Sejarah Alkitab Indonesia

Inspirasi

Bagikan ke Facebook

Dari Sejarah Alkitab Indonesia

Langsung ke: navigasi, cari
Buku Hijau
Sejarah Alkitab di Indonesia
Sejarah Alkitab Daerah Indonesia
Sejarah Alkitab di Luar Indonesia
Biblika
Doktrin Alkitab
Pengantar dan Garis Besar Kitab
Studi Kata Alkitab



Apa yang membuat Kitab Suci menjadi Kitab Suci atau Kitab Allah ialah inspirasi. Kami mempertahankan istilah asing itu dan tidak menggantinya dengan "ilham" atau "wahyu". Kedua kata ini dalam peristilahan agama Islam sama sekali lain artinya dari istilah "inspirasi" dalam peristilahan agama keristen sehubungan dengan Kitab Suci. "Ilham" adalah pengaruh (dorongan, penerangan) yang dapat diberikan Allah kepada sembarangan orang yang dikehendakiNya. Wahyu adalah anugerah khusus para nabi-rasul yang menerima Kitab dari Tuhan. Kitab itu diwahyukan kepada mereka dan kitab itu adalah wahyu yang diterima mereka. Dari situ istilah: Kuran diturunkan kepada nabi Muhammad.

Tetapi menurut paham keristen Kitab Suci bukanlah kitab yang ber-angsur-angsur diturunkan kepada manusia (nabi) tertentu yang lalu secara mekanis membawakan wahyu itu yang akhirnya (oleh orang lain) dicatat. Sedikit serupa dengan "wahyu" sedemikian ialah "inspirasi kenabian". Nabi dengan sadar (pabila mereka berlaku sebagai nabi) menerima firman Allah yang dibawakannya dan kemudian dicatat dalam salah satu kitab. Tetapi inspirasi kenabian tersebut tidak sama dengan inspirasi alkitabiah. Memang adakalanya kedua kurnia bertemu dalam satu orang, yaitu apabila seorang nabi (misalnya Habakuk) menulis sendiri nubuat-nubuatnya. Tetapi biasanya kedua kurnia itu terpisah satu sama lain.

Inspirasi yang dimaksudkan disini ialah inspirasi untuk menulis, mengarang suatu (beberapa) kitab, surat, sajak dan lain sebagainya. Tak perlu si pengarang sendiri tahu akan inspirasi itu - seperti seorang nabi dengan sadar menerima firman Allah. Inspirasi karenanya sama sekali tidak berarti, bahwa Allah seolah-olah mendiktekan kitab kepada seorang penulis, yang hanya mencatat atau menulis apa yang didiktekan itu. Si pengarang bekerja seperti setiap manusia yang menulis suatu karangan. Ia mengumpulkan bahannya, dari orang lain, dari dokumen-dokumen, dari pengalaman sendiri, dari pemikirannya sendiri. Bahan itu disaring, dinilaikan dan disusunnya dengan menggunakan segala daya dan kemampuan yang perlu: kemauan, daya pikir, daya khayal, daya seni dan lain-lainnya, dan akhirnya daya-daya jasmaniah juga (boleh juga ia mendiktekan bahannya kepada seorang penulis yang mencatat perkataan-perkataan itu). Jadi cara kerja pengarang suci tidak lain dari cara kerja sembarangan pengarang. Semua daya insani tersebut tidak dirobah sedikitpun oleh inspirasi, melainkan tetap tinggal sebagaimana adanya. Itupun sebabnya maka ada perbedaan besar antara masing-masing pengarang yang menghasilkan Kitab Suci. Ada kitab yang bermutu tinggi dalam hal pikiran, kesenian dan bahasa. Tetapi ada juga karya yang dangkal pikirannya, rendah mutu keseniannya dan buruk bahasanya. Keindahan sastera dalam pernilaian Kitab Suci sebagai kitab Allah tidak memegang peranan sedikitpun. (Ingat akan pandangan kaum muslimin tentang Kur'an dan keindahan literernya).

Inspirasi yang membuat buku insani jadi Kitab Allah ialah pengaruh ilahi (Roh Kudus) yang merangkum seluruh aktivitas pengarang insani yang disebut diatas ini. Semua terpengaruh dan itupun sedemikian rupa, sehingga hasil aktivitas itu seluruhnya karya manusia tertentu dan karya Allah. Maka itu Kitab Suci adalah sekaligus buku insani dan Kitab ilahi. Segala-galanya yang ada didalamnya berasal dari manusia yang menulis dan dari Allah yang menginspirasikan. Dan pengaruh ilahi itu bekerja didalam dan lewat aktivitas insani dan tidak disampingnya. Tidak demikian halnya se-olah-olah manusia dikemudikan oleh Allah sehingga ia tidak bebas lagi. Si pengarang tetap manusia bebas yang sendiri bekerja tapi malah kebebasan itu terpengaruh oleh Allah tanpa dimatikan olehNya.

