Dari Sejarah Alkitab Indonesia
Mungkin judul di atas itu agak membingungkan. Bagaimana kita dapat mengatakan bahwa ada "Kitab Suci yang Terlalu Diagungkan"?
Hieronymus, penerjemah Alkitab Vulgata dalam bahasa Latin (lihat pasal 1 dalam buku ini), mungkin sekali cukup mengerti maksud judul di atas. Pada masa hidup Hieronymus, sudah ada berbagai-bagai terjemahan Alkitab bahasa Latin; ada yang baik, ada pula yang jelek. Namun setiap terjemahan itu, apakah baik atau jelek, di antara pembacanya ada yang merasa: "Pasti inilah Kitab Suci yang paling bagus!"
Karena umat Kristen pada zaman kuno itu terlalu mengagungkan terjemahan-terjemahan Alkitab yang sudah ada, maka semula mereka tidak mau menerima terjemahan baru yang dikerjakan oleh Hieronymus. Sejak tahun 383, ketika ia mengerjakan terjemahan baru keempat Kitab Injil atas imbauan Paus Damasus, Hieronymus sudah menyadari bahwa ada umat Kristen yang terlalu mengagungkan terjemahan lama. Sang penerjemah itu menyurati sri paus sebagai berikut:
"Setiap pembaca Alkitab, apakah dia pandai atau bodoh, ketika ia memegang terjemahanku dan menemukan susunan kata-kata yang berbeda dengan yang sudah biasa baginya, pasti ia akan mengangkat suaranya dan menuduh bahwa aku adalah seorang pemalsu, penghujat, seorang yang berani mengubah, meralat, mengutik-ngutik Kitab Suci yang sudah lama ada!"
Reaksi seperti itu sesungguhnya sudah sering muncul sepanjang abad, dan di seluruh dunia. Pada tahun 1971-1974, ketika Lembaga Alkitab Indonesia mula-mula menerbitkan terjemahan yang sekarang ini paling lazim dipakai, ada orang-orang Kristen yang tidak mau menerimanya. Ada seorang sarjana teologi yang mau mengkritiknya dengan tajam. Bahkan ada suatu organisasi Kristen yang mengongkosi pencetakan ulang terjemahan lama, oleh karena mereka sama sekali tidak mau bersangkutan dengan "terjemahan baru yang jelek" itu!
Hieronymus merasa kurang sabar terhadap orang-orang Kristen yang bersikap kolot seperti itu. Ia pernah menyambut mereka sebagai "keledai berkaki dua", dan menyatakan sebagai berikut: "Percuma aku memainkan kecapiku bagi keledai! Jika mereka tidak mau minum dari sumber air yang jernih, biarlah mereka minum air sungai yang keruh!"
Dalam salah satu tulisannya, Hieronymus pun menggambarkan dirinya sebagai seorang penerjemah Alkitab yang terbentur pada dua masalah:
"Seandainya aku bekerja sampai mengeluarkan keringat dengan menganyam keranjang untuk mendapat nafkah, maka tidak ada seorang pun yang akan mengiri kepadaku. Tetapi justru karena aku menaati Amanat Sang Juru Selamat, dan demi kebaikan jiwa-jiwa manusia aku memilih untuk menyediakan Roti Hidup yang tak kunjung binasa, yaitu membersihkan jalan kebenaran dengan mencabut alang-alang yang oleh kebodohan pernah ditanam di situ maka aku dituduh telah berbuat dua macam kejahatan: Jika aku meralat yang kurang tepat dalam Alkitab, aku dikutuk sebagai pemalsu. Tetapi jika aku tidak meralatnya, aku didamprat sebagai penyebar kebohongan."
Lambat laun terjemahan Hieronymus itu diterima secara umum. Bahkan julukannya cukup mencerminkan hal itu: Vulgata, atau Alkitab "Untuk Semua Orang." Bahkan Vulgata itu pun pernah diberi nama kehormatan yang lebih luhur lagi: "Ratu di Antara Semua Versi Alkitab" . . . .
