Sejarah Alkitab Indonesia

Sulawesi Selatan

Bagikan ke Facebook

Dari Sejarah Alkitab Indonesia

Langsung ke: navigasi, cari
Sejarah Apostolat di Indonesia 1
Sejarah Apostolat di Indonesia 2
Sejarah Alkitab Daerah di Indonesia



Dalam karangan yang lalu [1] telah kita dengar, bahwa sesudah keruntuhan V.O.C. pada akhir abad ke-XVIII, hanya terdapat satu pendeta saja di Makasar, yaitu pendeta Van der Dussen. Selain dari Makasar, yang merupakan pusat pekerjaan di Sulawesi-Selatan, ia juga harus melayani Bonthain, Bulukumba dan Salayar. [2] Ia bekerja di situ sampai tahun 1808. Sesudah Van der Dussen daerah itu lama sekali tidak mempunyai pelayan. Baru pada tahun 1820 pendeta-sending Buttenaar [3] ditempatkan di Makasar sebagai pejabat pendeta. Tugasnya di situ tidak begitu mudah, karena jemaat (dan sekolah) sangat terlantar.

Pada akhir tahun 1821 tiba di situ pendeta Roorda van Eysinga, yang mendapat tugas dari Majelis Gereja di Betawi untuk mengunjungi Makasar, Ambon, Ternate dan Menado. Di Makasar ia disambut dengan gembira oleh Jemaat. Karena itu ia tinggal di situ sampai permulaan tahun 1823. [4].

Lima tahun lamanya Buttenaar bekerja di Makasar. Pada tahun 1825 ia digantikan oleh pendeta Van Laren. [5]. Tentang pekerjaan pendeta Van Laren di Jemaat ini kita tidak banyak ketahui. Menurut Coolsma [6]. Ia digantikan oleh pendeta Lammers van Toorenburg, yang mendirikan suatu Perhimpunan Pekabaran-Injil lokal di Makasar. Perhimpunan Pekabaran-Injil itu tidak lama berdiri. Pada tahun 1836 -- sesudah Lammers van Toorenburg berangkat dari Makasar -- ia dibubarkan karena tidak ada orang yang mendukung dan membinanya. Pendeta Lammers van Toorenburg digantikan oleh pendeta Hardy, yang 2 tahun (1837-1839) bekerja di situ. Juga tentang pekerjaan pendeta ini kita tidak banyak ketahui. Rupanya masakerjanya yang singkat di Makasar tidak memungkinkannya untuk menghasilkan sesuatu yang menonjol. Ia digantikan oleh pendeta Toewater.

Sebelum berangkat ke Indonesia Toewater -- dengan bantuan dari Balai Alkitab Belanda -- mempelajari bahasa-bahasa Indonesia dan setibanya di Makasar bahasa Makasar dan bahasa Bugis. Sampai pada waktu itu bahasa Makasar dan bahasa Bugis masih terlampau sedikit dipelajari oleh orang-orang Eropa. Selain daripada Dr. Leyden [7], pendeta Toewater adalah salah satu dari sedikit orang Eropa itu yang mempelajari bahasa Makasar dan bahasa Bugis. [8] Dalam kesempatan itu mereka membagi-bagikan Kitab Suci dalam bahasa Melayu dan Bugis, yang katanya diterima dengan gembira oleh penduduk.