Memang manusia itu menulis hanya apa yang dimaksudkan oleh Tuhan, supaya ditulis olehnya. Tapi demikian kebebasannya belum hilang. Sebab pengarang suci selalu orang yang beriman dan menulis seturut imannya. Iman itu memang dipimpin oleh Allah seperti iman kita dipimpin oleh Tuhan. Dalam imannya si pengarang suci tidak sesat jalan. Justru karena itu ia dipilih oleh Allah jadi pengarang suci. Iman si pengarang ialah iman umat yang dia menjadi anggotanya, sekalipun pada dia iman itu sungguh-sungguh hidup dan memuncak. Itu tidak berarti, bahwa pengarang suci diberikan pengetahuan baru (kalau demikian ia mendapat wahyu), sekalipun memang ada mungkin juga. Tetapi kalau demikian ia tidak bertindak lagi sebagai pengarang suci saja, tapi sekaligus sebagai nabi. Kurnia inspirasi memang suatu kurnia pribadi, tetapi dianugerahkan demi untuk umat yang beriman. Si pengarang diinspirasikan untuk memberikan kesaksian tentang iman umat dan untuk memajukan serta memelihara iman umat itu. Pengarang suci selalu berurat-berakar dalam umat yang beriman. Allah yang memimpin iman seluruh umat memimpin umat itu antara lain oleh pengarang-pengarang suci yang diinspirasikanNya dengan maksud itu.

Dalam hal itu pengarang suci agak serupa sedikit dengan nabi. Diatas diperbedakan kurnia kenabian dan kurnia inspirasi dan inspirasi dibedakan dengan wahyu. Tetapi ada kesamaan juga. Dengan imannya pengarang suci memberikan keterangan tentang sejarah dan ciptaan seperti seorang nabi memberikan keterangannya berkat firman Allah yang diterimanya. Keterangan yang diberikan oleh pengarang suci diberikan juga oleh Allah yaitu berkat inspirasi. Maka keterangan itu adalah ilahi juga, sehingga untuk orang lain yang membaca atau mendengar keterangan itu sungguh menjadi wahyu ilahi. Wahyu itu lalu bersama dengan peristiwa-peristiwa yang diterangkan olehnya menjadi pernyataan ilahi sepenuh-penuhnya. Tetapi untuk si pengarang keterangan itu adalah hasil imannya serta pemikirannya sendiri berdasarkan iman (umat) itu.

Pada gilirannya iman (umat) itu memang bertumpu pada wahyu dahulu yang diolah dan dipikirkan. Memang ada mungkin dan kiranya terjadi juga, bahwa pengarang suci memberikan kesaksian tentang iman umat yang belum ditangkapnya sendiri seluruhnya. Maka itu ada mungkin bahwa ia menulis sesuatu yang seluruh isinya baru kemudian menjadi jelas, akibatnya pikiran-pikiran baru atau malah wahyu baru. Pikiran dan wahyu baru itu lalu menampilkan apa yang tersembunyi dalam apa yang dahulu sudah ditulis.

Kurnia inspirasi diberikan sekurang-kurangnya kepada pengarang/penyusun kitab tertentu dalam bentuknya yang terakhir. Artinya inspirasi mengenai naskah aseli yang diterbitkan oleh pengarang/penyusun kitab, sebagaimana diakui oleh umat beriman. Jadi inspirasi tidak mengenai salinan naskah aseli maupun terjemahannya. Memang salinan-salinan harus dikatakan "diispirasikan", pabila dan sejauh sesuai dengan naskah aseli. Tetapi inspirasi tidak menjamin sama sekali, bahwa salinan-salinan itu tepat dan cocok. Dan pada kenyataanpun sepanjang masa salinan-salinan Kitab Suci mengalami nasib sama dengan nasib semua buku insani. Jadi ada kekeliruan, salah tulis, perubahan, tambahan dan ada bagian yang ditinggalkan. Semua hal ini tidak kena oleh inspirasi dan tidak dijamin oleh Tuhan. Demikianpun halnya dengan terjemahan. Terjemahan-terjemahan tidak langsung diinspirasikan. Boleh dikatakan "diinspirasikan" menurut isinya, jika dan sejauh terjemahan itu tepat dan sesuai dengan naskah aselinya. Tetapi tepatnya tidak terjamin sama sekali. Mungkin harus dikecualikan terjemahan Yunani kuno (Septuaginta). Terjemahan ini dibuat dijaman sebelum Perjanjian Baru, jadi dijaman pernyataan ilahi belum selesai. Dibuat oleh umat beriman (Israil) diluar Palestina. Terjemahan itu mencerminkan iman umat itu dalam perkembangan yang masih dialaminya setelah teks aseli Kitab Suci (Hibrani) selesai disusun. Ternyata antara terjemahan Septuaginta dan teks Hibraninya ada perbedaan-perbedaan yang kadang-kadang tidak kecil dan disana-sini kemajuan iman umat kentara sekali. Tambah lagi para pengarang Perjanjian Baru menggunakan terjemahan tadi sebagai Kitab Suci, juga bagian-bagiannya yang berbeda dengan teks aselinya. Lagipula ada beberapa kitab yang diakui sebagai Kitab Suci tapi hanya terpelihara (seluruhnya) dalam terjemahan Yunani saja. Maka itu beberapa ahli berpendapat, bahwa terjemahan Yunani (Septuaginta) itu langsung diinspirasikan. Bahkan ada yang mengatakan: Kitab Suci itulah Kitab Suci keristen yang utama. Kitab Suci Hibrani sesungguhnya bagi orang keristen kurang penting. Pendapat terakhir ini kiranya melampaui batas yang wajar.

