Dari Sejarah Alkitab Indonesia
Daftar isi |
Pertambahan jumlah
Selama masa yang dibahas dalam pasal ini, jumlah orang-orang Kristen berkebangsaan Indonesia bertambah besar karena usaha zending di Minahasa membawa hasil yang baik. Di luar Minahasa, tidak dapat dicatat hasil-hasil yang serupa. Di Maluku dan di Timor, janganlah memperluas pekerjaan, mempertahankan jemaat-jemaat yang ada pun sudah sulit. Di Kalimantan Selatan hanya beberapa ratus orang yang beralih kepada agama Kristen; di Jawa Timur dan Tengah ada lebih banyak, tetapi itu merupakan hasil suatu gerakan di kalangan orang-orang Jawa sendiri. Di beberapa daerah lain, yang dibuka dalam tahun-tahun 1850-an (Irian, Angkola-Mandailing, Sulawesi Selatan) belum atau hampir belum ada orang-orang masuk Kristen. Dengan demikian, sekitar tahun 1860-an, jumlah orang-orang Kristen Protestan di Indonesia adalah sekitar 100.000 - 120.000 orang; jumlah orang Kristen Katolik-Roma masih kira-kira sama seperti pada abad ke-18 (bnd § 14).
Alasan-alasan masuk Kristen
Pokok ini sudah dibicarakan dengan panjang-lebar dalam § 14. Di situ telah kita lihat bahwa ada yang masuk Kristen karena alasan politis, ada yang karena alasan psikologis, atau karena tertarik oleh pribadi seorang pekabar Injil, dan lain-lain alasan. Tetapi tidak bisa disangkal bahwa ada juga orang masuk karena alasan yang sah, yaitu karena tertarik oleh pribadi Yesus Kristus yang di dalamNya mereka melihat Allah secara baru. Tentang masa sesudah tahun 1800, kita dapat berkata bahwa tidak banyak yang berubah dalam hal alasan-alasan masuk Kristen itu. Alasan politis dalam masa ini rupanya kurang penting, pertama-tama karena pemerintah Belanda telah mengaku sebagai "netral" di bidang agama dan kedua, karena para pendeta zending pada abad ke-19 enggan menggunakan dukungan negara (§ 26). Mereka berusaha sekuat-kuatnya supaya hanya orang-orang yang mempunyai alasan yang sah dimasukkan ke dalam jemaat. Apakah usaha itu selalu membawa hasil yang diharapkan? Mereka sendiri kurang yakin tentangnya (masa persiapan yang lama sebelum pembaptisan; pemisahan sakramen-sakramen!) dan kitapun tidak dapat memberi penilaian yang tegas dalam hal ini.
Persiapan untuk baptisan
Kita telah melihat (§ 26) bahwa persiapan untuk baptisan rata-rata dijalankan dengan kesungguhan yang jauh lebih besar dari pada zaman VOC (kecuali di Maluku pada zaman Kam § 20). Masa persiapan adalah jauh lebih lama. Bahan-bahan katekisasi yang dipakai dalam persiapan itu berbeda-beda. Ada yang menggunakan Katekismus Heidelberg dan "Tiksar" yang sudah dipakai pada zaman VOC (§ 14); ada yang menggunakan karangan-karangan yang baru saja terbit di Nederland; ada pula yang menyusun sendiri sebuah buku katekisasi dalam bahasa daerah. Kita boleh menyangka bahwa, lebih dari pada zaman yang terdahulu, dan para pelajar dituntut bahwa mereka memahami dan menghayati bahan itu; menghafal saja tidak cukup. Upacara pembaptisan didahului oleh suatu ujian berupa penyelidikan yang mendalam mengenai pengetahuan maupun keadaan rohani si calon; setelah itu pembaptisan berlangsung dengan jalan pemercikan. Rupanya para zendeling abad ke-19 tidak pernah mempertimbangkan untuk menggunakan baptisan-selam. Baptisan-selam dipakai sepanjang zaman gereja Lama dan memang cocok dengan iklim Indonesia, tetapi agaknya dalam hal ini juga pendeta-pendeta zending terlalu terikat kepada kebiasaan di negeri asal mereka.
Ibadah
Ibadah jemaat pun tetap mengikuti pola Barat, sama seperti pada zaman Portugis dan VOC. Namun demikian, dalam beberapa hal sudah terjadi perobahan. Berkat perobahan itu maka anggota jemaat dapat ikut-serta dalam kebaktian dengan memahami maknanya secara lebih mendalam. Pertama-tama, karena bahasa. Para zendeling sedapat mungkin menggunakan bahasa daerah, sebagai ganti atau di samping bahasa Melayu (bnd § 21, 23). Kalaupun mereka menggunakan bahasa Melayu (§ 21), mereka memakai bahasa Melayu yang sederhana. Mereka terpaksa masih menggunakan terjemahan-Leijdecker yang sukar itu (§ 15), tetapi di sana sini menyusun terjemahan baru Alkitab atau bagian-bagian Alkitab ke dalam bahasa daerah (Kalsel) atau ke dalam bahasa Melayu yang sederhana (Minahasa). Di samping ataupun sebagai ganti nyanyian gubahan Werndly (§ 15), mulailah diadakan nyanyian-nyanyian baru dalam bahasa daerah atau dalam bahasa Melayu yang sederhana (§ 22, 23). Pada masa 1800-1860, kita belum mendengar mengenai usaha-usaha untuk menggunakan lagu-lagu pribumi. Bahasa khotbah disesuaikan dengan daya-tangkap para pendengar, dan isinya di ikhtiarkan agar sampai kepada otak maupun kepada hat mereka. Dalam semua hal itu, ciri pedagogis (mendidik) yang kuat ialah para zendeling (di pusat resornya) atau para guru sekolah/jemaat (di tempat lain). Sudah tentu hanya para guru zendeing-lah yang boleh memimpin kebaktian perayaan sakramen.
Bibliografi | |
Artikel ini diambil dari: |