Dari Makasar Toewater banyak mengadakan perjalanan ke pedalaman dan karena itu ia juga banyak mempunyai hubungan dengan penduduk di Sulawesi-Selatan, terutama dengan kepala suku di situ. [9]. Sayang sekali, bahwa ia tidak lama bekerja di Makasar. Pada tahun 1843 ia dipindahkan ke Semarang. Berhubung dengan itu Balai Alkitab Belanda meminta kepadanya, supaya ia bersama-sama dengan Dr. Gericke menterjemahkan Kitab Suci dalam bahasa Jawa. Tetapi sebelum pekerjaan itu dapat dimulai ia telah meninggal dunia pada permulaan tahun 1844. [10]

Untuk melanjutkan pekerjaannya di bidang penterjemahan Kitab Suci di Sulawesi-Selatan, Lembaga Alkitab Belanda memutuskan untuk mengutus Dr Matthes ke situ. Sebelum itu Dr Matthes turut memimpin N.Z.G. sebagai wakil-direktor. Karena itu Pengurus N.Z.G. meminta kepadanya untuk menyelidiki, di manakah N.Z.G dapat memulai pekerjaannya di Sulawesi-Selatan. Matthes berangkat pada tahun 1848 dan sesudah ia menunaikan tugas, yang dipercayakan kepadanya, ia melaporkan kepada N.Z.G., bahwa di Bonthain dan di Bulukumba terdapat 2 Jemaat kecil yang sangat terlantar. [11]. Pada tahun 1845 Majelis Gereja di Makasar telah meminta kepada pemerintah untuk menempatkan seorang pendeta-pembantu di Jemaat-jemaat itu, tetapi permintaan itu ditolak. Karena itu Matthes mengusulkan kepada N.Z.G. untuk menempatkan seorang pendeta-sending di situ, yang sekali-kali dapat mengunjungi Salayar, di mana terdapat juga suatu Jemaat kecil, yang berada dalam situasi yang sama seperti kedua Jemaat di atas. Di sini pendeta-sending itu -- menurut Matthes -- dapat mempelajari bahasa Makasar, sehingga ia "dengan diam-diam" dapat memulai pekerjaannya yang sebenarnya di antara penduduk pribumi di situ. [12].

Ketika Van Rhijn, sebagai inspektor N.Z.G., pada tahun 1847 mengunjungi Bonthain, ia menerima surat dari pendeta Van Hengel -- yang dari tahun 1843-1847 bekerja di Makasar -- bahwa pemberitaan firman di antara orang-orang Makasar mempunyai harapan baik, karena mereka, menurut dia, "tidak memusuhi agama Kristen". Berdasarkan surat itu N.Z.G. menerima usul Matthes dan pada tahun 1851 ia mengambil keputusan untuk memulai pekerjaannya di Sulawesi-Selatan. Sebagai pendeta-pendeta-sending pertama untuk daerah itu N.Z.G. menunjuk Donselaar dan Schot, yang pada waktu itu bekerja di Timor. Kemudian -- sesudah dipikirkan lebih mendalam -- diputuskan untuk hanya memindahkan Donselaar ke Sulawesi-Selatan. [13].

Dalam bulan Mei 1852 Donselaar tiba di Sulawesi-Selatan dan memilih Bonthain sebagai tempat-tinggal. Di situ ia mendapati suatu Jemaat kecil yang terdiri dari "orang-orang Indo" dan prajurit-parjurit pribumi: semuanya kira-kira 100 orang. Ia mulai mengorganisir ibadah, katekisasi dan pengajaran sekolah. Pekerjaan di situ tidak begitu mudah, bukan saja karena anggota-anggota Jemaat tidak mengetahui apa-apa tentang agama Kristen, tetapi terutama karena hidup kesusilaan mereka sangat buruk. Di antara 20 anak, yang ia baptis pada tahun 1853, hanya ada satu anak saja yang "tidak lahir di luar nikah". Di samping pekerjaannya di Jemaat, ia juga mempersiapkan diri untuk pekerjaannya yang sebenarnya di antara orang-orang Makasar. [14].

Pada permulaan tahun 1854 datang lagi 2 pendeta-sending baru, yaitu Rooker dan Goudsward. Rooker ditempatkan di Bulukumba, yang mempunyai suatu Jemaat kecil dengan 61 anggota. Tetapi tidak lama sesudah itu ia dipindahkan ke Tondano (= Minahasa), berhubung dengan meninggalnya pendeta-sending Nooy di situ. [15]. Kepada Goudswaard diberi tugas untuk memimpin sekolah di Bonthain (untuk "anak-anak Indo"), sehingga Donselaar dapat menggunakan seluruh waktunya untuk pekerjaan Jemaat, baik di Bonthain, maupun di Salayar.

