diakui bahwa tafsiran Perjanjian Baru terhadap Perjanjian Lama bagi kita kerap kali sukar dimengerti, bahkan membingungkan. Sehubungan dengan itu perlu diingat bahwa Perjanjian Baru kerap kali tidak hanya "mengartikan", tetapi juga dan sekaligus melanjutkan dan mengembangkan makna Perjanjian Lama yang aseli. Wahyu Allah dalam Alkitab sendiri mengalami perkembangan dan kemajuan. Perkembangan dan kemajuan kerap kali tercantum justru dalam tafsiran yang diberikan Perjanjian Baru terhadap Perjanjian Lama. Dengan demikian terjadi bahwa makna aseli dari salah satu nas dari Perjanjian Lama diperincikan dan diterapkan oleh Perjanjian Baru dan sedikit banyak dirubah. Tafsiran serupa itu khususnya mengenai nubuat-nubuat Perjanjian Lama yang oleh Perjanjian Baru diterapkan pada Yesus Kristus dan pada umat kristen.

    Bagi orang katolik Allah tidak hanya dapat memberikan tafsirNya dalam Kitab Suci sendiri tetapi juga dengan perantaraan lembaga umat Allah, khususnya dengan perantaraan kuasa Gereya yang berwenang untuk mengajar. Karena itu perlu diperhatikan pula bagaimana Alkitab diartikan oleh Gereja, baik dahulu (tradisi) maupun sekarang (kuasa mengajar dan iman umat pada umumnya). Sehubungan dengan itu selalu perlu diperhatikan baik-baik apakah Gereja (tradisi, kuasa mengajar) sungguh bermaksud memberikan suatu interprestasi yang "otentik", yaitu berwenang sehingga mengikat benar. Maksud itu kerap kali sukar ditetapkan dan dipastikan, khususnya berhubungan dengan tradisi. Pada umumnya boleh dikata bahwa belum ada banyak nas Alkitab yang diberikan tafsir otentik semacam itu.

    Dari ciri ilahi Alkitab diturunkan pula patokan, bahwa Kitab Suci dalam ajarannya tidak dapat sesat dan keliru (bdk. Benarnya Kitab Suci). Patokan itu hanya dapat (dan harus) diterapkan apabila ada kepastian bahwa Kitab Suci sungguh bermaksud membenarkan sesuatu dan itupun secara definitip. Kalau demikian suatu pertentangan didalam Alkitab sendiri tak mungkin lagi dan tafsir ilmiah tidak boleh menimbulkan pertentangan-pertentangan semacam itu. Tetapi disini harus diingat lagi bahwa ajaran Alkitab sendiri mengalami perkembangan dan kemajuan, sehingga tak perlu ajarannya selalu dan tetap sama saja. Hanya dalam rangka itu suatu pertentangan benar dan langsung tidak dapat diterima lagi dan semua yang sungguh dibenarkan oleh Alkitab adalah benar juga. Dalam suatu karya insani belaka orang dapat menerima sesatan, keliruan dan pertentangan tetapi dalam Alkitab tidak.

  2. Dalam rangka patokan (teologis) tersebut Alkitab sebagai karya insani boleh dan harus ditafsirkan dan diartikan sesuai dengan prinsip dan patokan-patokan umum yang harus dipergunakan untuk mengerti suatu karya sastera dari jaman dahulu. Patokan-Patokan yang paling penting ialah :

    1. Teks yang ditafsirkan haruslah teks aseli. Jadi teks sebagaimana ditulis oleh pengarang suci (terakhir) harus menjadi titik tolak bagi tafsiran. Karena itu orang wajib menggunakan teks dalam bahasa aseli (Ibrani/Aram dan Yunani) dan bukanlah salah satu terjemahan, meski paling baik sekalipun. Hanya apa yang dikatakan dan apa yang dimaksudkan oleh teks aseli itulah yang adalah makna Kitab Suci. Kalau sepanjang sejarah teks aseli itu mengalami kerusakan maka terlebih dahulu teks aseli harus sedapat-dapatnya dipulihkan dengan pertolongan ilmu Kritik teks.

    2. Perkataan teks aseli harus diartikan sebagaimana dimaksudkan oleh pengarang suci. Adakalanya perkataan dipakai menurut arti biasa dan sehari-hari, lain kali pengarang suci menggunakan bahasa kiasan atau bahasa penghebat yang bermacam ragam. Semua kemungkinan penggunaan bahasa perlu diperhatikan untuk menetapkan apa yang dimaksudkan pengarang. Sepanjang sejarah bahasa itu perkataan-perkataan kerap kali berubah artinya dan perubahan semacam itu harus diperhatikan dan diketahui oleh ahli tafsir pula.