Sayang, . . . ada perkembangan sejarah selama abad-abad terkemudian yang pasti akan sangat membingungkan Hieronymus, seandainya ia masih hidup pada abad-abad tersebut. Alkitab Vulgata itu disalin dengan tulisan tangan selama seribu tahun lebih, karena di dunia Barat belum ada mesin cetak. Dan sama seperti yang selalu terjadi dengan salinan apa saja yang dibuat oleh manusia yang kurang sempurna di sana sini terdapat salinan yang salah tulis. Lagi pula, terjemahan asli Hieronymus itu sendiri tidak seratus persen sempurna, karena yang mengerjakannya pun adalah manusia yang kurang sempurna.
Pada masa Reformasi Protestan, para pemimpin Gereja Katolik Roma diberitahu bahwa telah ditemukan banyak naskah Alkitab kuno dalam bahasa-bahasa aslinya, yang sangat berfaedah guna memperbaiki Alkitab Vulgata. Namun, semuanya itu mereka tolak. Sebaliknya, mereka bersikeras hanya Vulgata sajalah yang harus dipakai dalam ibadah umat Katolik di seluruh dunia, yang lain tidak. Padahal semula Hieronymus sendiri justru mengerjakan Vulgata untuk mengganti terjemahan-terjemahan Alkitab lama yang kurang tepat!
Apakah akibat perkembangan sejarah yang tak diharapkan itu, yakni Alkitab Vulgata terlalu diagungkan?
Selama berabad-abad, setiap kali ada rapat gerejawi agung di kalangan umat Katolik Roma, ada salinan Alkitab Vulgata yang dimasukkan ke dalam sebuah peti keemasan yang indah, lalu dibawa dalam arak-arakan suci, seolah-olah menjadi patung berhala.
Selama berabad-abad, bila para utusan Injil Katolik Roma pergi kepada bangsa-bangsa asing, mereka membawa serta Alkitab Vulgata saja, dan mengharapkan agar orang yang bahasanya lain daripada bahasa Latin itu akan merasa puas dengan Alkitab dalam bahasa yang sudah kuno.
Selama berabad-abad, bahkan sampai beberapa puluh tahun yang lalu, acara kebaktian dalam setiap gereja Katolik Roma di Indonesia dan di seluruh dunia selalu diselenggarakan dalam bahasa Latin saja . . . pada hal bahasa itu sudah mati, tidak lagi dibicarakan oleh siapa pun, di tempat mana pun juga.
Syukurlah, pada pertengahan abad ke-20 para pemimpin umat Katolik Roma mulai menyadari kejanggalan ini. Pada masa sekarang, di mana-mana orang-orang Katolik didorong untuk mempunyai dan membaca Firman Allah dalam bahasa mereka sendiri. Bahkan umat Kristen golongan Katolik itu suka bekerja sama dengan umat Kristen golongan non-Katolik demi terjemahan Alkitab dalam bahasa yang mudah dipahami pada masa kini, seperti misalnya Alkitab Kabar Baik dalam Bahasa Indonesia Sehari-hari . . . .
Bagaimana dengan umat Kristen non-Katolik? Apakah mereka juga pernah terjebak karena "terlalu mengagungkan Kitab Suci"? Apakah mereka juga pernah memperlakukan satu terjemahan Alkitab tertentu seolah-olah menjadi patung berhala?
Sayang sekali, bukan hanya umat Katolik Roma saja yang pernah keliru dengan cara demikian. Umat Kristen Nestorian juga ikut terjebak.
Mungkin orang-orang Nestorianlah yang mula-mula membawa Kabar Baik tentang Tuhan Yesus ke kepulauan Nusantara. Ada tradisi kuno yang menyatakan bahwa beberapa gereja Nestorian sudah didirikan di daerah Barus, Sumatera Utara, pada abad ke-12.