Di Salayar ia mendapati suatu Jemaat kecil -- yang terdiri dari 47 orang Indo -- dalam keadan yang sangat buruk. Di situ tidak ada sekolah untuk anak-anak. Pengetahuan anggota-anggota jemaat tentang agama Kristen nihil: sama-sekali tidak ada. Hidup kesusilaan mereka sangat memalukan. Menurut peraturan Gereja pada waktu itu Salayar termasuk daerah pelayanan Jemaat di Makasar. Tetapi karena jauh sekali letaknya, ia jarang dikunjungi. Kunjungan yang terakhir berlangsung kira-kira 4 tahun yang lalu. Karena itu tidak usah mengherankan, bahwa keadaan Jemaat di pulau itu begitu menyedihkan. [16].

Sementara itu Donselaar dan Goudswaard terus berusaha mempelajari tanah, bahasa dan adat-istiadat orang-orang Makasar. Menurut mereka penduduk di situ tidak malas, tetapi "tidak begitu bersih dan lekas marah". Banyak di antara mereka suka berjudi dan menjadi "budak candu". Secara resmi tidak ada perbudakan di situ, tetapi ada orang yang hidupnya tidak lebih baik daripada budak. Penduduk menganggap dirinya beragama Islam, sungguhpun demikian mereka banyak menyembah berhala dan menganut percaya yang sia-sia. [17].

Pada tahun 1855 Jemaat di Bonthain mendirikan sebuah gedung-gereja kecil dengan bantuan uang dari pemerintah. Keadaan Jemaat berangsur-angsur menjadi baik. Sungguhpun demikian Donselaar dan Goudswaard tidak begitu puas. Mereka ingin lekas-lekas mulai dengan pekerjaan mereka yang sebenarnya: memberitakan Firman kepada penduduk prbumi. Tetapi masih banyak rintangan yang mereka hadapi. Pertama: mereka belum cukup menguasai bahasa daerah. Kedua: waktu untuk mempelajari bahasa daerah (= bahasa Makasar) sangat terbatas, karena dalam pekerjaan mereka di Jemaat, mereka harus menggunakan dua bahasa: bahasa Melayu dan bahasa Belanda. Ketiga: "jalan-masuk" ke dalam dunia penduduk pribumi -- karena rupa-rupa sebab -- masih tertutup. Karena itu sambil menunggu, mereka melanjutkan pekerjaan mereka dalam Jemaat, yang sementara itu telah sedikit bertambah besar. [18]

Antara Dr Matthes dan kedua pendeta-sending itu (= Donselaar dan Goudswaard) ada kontak dan kerjasama, sekalipun kontak dan kerjasama itu tidak begitu erat seperti kontak dan kerjasama antara Dr Adriani dan Kruyt di Poso (= Sulawesi-Tengah). Dr Matthes tinggal di Makasar, sedang Donselaar dan Goudswaard jarang ke sana. Tetapi kopi dari bahan-bahan, yang telah selesai disusun oleh Dr Matthes, biasanya ia berikan kepada mereka. [19]. Dan kalau sekali-sekali ia pergi ke bagian Barat-Daya dari Sulawesi, ia biasanya menumpang di rumah kedua pendeta-sending itu, sehingga soal-soal yang sulit, yang tidak dapat mereka selesaikan dalam korespondensi mereka, dapat mereka bicarakan secara lebih mendalam. [20]. Sebelum ia pergi bercuti di Belanda (Februari 1858) ia mengadakan suatu percakapan dengan Donselaar dan Goudswaard tentang pekerjaan Sending di Sulawesi-Selatan.