Masih tinggal satu masalah yang cukup penting tapi ruwet sekali. Kebanyakan kitab dari Perjanjian Lama (dan salah satu dari Perjanjian Baru) bukan ciptaan salah seorang tertentu dan tidak pula sekali jadi dikarang. Tidak jarang kitab-kitab tersusun dari dokumen-dokumen yang sudah tersedia dan sebelum selesai beberapa kitab lama kelamaan tumbuh dan bagian-bagian baru ditambahkan kepada yang aseli dan yang sudah ada dirubah seperlunya. Bagaimana halnya dengan inspirasi? Sudah dikatakan: pastilah kitab dalam bentuknya yang terakhir diinspirasikan seluruhnya. Tetapi boleh (harus) diterima bahwa juga dalam bertumbuhnya tidak terlepas sama sekali dari inspirasi. Aktivitas yang akhirnya menghasilkan kitab Suci ada beberapa tingkatnya. Dapat jadi, bahwa salah satu dokumen yang sudah ada (tertulis atau lisan) begitu saja diambil alih sebagaimana adanya. Pengarang suci (kiranya lebih tepat disini: umat beriman) mengerti bahwa dokumen itu tepat mencerminkan iman umat. Karenanya diambil alih. Kalau demikian maka inspirasi (yang disini kiranya harus dikatakan kurnia umat seluruhnya dan bukan kurnia salah seorang) hanya menyangkut pengesahan dan pengakuan sedemikian, yang merobah sama sekali status dokumen itu. Demikian kiranya terjadi dengan Madah Agung. Mungkin juga salah satu dokumen yang sudah ada diberi makna baru dan/atau dirobah seperlunya. Maka aktivitas itu adalah diinspirasikan. Ada mungkin pula pelbagai dokumen digabung dan disadur seperlunya. Kalau demikian seluruh pekerjaan itu terpengaruh oleh inspirasi. Akhirnya ada kemungkinan salah seorang langsung menciptakan karyanya yang aseli sama sekali. Dalam hal ini seluruh pekerjaannya itu diinspirasikan. Tetapi setelah karya-karya (bagaimanapun juga jadinya) selesai dan mencerminkan taraf perkembangan iman pada waktu tertentu, iman itu lalu mengalami perkembangan dan kemajuan lagi. Maka karya yang sudah ada diadaptasikan dan disesuaikan dengan perkembangan dan kemajuan lebih lanjut itu. Pekerjaan adaptasi dan penyesuaian itupun diinspirasikan hingga bentuk kitab yang terakhir.

Demikian kiranya Kitab Suci dipimpin dan dilindungi oleh inspirasi ilahi tidak hanya dalam tahapan penyelesaiannya, tetapi juga dalam taraf-taraf yang mendahului bentuknya yang terakhir.

Apa yang dikatakan diatas ini tentang gejala inspirasi kiranya cukup menyatakan betapa majemuk dan ruwet gejala itu. Inspirasi tidak selalu dan dimana-mana menyangkut hal-hal yang sama dan tidak pada semua pengarang suci pengaruhnya satu dan sama saja. Tetapi hasilnya yang terakhir selalu sama, yakni buku insani itu atau ini seluruhnya menjadi Kitab ilahi, Kitab Suci. Justru inspirasilah yang merubah martabat dan harkatnya dari manusiawi belaka menjadi ilahi juga.


Catatan: dialihaksarakan ke ejaan baru oleh SABDA
Artikel ini diambil dari:
Judul belum diketahui, tapi kami menyebutnya sebagai buku hijau.
kembali ke atas