    3. Untuk mengenal maksud si pengarang perkataan tidak boleh diartikan tersendiri-sendiri saja, melainkan dalam hubungannya dengan kata- kata lain. Hubungan semacam itu disebut konteks. Konteks itu dapat lebih kurang luas. Perkataan-perkataan harus dimengerti dalam konteks kalimatnya, tetapi juga dalam konteks seluruh pasal, bahkan seluruh karangan/kitab. Adakalanya karangan-karangan lain dari tangan pengarang yang sama harus diikutsertakan semua, supaya arti perkataan-perkataan dan ungkapan tertentu dapat dipahami. Setiap pengarang mempunyai kosakata serta peristilahannya sendiri. Dan arti istilah dan ungkapannya harus ditetapkan dahulu. Umpamanya istilah "daging" dan "badan" dalam karangan-karangan Paulus mempunyai makna yang khas. Demikianpun halnya dengan istilah "dunia" dalam karangan-karangan Yohanes dan Paulus (dan Perjanjian Baru pada umumnya). Kalau istilah-istilah dan ungkapan serupa itu dimengerti secara biasa, niscaya sipenafsir tidak lagi mengerti maksud pengarang suci.

    4. Untuk mengerti karangan-karangan Kitab Suci maka harus ditempatkan pula dalam konteks historisnya. Maksudnya ialah: karangan itu baru dapat dimengerti apabila orang tahu sedikit banyak tentang latar belakang historisnya, sejarah politik, kebudayaan dan keagamaan. Pendek kata situasi konkrit pengarang suci ikut menentukan apa yang dimaksudkannya dengan perkataan dan karangannya. Sehubungan dengan itu penting sekali "jenis sastera" yang dipergunakannya sesuai dengan adat kebiasaan pada jamannya.

Makna-makna Kitab Suci

Dengan pertolongan semua patokan tersebut ditetapkanlah apakah makna dan arti (sensus) Alkitab. Arti dan makna Alkitab ialah apa yang sungguh dikatakan dan dimaksudkan oleh Kitab Suci.

  1. Makna atau arti Alkitab yang pertama dan utama ialah makna atau arti harfiah (sensus literalis). Yang dimaksudkan dengan istilah itu ialah: apa (pikiran, perasaan, kenyataan) yang langsung diungkapkan oleh perkataan-perkataan Kitab Suci menurut konteksnya. Itulah yang pertama-tama dimaksudkan oleh pengarang (insani-ilahi) dengan perkataan, kalimat-kalimat dan seluruh karangannya. Perkataan-perkataan dapat dipakai baik dengan arti biasa maupun dengan arti kiasan/penghebat dan sebagainya. Jadi makna harfiah langsung tercantum didalam perkataan-perkataan sendiri. Makna harfiah itu adalah bidang khas tafsir ilmiah Kitab Suci. Tafsiran ilmiah sesuai dengan patokan-patokan insani tidak dapat melewati makna harfiah itu. Seluruh Kitab Suci maupun semua bagiannya mempunyai makna harfiah semacam itu dan makna ini selalu harus diutamakan.

  2. Suatu keistimewaan Alkitab ialah "makna tipologis". "Typos" ialah salah satu realitas/historis (baik realitas sebagaimana ternyata ada maupun realitas sebagaimana dan sejauh digambarkan oleh Kitab Suci), yaitu salah satu kejadian, lembaga atau tokoh dalam sejarah penyelamatan yang melambangkan dan mengantipasikan ditingkat lebih rendah suatu realitas historis lain yang kemudian tampil dalam sejarah penyelamatan ditingkat lebih luhur dan lebih tinggi. Realitas historis yang dilambangkan dan diantipasikan oleh "typos" itu disebut "anti-typos". Dari sebab itu "makna tipologis" langsung tercantum didalam realitas historis itu sendiri yang disebutkan dan dimaksudkan oleh perkataan-perkataan Kitab Suci (makna harfiah). Hanya tak langsung boleh dikatakan makna typologis tercantum dalam perkataan-perkataan kitab Suci sendiri. Makna typologis itu kerap kali disebutkan juga "makna rohani". Tetapi istilah itu masih mempunyai beberapa arti lain juga. Dasar makna typologis ialah sejarah penyelamatan, sejauh tahapan yang lebih dahulu dalam sejarah itu dapat melambangkan, mengantipasikan tahapan yang kemudian serta menunjuk kepadanya. Makna typologis semacam itu terutama diketemukan dalam Perjanjian Lama, dan boleh jadi dalam Perjanjian Baru pula. Oleh karena hanya Allah dapat mengarahkan realitas yang satu menuju realitas yang baru kemudian tampil, maka "makna tipologis" hanya dapat diketahui apabila diberitahukan oleh Allah sendiri, baik dan terutama dalam Kitab Suci, maupun dengan perantaraan lembaga-lembaga kegerejaan yang berwenang (tradisi sejati). Jadi bukanlah tafsir ilmiah belaka yang dapat menetapkan realitas manakah dari Perjanjian Lama (dan Perjanjian Baru) adalah merupakan suatu "typos". Oleh karena "makna typologis" tercantum dalam realitas dan bukannya dalam perkataan maka tak perlu pengarang suci sadar akan makna typologis itu. Dalam Kitab Suci Perjanjian Baru diketemukan agak banyak tafsiran tipologis semacam itu (bdk. 1Kor 10:1-5; Rom 5:14-21; Yoh 19:36; 19:37; 3:14; Gal 4:31-32; Hbr 7; Wah 15:3-4; 1Ptr 3:20-21).