Pertama: Mereka setuju, bahwa Bonthain dan Bulukumba adalah tempat-tempat-tempat yang baik, tetapi keberatannya ialah: "adanya orang-orang Eropa di situ adalah reklame yang buruk" untuk pekerjaan Sending. Kedua: Mereka setuju dengan pendeta-sending jellesma, bahwa jemaat Eropa adalah suatu beban yang berat bagi seorang pendeta-sending. Jemaat yang demikian dapat merupakan suatu pusat dan contoh yang baik, kalau "buah-buah Sending dapat dimasukkan ke dalamnya". Tetapi biasanya Jemaat-jemaat Indo merupakan "hambatan" bagi pekerjaan Sending. Makasar, menurut mereka, sama-sekali tidak cocok sebagai "pangkalan" pekerjaan Sending. Ketiga: Mereka juga setuju, bahwa bahasa yang harus dipakai dalam pekerjaan Sending bukan bahasa Melayu, tetapi bahasa Makasar: bahasa Makasar kaya akan kiasan-kiasan, sehingga mudah menarik perhatian pendengar-pendengar. Dalam pekerjaan ini dianjurkan supaya dipakai traktat-traktat yang akan disiapkan dalam bahasa Makasar. [21].

Berdasarkan percakapan itu Donselaar (pada tahun 1858) menyusun dan mencetak suatu traktat dalam bahasa Makasar, yang memuat: Dasafirman; kata-kata: "Kasihilah Allah lebih dari segala sesuatu dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri"; Mazmur 1 dan doa Bapa Kami. Traktat itu segera disita oleh Gubernur di Makasar dan hal itu merupakan langkah pertama dari larangan untuk bekerja (= memberitakan Injil) di antara penduduk pribumi. Tindakan Gubernur itu sangat mengherankan baik Donselaar, maupun Pengurus N.Z.G. di Belanda. Pengurus N.Z.G. mengajukan protes dan Donselaar, mengingatkan pemerintah kepada izin-kerja yang diberikan kepadanya pada tahun 1852 di Sulawesi-Selatan. Sebagai jawaban atas surat Donselaar Gubernur jelaskan, bahwa maksud izin-kerja itu hanya supaya ia "mempelajari bahasa Makasar dan Bahasa Bugis". Jadi kalau ia benar-benar mau bekerja sebagai pendeta-sending di Sulawesi-Selatan, ia harus mengajukan permintaan baru kepada pemerintah. Dan ketika Donselaar melakukan hal itu, permintaannya ditolak. Alasannya ialah: karena "orang-orang Makasar dan orang-orang Bugis adalah orang-orang Islam yang sangat fanatik, sehingga pekerjaan Sending di antara mereka dapat menimbulkan gangguan keamanan". Dr Matthes, yang menceritakan hal ini dalam suatu konperensi Sending, menambahkan: Bagaimana pemerintah Hindia Belanda dengan yakin dapat mengatakan demikian, akan tetap merupakan teka-teki bagi saya selama saya hidup". [22].

Berhubung dengan itu pada permulaan tahun 1861 Donselaar menerima pengangkatannya sebagai pengajar-utusan dan berangkat ke Kupang. Goudswaard tetap tinggal di Bonthain dengan tugas kembar: di samping pekerjaannya di sekolah yang berjalan dengan baik, ia ditugaskan oleh Majelis Jemaat untuk melayani Firman Allah di Bonthain, di Bulukumba dan di Salayar. N.Z.G. setuju dengan penugasan itu, sehingga Goudswaard hampir-hampir tidak mempunyai waktu untuk istirahat. [23]. Untuk pekerjaan sekolah ia banyak menerima fasilitas dari pemerintah: gaji, gedung-sekolah dan alat-pengajaran. Pada waktu itu pemerintah mempertimbangkan kemungkinan untuk membuka sebuah Sekolah Guru di bawah pimpinan Goudswaard. Tetapi sebelum maksud itu dapat dilaksanakan Goudswaard telah meninggal dunia (1 Desember 1864) karena serangan penyakit kholera. [24] Berhubung dengan itu N.Z.G. merasa tidak perlu lagi untuk melanjutkan pekerjaannya di Sulawesi-Selatan.