Mengapa aliran Nestorian itu tidak tahan lama di Indonesia? Mungkin alasannya (antara lain) ialah, karena orang-orang Kristen Nestorian kurang antusias menerjemahkan Firman Tuhan ke dalam bahasa setempat. Menurut mereka, sudah cukupkah bila ada Alkitab bahasa Siria Kuno yang telah mereka miliki sejak abad ke-5. Jadi, bila para utusan Injil Nestorian pergi ke mana-mana (dan mereka itu memang cukup banyak dan cukup rajin), mereka hanya membawa serta sebuah terjemahan Alkitab yang sangat kuno dan sulit dipahami. (Salah satu akibat dari kelalaian mereka dalam hal menerjemahkan Alkitab itu dapat dibaca berupa kisah nyata yang berjudul "Gereja yang Tidak Mempunyai Alkitab", pada Jilid 2 dalam buku seri ini.)
Alkitab bahasa Siria Kuno itu pun satu-satunya Alkitab yang dikenal di jazirah Arab pada abad ke-6 dan ke-7. Bagaimana seandainya orang-orang Kristen dahulu kala di daerah Arab itu lebih rajin menerjemahkan Alkitab? Bagaimana seandainya orang-orang Arab pada zaman itu sudah dapat membaca dalam bahasa ibu mereka, tentang Isa Almasih, Sang Juru Selamat yang diutus oleh Tuhan Yang Maha Esa?
Pengandaian itu sungguh menarik. Namun kenyataannya, baru ada Alkitab bahasa Arab sesudah ada Alquran bahasa Arab, dan bukan sebelumnya. Lagi pula, kebanyakan terjemahan Alkitab ke dalam bahasa Arab yang dikerjakan kemudian, bahkan sampai abad ke-19, seakan-akan timbul sebuah reaksi terhadap munculnya agama Islam, dan bukan sebagai usaha untuk menyediakan Alkitab bahasa Arab yang sungguh komunikatif.
Misalnya: Apakah kaum Muslimin suka memakai istilah "Isa Almasih"? Baiklah! Kaum Kristen akan memakai istilah "Yesu Kristo." Apakah kaum Muslimin suka menyebutkan Ibrahim, Solaiman, Yahya? Baiklah! Kaum Kristen akan menyebutkan Abraham, Salomo, Yohanes. Sampai sekarang pun penyisihan istilah-istilah khas Arab itu masih disengaja, dan masih kuat pengaruhnya terhadap terjemahan-terjemahan Alkitab dalam banyak bahasa modern.
Mungkinkah pembaca mulai berpendapat, bahwa apa yang diceritakan dalam pasal 2 ini tidak ada sangkut pautnya dengan diri pembaca sendiri? Memang, semuanya itu berkisar pada kekeliruan orang Kristen yang berbeda alirannya daripada mayoritas orang Kristen di dunia sekarang. Orang Kristen non-Katolik seperti kaum Protestan, misalnya pasti belum pernah terjebak sehingga mereka terlalu mengagungkan satu terjemahan Alkitab tertentu, ya? . . .
Kenyataannya, kaum Kristen non-Katolik terlibat juga. Contohnya, mereka yang suka membaca Alkitab dalam bahasa Inggris, bahasa Internasional di seluruh dunia: Pada tahun 1611 telah terbit suatu terjemahan Alkitab baru yang sangat bagus, atas titah Raja James I di Inggris. Baginda menitahkan agar versi baru itu diadakan, justru sebagai pengganti banyak terjemahan lama yang dianggap tidak lagi memadai.
Dalam prakata Alkitab Versi Raja James yang terkenal itu, panitia penerjemah mengajukan dua pertanyaan retoris: "Apakah Kerajaan Allah itu telah menjadi kata dan kalimat? Mengapa kita membiarkan diri dibelenggu olehnya, jikalau kita boleh merdeka?"
Sayang sekali, justru itulah yang kemudian menjadi kenyataan: "Kata dan kalimat" Alkitab Versi Raja James itu menjadi semacam rantai, sehingga sebagian besar umat Kristen non-Katolik di seluruh dunia Barat memang "dibelenggu olehnya." Selama dua setengah abad lebih, tidak ada usaha sedikit pun untuk menghasilkan terjemahan baru, padahal selama jangka waktu itu bahasa Inggris terus berkembang dengan pesatnya.