  3. Akhir-akhir ini para ahli kitab memperdebatkan adanya (dan apa tepat artinya) suatu "makna penuh" (sensus plenior, plenary sense, full sense) dalam Kitab Suci. Tentang pengertian itu sendiripun para ahli tidak/belum sependapat. Pada umumnya boleh dikata sebagai berikut: Makna penuh ialah suatu makna yang oleh Allah langsung ditaruh didalam perkataan-perkataan yang dipakai pengarang suci, dengan tidak sepengetahuan (atau pengetahuan samar-samar dan kabur saja) si pengarang insani. Dengan perkataan-perkataan itu dan menurut maksud pengarang insani langsung diucapkan sesuatu (pikiran, perasaan, kenyataan) tetapi dengan perkataan-perkataan yang sama diungkapkan pula menurut maksud Allah suatu realitas lain di jaman masehi. Makna kedua itu melanjutkan makna pertama dan dengan perkataan-perkataan yang sama sekaligus dua hal dimaksudkan. Perbedaan dengan "makna tipologis" ialah: bukan realitas yang dimaksudkan oleh perkataan menunjuk kepada realitas yang lain, melainkan perkataan-perkataan sendiri menunjukkan kedua hal sekaligus, meskipun letaknya ditingkat yang berbeda. Makna penuh semacam itu tidak termasuk kedalam wilayah tafsir ilmiah, tetapi hanya dapat diberitahukan oleh Allah sendiri dalam perkembangan wahyu selanjutnya. Makna penuh yang mula-mula tersembunyi sama sekali kemudian disingkapkan oleh Tuhan. Dengan pertolongan "makna penuh" itu, para ahli mengharap dapat lebih baik mengerti tafsiran yang diberikan Perjanjian Baru terhadap Perjanjian Lama.

  4. Makna allegoris tidak boleh dikatakan "makna Alkitab" lagi. Menurut tafsir "allegoris": maka apa yang sesungguhnya dimaksudkan oleh perkataan-perkataan Kitab Suci bukanlah apa yang diungkapkan melainkan sesuatu yang lain, sesuatu yang tersembunyi sama sekali. Seluruh Kitab Suci diartikan sebagai suatu lambang belaka dari pelbagai realitas-realitas rohani dan semua dipindahkan kedalam bidang lain yaitu bidang rohani. Meskipun dahulu beberapa pujangga Gereja (khususnya Origenes) suka sekali akan "tafsir allegoris" semacam itu, namun tafsir itu tidak boleh dikatakan tafsir Kitab Suci lagi. Dengan pertolongan tafsir itu hanya diungkapkan macam-macam gagasan dan pengertian abstrak dan niskala saja yang sama sekali tidak dimaksudkan oleh Kitab Suci. Dan disini letaknya perbedaan besar antara "makna allegoris" dan "makna tipologis". Makna tipologis tercantum didalam realitas historis, sedangkan maksud allegoris mengenai gagasan dan pengertian abstrak yang diluar pandangan Kitab Suci.

  5. Bukan "makna Alkitab" pulalah apabila seseorang mengungkapkan pikiran dan perasaannya sendiri dengan perkataan yang diambil dari Alkitab serta hanya dipinjam saja. Penggunaan Kitab Suci yang sedemikian dahulu kala sangat laku (terutama dalam khotbah-khotbah) tetapi tidak boleh dianjurkan. Sebelum Kitab Suci dipakai, orang harus tahu apa yang sungguh dikatakan dan dimaksudkan oleh Alkitab. Firman Allah jangan dipakai sebagai perhiasan belaka.


    Catatan: dialihaksarakan ke ejaan baru oleh SABDA
    Artikel ini diambil dari:
    Judul belum diketahui, tapi kami menyebutnya sebagai buku hijau.