Pekerjaan penterjemahan Kitab Suci

Sejak pertengahan abad ke-XIX Lembaga Alkitab Belanda telah mengarahkan perhatiannya ke Sulawesi-Selatan. Ia tahu, bahwa bahasa-bahasa yang dipakai di daerah itu -- bahasa Makasar dan bahasa Bugis -- termasuk bahasa-bahasa yang tertulis di Indonesia dan yang sedikit mempunyai sastra sendiri. [25] Ia juga tahu, bahwa orang-orang Makasar dan orang-orang Bugis beragama Islam. Sungguhpun demikian ia berpendapat, bahwa pekerjaan penterjemahan di situ lebih banyak memberikan harapan daripada pekerjaan penterjemahan di Jawa. Pekerjaan penterjemahan di Sulawesi-Selatan, seperti yang telah kita dengar, dipelopori oleh pendeta Toewater. Pekerjaan Toewater ini telah memberikan dorongan yang kuat kepada Lembaga Alkitab Belanda untuk merealisasikan maksudnya itu. Hal itu terjadi pada tahun 1847, ketika ia mengangkat Dr Matthes, wakil-direktor N.Z.G., untuk tugas itu.

B.F. Matthes (16 Januari 1818 - 9 Oktober 1908) adalah anak pendeta H.J. Matthes. Pada tahun 1835 ia mencatatkan diri sebagai mahasiswa sastra dan theologia di Leiden. Kira-kira setahun kemudian (1836) ia telah lulus ujian-kandidat (sastra) dengan pujian. Dari tahun 1838-1841 ia belajar di Seminari Lutheran di Amsterdam. Pada tanggal 1 September 1841 ia ditahbis sebagai pendeta (dari Gereja Lutheran Injili). Dari tahun 1841-1848 ia bekerja di Rotterdam sebagai wakil-direktor dari N.Z.G. Setahun sebelum itu (1847) ia diangkat oleh Lembaga Alkitab Belanda sebagai "wakilnya" di Sulawesi-Selatan untuk mempelajari bahasa (Makasar dan Bugis) di situ dan untuk menterjemahkan Kitab Suci dalam bahasa-bahasa itu. Sesudah memperoleh doctor honoris causa (sastra) di Leiden, ia kawin dengan nona C.N. Engelenburg (17 Juli 1848). Segera sesudah itu (permulaan Juli 1848) ia dan isterinya berangkat ke Indonesia. [26]

Di Betawi ia memperoleh beberapa karya yang ditinggalkan oleh Toewater. Setibanya di Sulawesi-Selatan nyata, bahwa apa yang telah dicapai di bidang studi bahasa Makasar dan Bugis sedikit sekali, sehingga ia harus mulai "dari bawah". Ia mulai dengan bahasa Makasar. Tentang orang-orang Makasar, yang banyak dipuji di Belanda, ia katakan (dalam suratnya pada tahun 1849), bahwa pujian itu sebenarnya tidak sesuai dengan kenyataan, sebab mereka malas, suka berjudi, suka mencuri, suka membalas dendam, dan lain-lain. Mereka benar beragama Islam, tetapi mereka tidak tahu apa-apa tentang agama itu: banyak diantara mereka minum-minuman keras (= alkohol) dan makan daging babi. Superstisi terdapat di mana-mana. Karena itu ia sangsi apakah pekerjaannya di Sulawesi-Selatan akan ada manfaatnya. [27].