Menjelang akhir abad ke-19, barulah ada permulaan proyek-proyek penerjemahan baru. Namun banyak orang yang berbahasa Inggris menentang dengan keras setiap usaha itu untuk memperbaiki terjemahan Sabda Allah. "Alkitab baru ini mengadung racun rohani!" demikianlah ucapan banyak orang Kristen. Menjelang akhir abad ke-20, barulah untuk pertama kalinya ada terjemahan-terjemahan modern yang berhasil menggeser Alkitab Versi Raja James sebagai Kitab Suci berbahasa Inggris yang paling laris.
Nah, . . . kebanyakan kisah nyata yang diceritakan dalam pasal 2 ini terjadi di negeri-negeri lain, bukan? Pernahkah umat Kristen Indonesia juga mengagungkan satu terjemahan Alkitab tertentu, sehingga mereka tidak mau menerima Alkitab baru yang sesungguhnya lebih mudah dipahami? . . .
Pernah. Cerita lama yang menyedihkan itu terulang lagi di Bumi Nusantara. Jilid 1 dalam buku seri ini memuat kisah nyata tentang "Alkitab yang Bungkam di Bahasa Nusantara." Terjemahan Alkitab bahasa Melayu (bahasa Indonesia Kuno) yang paling pertama dan paling terkenal itu adalah terjemahan Leydekker, yang mula-mula diterbitkan dengan lengkap pada tahun 1733. Lama sekali setelah itu, umat Kristen Indonesia di daerah-daerah tertentu tidak mau tahu tentang Alkitab lain. Bahkan sampai abad ke-20 masih ada cetakan ulang Alkitab Leydekker, atas desakan jemaat-jemaat di Ambon.
Padahal Alkitab Leydekker itu sudah lama menjadi suatu Kitab Suci yang amat sulit dibaca. Bahasa Indonesia adalah bahasa yang hidup, bahasa yang terus berkembang. Istilah-istilah yang gampang ditangkap artinya pada tahun 1733 itu, satu abad kemudian tidak lagi dapat dimengerti dengan mudah apa lagi dua atau tiga abad kemudian!
Pada tahun 1823, seorang penduduk asing di Singapura meminjamkan sebuah Kitab Perjanjian Baru terjemahan Leydekker kepada seorang guru bahasa Melayu bernama Abdullah bin Abdul Kadir. Pada waktu sang guru itu berusaha membacanya, ia pun menjadi sangat heran. Menurut kesaksian Abdullah sendiri: "Buku itu memang ditulis dengan huruf-huruf Melayu, dan mengandung kata-kata Melayu pula. Namun itu bukan bahasa Melayu. Sebab itu aku tidak mengerti maknanya."
Ketika Abdullah mengembalikan Perjanjian Baru itu kepada orang asing yang telah meminjamkannya, orang tersebut bertanya kepadanya melalui seorang pengalih bahasa: "Sudahkah kaubaca buku ini?"
"Ja Meneer," jawab Abdullah.
"Apakah bahasa Melayu memang begitu?" tanyanya.
"Nee, Meneer," jawab Abdullah.
"Jika memang bahasa Melayu tidak begitu," tanyanya lagi, "bagaimana bahasanya yang betul?"
"Aku tidak tahu, Meneer," jawab Abdullah. "Hanya si penulis saja yang tahu bahasa apa itu."
Tidaklah mengherankan bila pernah ada tuduhan bahwa Alkitab Leydekker itu "dijunjung tinggi oleh orang Kristen, tetapi jarang dipahami merupakan semacam penghormatan mekanik, tanpa jiwa atau roh"! . . .
Kitab Suci itu memang sebaiknya selalu dijunjung tinggi. Namun jangan sampai umat Kristen terlalu mengagungkan satu terjemahan Alkitab tertentu! Jangan sampai mereka tidak mau menerjemahkan kembali Sabda Allah ke dalam bahasa yang mereka pakai sehari-hari. Jangan sampai mereka tidak mau menggantikan terjemahan lama dengan terjemahan baru yang lebih tepat dan lebih mudah dipahami.
Bibliografi | |
Artikel ini diambil dari:. |