Sejarah Alkitab Indonesia

Buku Kristen Kuno Bahasa Madura Perlu Perhatian Serius

Bagikan ke Facebook

Dari Sejarah Alkitab Indonesia

Langsung ke: navigasi, cari
Sejarah Alkitab Daerah di Indonesia



Upaya menerjemahkan Alkitab dan bacaan rohani lainnya ke dalam bahasa daerah setempat bisa berfungsi ganda: mewartakan kabar baik dengan bahasa yang mudah dipahami sekaligus untuk untuk melestarikan bahasa dari suku tersebut. sayangnya, kerja keras yang telah lama dirintis ini masih kurang mendapat perhatian pemakainya. salah satunya Alkitab dan buku-buku rohani berbahasa Madura.

Jember, Bahana

Ada sesuatu yang khas di lingkungan Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW), jemaat Sumberpakem di Kabupaten Jember, Jawa Timur, sebagian besar jemaatnya dari suku Madura. Gereja ini pun masih menyimpan buku-buku Kristen lama berbahasa Madura. Ada yang tertulis dengan aksara Jawa dan sebagian besar dengan huruf Latin. Sayangnya, buku-buku langka itu kurang terawat. Madura yang kita kenal dengan logatnya yang khas ternyata mendapat perhatian yang cukup besar dari para misionaris. Sejumlah buku kuno seperti Ketab Injil Sotceh see Toles Yohanes, Kejungan Pojian Rohani, dan Tjareta Saratos Empadam telah ditulis Pendeta H. Van der Spiegel tahun 1929. Buku-buku langka yang kurang terpelihara ini tersimpan di lemari gereja. Sebagian lagi disimpan warga desa di kaki Gunung Raung, 30 km timur laut Jember.

Sejak 2003, Pendeta Sapto Wardoyo melayani jemaat Sumberpakem, ia pun sulit membaca buku-buku kuno ini. "Saya sendiri sulit membaca dan memahami buku-buku langka itu," ujar Pak Lestari (55), seorang warga Sumberpakem. Orang Madura pertama yang memeluk agama Kristen adalah Pak Bing. Ia dibaptis di Bondowoso pada 23 Juli 1882. Tanggal ini kemudian dijadikan tonggak awal berdirinya jemaat Sumberpakem, meskipun peresmian sebagai gereja jemaat baru pada tahun 1900.

Baru Dua Pendeta

Saat ini jumlah warga jemaat suku Madura ada 62 keluarga (254 jiwa) yang berdomisili di Sumberpakem, Paleran, dan Slateng. Jemaat menggunakan Alketab (bahasa Madura) terbitan LAI dan Kejungan Pojian Rohani, terbitan GKJW-VEM Jerman.

Sampai sekarang baru ada dua warga Madura yang menjadi pendeta, yaitu Pak Alpejus Kaeden (almarhum) dan Eliezer Kaeden (emeritus). Sinode GKJW sudah menyiapkan beasiswa bagi anak Sumberpakem yang ingin berkuliah di Fakultas Teologi, UKDW, Yogyakarta.

Di Pulau Madura, GKJW juga memiliki satu jemaat, yaitu jemaat Bangkalan. Hanya saja warganya adalah para pendatang berbagai suku, selain suku Madura. Kebaktian diselenggarakan menggunakan bahasa Indonesia.

Sepuluh Tahun

Proses penerjemahan Alkitab ke bahasa Madura berlangsung dari tahun 1982-1992. Uniknya, penerjemahnya bukan teolog, tapi anggota gereja biasa. Adalah Ny. Cicilia Jeanne d'Arc Hasaniah Waluyo, putri budawayan Madura, almarhum Abdurachman Sastrosubroto yang menerjemahkan Alkitab ini. Waktu itu, Hasaniah berprofesi sebagai guru musik, bahasa Inggris dan agama Katolik di SMP Pamekasan.

Ibu tiga anak ini ditugasi LAI Jakarta pada tahun 1981 untuk menerjemahkannya. Modalnya, selain iman yang kuat juga menguasai bahasa Madura halus. Di kalangan suku Madura, bahasa Madura Sumenep termasuk bahasa tingkat tinggi dan menjadi standar bagi kalangan pelajar. Salah satu kendala proses penerjemahan adalah tempat tinggal penerjemah, peneliti, dan konsultan yang berjauhan.

Setelah diuji coba selama dua tahun barulah Alkitab dalam bahasa Madura diterbitkan oleh LAI dengan nama Alketab dengan tambahan keterangan E Dhalem Basa Madura atau dalam bahasa Madura sehari-hari. Parjanjian Kona (Perjanjian Lama) setebal 1.306 halaman dan Parjanjian Anyar (Perjanjian Baru) 512 halaman. Terjemahan itu diterima dan diakui oleh Konferensi Waligereja Indonesia di lingkungan Gereja Katolik.

Alketab diluncurkan secara resmi oleh Sekretaris Umum LAI, Drs. Soepardan, pada 28 Agustus 1994. Alketab pertama kali dibaca oleh Pdt. Emeritus Alpeyus Kaeden, putera Madura pertama yang menjadi pendeta GKJW.

Sayang bila kerja keras tersebut menjadi sia-sia padahal dengan bahasa setempat bisa menjadi alat komunikasi yang efektif untuk pewartaan Injil. Pelestarian bahasanya juga memiliki arti penting bagi identitas masyarakat. Kalau bukan kita, siapa lagi yang peduli? Bukankah bahasa adalah identitas sebuah bangsa?

Artikel ini diambil dari:
Tjiptowardono/Ugie, Buku Kristen Kuno Bahasa Madura Perlu Perhatian Serius, http://www.bahana-magazine.com/juli2005/berita03.htm
kembali ke atas