Hal yang akhir ini mungkin bukan saja disebabkan oleh pengaruh agama kafir, yang rupanya masih hidup di situ, tetapi juga oleh agama Kristen -- pada waktu Missi Portugis [28]. Pada tahun 1537 ia mengirim suatu perutusan kepada Antonio Galvao, yang pada waktu itu menjadi panglima Portugis di Ternate, untuk meminta perlindungan. Di Ternate 2 pangeran Makasar bertobat dan dibaptis. Sekembalinya di Makasar mereka mengadakan propaganda untuk agama Kristen. Rupanya propaganda itu banyak berhasil, sebab tidak lama sesudah itu suatu perutusan -- dengan hadiah-hadiah yang mahal -- dikirim lagi ke Ternate untuk meminta rohaniawan-rohaniawan Portugis. Permintaan itu dikabulkan, tetapi oleh serangan angin taufan, kapal yang membawa 2 orang rohaniawan itu tiba di Filipina dan bukan di Makasar. Baru 6 tahun kemudian sebuah kapal Portugis tiba lagi di Makasar untuk memuat kayu cendana. Pada kesempatan itu raja Supa dan raja Siang (dekat Pare-pare) dibaptis. Permintaan mereka untuk mendapatkan rohaniawan-rohaniawan Portugis rupanya tidak bagitu banyak mendapat perhatian. Sungguhpun demikian melalui raja-raja dan pangeran-pangeran itu agama Kristen cukup besar mempunyai pengaruh di daerah itu. Bnd Sejarah Gereja Katolik di Indonesia, Ende 1974, I, hl. 311-317. dan terutama sejak V.O.C. [29] -- di Sulawesi-Selatan.

Pada tahun 1855 ia telah selesai menyusun dan mengirimkan ke Belanda segala sesuatu yang dibutuhkan untuk mempelajari bahasa Makasar: sebuah tatabahasa, sebuah bunga rampai dan sebuah kamus Makasar -- Belanda. [30] Berhubung dengan kematian isterinya, [31] pada tahun 1858 ia kembali ke Belanda mengantarkan anak-anaknya. Di situ ia tinggal sampai 1861, sehingga ia sendiri dapat mengawasi pencetakan bahan-bahan di atas. Sesudah ia kembali di Makasar, ia segera mempersiapkan bahan-bahan yang perlu untuk studi bahasa Bugis. Pekerjaan itu sedikit banyak meminta waktu. Baru sesudah itu ia dapat mulai dengan pekerjaannya yang sebenarnya, yaitu menterjemahkan Kitab Suci. Pada tahun 1864 terbit hasil yang pertama dari pekerjaannya itu: Injil Matius, baik dalam bahasa Makasar, maupun dalam bahasa Bugis. Tetapi penerimaan Injil di antara orang-orang Makasar dan orang-orang Bugis tidak menggembirakan. Sungguhpun demikian Lembaga Alkitab Belanda tidak mau menghentikan pekerjaannya di Sulawesi-Selatan.

Waktu-waktu sesudah itu Matthes pakai untuk studi bahasa, khususnya bahasa Bugis. Pada tahun 1870 ia berada lagi di Belanda untuk mencetak apa yang telah ia selesaikan: sebuah kamus dan sebuah bunga rampai (bahasa Bugis) dengan biaya pemerintah. Selain dari itu juga terjemahan Kitab Kejadian dalam bahasa Makasar dan bahasa Bugis (1872). [32]

Tetapi kemudian -- berhubung dengan rupa-rupa sebab -- Lembaga Alkitab Belanda untuk sementara menghentikan pekerjaan penterjemahan Kitab Suci dalam bahasa Makasar dan bahasa Bugis. Dan, dengan persetujuan Matthes, ia mengusulkan kepada pemerintah, supaya pemerintah mau mempertimbangkan kemungkinan untuk mendirikan sebuah lembaga pendidikan di Sulawesi-Selatan dengan Matthes sebagai pemimpin. Usul itu disetujui oleh pemerintah dan pada tahun 1873 ia memutuskan untuk mendirikan sebuah Sekolah Guru di Makasar dan untuk mengangkat Dr Matthes sebagai direkturnya.

Sementara menunggu pembangunan Sekolah itu Matthes mengawasi pencetakan bahan-bahan yang telah ia siapkan untuk studi bahasa Bugis bersama-sama dengan Injil Markus, Lukas, Yohanes dan Kisah Para Rasul. [33]

Pada tahun 1875 Matthes berangkat ke Makasar untuk tugasnya yang baru. Pekerjaannya dalam dinas pemerintah hanya bersifat sementara. Pada tahun 1880 -- sesudah 4 tahun memimpin Sekolah Guru di Makasar sebagai direktur -- ia kembali ke Belanda. [34] Di Belanda ia melanjutkan pekerjaan penterjemahannya. Pada tahun 1887 seluruh Perjanjian Baru selesai diterjemahkan (dalam bahasa Makasar dan bahasa Bugis) dan dicetak. Sesudah itu ia mulai dengan penterjemahan Perjanjian Lama dan sekalipun ia sudah sangat tua pada waktu itu, ia dapat menyelesaikannya pada akhir 1900. Dalam laporan Lembaga Alkitab Belanda tentang pekerjaannya selama tahun 1900 a.l. dikatakan: "Sesudah 50 tahun lamanya bekerja, Dr Matthes menyelesaikan penterjemahan seluruh Kitab Suci, baik dalam bahasa Makasar, maupun dalam bahasa Bugis". [35]

Catatan

  1. **Lih J.L.Ch. Abineno, Sejarah Apostolat di Indonesia, II/1, 1978.**
  2. **Bnd C.W.Th. Baron van Boetzelaer van Asperen en Dubbeldam, De protestantsche Kerk in Nederlandsch-indie (dikutip: Van Boetzelaer II), 1947, blz. 362.**
  3. **Buttenaar adalah pendeta-sending N.Z.G. Sebelum ditempatkan di Makasar, ia telah bekerja di Surabaya sebagai pejabat pendeta (1818).**
  4. **Bnd Van Boetzelaer II, blz. 365 v.**
  5. **Buttenaar ditempatkan di Ambon, sebelum ia dipensiunkan.**
  6. **S. Coolsma, De zendingseeuw voor Nederlandsch Oost-Indie, 1901, blz. 620.**
  7. **Dari Brief View of the Plan and Operations of the British and Foreign Bible Society, 1843, p. 16 nyata, bahwa pada waktu pemerintahan Raffles Dr. Leyden, seorang ahli bahasa, telah menterjemahkan sebagian dari Perjanjian Baru dalam bahasa Makasar dan bahasa Bugis.**
  8. **Dalam Baseler Missions Magazin, 1840, S. 158 kita membaca, bahwa pada tahun 1837 pendeta-pendeta sending Lay, Dickenson dan Wolff dari Canton singgah di Sulawesi-Selatan dan mengunjungi Bonthain.
  9. **Bnd Van Boetzelaer II, blz. 368.**
  10. ** Ia meninggalkan banyak bahan (tatabahasa, daftar kata-kata, dll.) yang telah siap untuk dicetak.**
  11. **Menurut Matthes Jemaat-jemaat itu, yang ia kunjungi pada tahun 1849, terdiri dari 200-300 anggota (= orang-orang Indo: keturunan orang-orang Belanda yang kawin dengan wanita-wanita Makasar dan Bugis).**
  12. **Bnd Coolsma, a.w., blz. 620.
  13. **Bnd Coolsma, a.w., blz. 621.**
  14. **Bnd Coolsma, a.w., blz. 621
  15. **Bnd Coolsma, a.w., blz. 569.**
  16. **W.M. Donselaar, Aanteekeningen over het eiland Saleijer (dalam: Mededeelingen vanwege het Nederlandsch Zendelinggenootschap), 1857, blz. 277-328.**
  17. **Bnd Coolsma, a.w., blz. 621.**
  18. **Pada tahun 1856 Jamaat Bonthain telah mempunyai 180 anggota, di antaranya 56 anggota sidi. Juga sekolah, yang dipimpin Goudswaard, bertambah besar: jumlah muridnya telah meningkat menjadi 48 orang.**
  19. **Sesudah ia mendapat izin dari Balai Alkitab Belanda, yang menginstruksikan kepadanya, supaya hasil pekerjaannya jangan diumumkan, kecuali "dengan perantaraan" Balai Alkitab Belanda**
  20. **Hal itu nyata a.l. dari surat Dr Matthes (9 Juni 1855) kepada Balai Alkitab Belanda, di mana ia mengusulkan supaya bagian-bagian Perjanjian Baru yang telah ia terjemahkan ke dalam bahasa Makasar dan Bugis "dicobakan pemakaiannya" dahulu oleh Donselaar dan Goudswaard dalam Jemaat-jemaat di Bonthain dan Bulukumba, sebelum bagian-bagian itu dicetak**
  21. **Mereka sadar, bahwa pekerjaan itu tidak mudah, terutama karena antara rakyat (Makasar-Bugis) dan Pemerintah Hindia Belanda tidak terdapat hubungan yang baik.**
  22. **P. van Wijk jr., Bijbelvertaling en Zending (dalam: Nederlandsch Zendingstijdschrift, 1891, blz. 112.**
  23. **Tiap-tiap Minggu ia berkhotbah dalam bahasa Melayu dan Belanda. Jumlah anggota-anggota Jemaat yang mengunjungi kebaktian berkisar antara 30-50 orang. Pada hari-hari raya antara 80-100 orang.**
  24. **Bnd Arend Goudswaard (dalam: Maandbericht van het Nederlandsch Zendelinggenootschap), 1865, blz. 37-47 dan Nog iets over Goudswaard, uit de beschrijving van zijne gemeente (dalam: Maanbericht van het Nederlandsch Zendelinggenootschap), 1865, blz 49-60.**
  25. **Bnd a.l B.F. Matthes, Kort Verslag aangaande alle mij in Europa bekende Makassaarsche en Boegineesche handschriften, 1875.**
  26. **H. van den Brink, Dr. Benjamin Frederik Matthes; zijn leven en arbeid in dienst van het Nederlandsch Bijbelgenootschap, 1948, blz. 160 v.**
  27. **Bnd Coolsma, a.w., blz. 626.
  28. **Seperti kita tahu salah seorang musuh yang paling besar dari sultan Ternate pada waktu itu ialah raja Makasar
  29. **Pada waktu V.O.C. Bonthain dan Bulukumba -- di samping Makasar -- merupakan pos-pos militer yang penting. Banyak prajurit Belanda di situ kawin dengan wanita-wanita Makasar (dan Bugis): oleh perkawinan itu timbul suatu "persekutuan Indo", yang merupakan inti dari Jemaat-jemaat yang berada di situ. Bnd Van den Brink, a.w., blz. 40.**
  30. **Van den Brink, a.w., blz. 54 vv.**
  31. **Pada tanggal 9 Maret 1855 di Maros**
  32. **Bnd Van den Brink, a.w., blz. 91**
  33. **Bnd Van den Brink, a.w., blz. 100**
  34. **Tentang pekerjaannya sebagai direktur Sekolah Guru di Makasar, bnd Van den Brink, a.w., blz. 102-119**.
  35. **Bnd surat yang ditulisnya kepada Lembaga Alkitab Belanda tentang hal itu dalam Van den Brink, a.w., blz. 130**
Bibliografi
Artikel ini diambil dari:
Abineno, Dr. J.L. Ch. 1979. Sejarah Apostolat di Indonesia 2. PT BPK Gunung Mulia, Jakarta.
kembali ke atas