Dari Sejarah Alkitab Indonesia
Mungkin pembaca sendiri pernah bertanya seperti itu, jika sedang berbelanja di toko buku yang menjual Alkitab dalam berbagai bahasa asing. Mungkin Alkitab bahasa Inggris agak lebih tinggi harganya daripada Alkitab bahasa Indonesia; pada umumnya barang cetakan berbahasa asing itu lebih mahal daripada barang cetakan berbahasa nasional.
Namun pembaca mungkin sekali belum pernah membayangkan, berapa mahal harga yang sebenarnya dari Alkitab bahasa Inggris itu. Untuk dapat mengerti kemahalannya, mari kita kembali menelusuri sejarahnya sampai ke suatu masa lebih dari empat setengah abad yang lalu . . . .
Pada tahun 1522 William Tyndale merasa beruntung sekali. Ia sudah menyelesaikan kuliahnya di dua universitas yang terkenal, baik di Oxford maupun di Cambridge. Dan ia pun sudah mendapat pekerjaan yang cukup baik. Ia menjadi guru pribadi dua anak laki-laki dalam keluarga Sir John Walsh, seorang bangsawan negeri Inggris.
Di samping mengajar membaca dan menulis dua bocah kecil, sarjana yang masih muda itu menjadi pendeta pribadi seluruh keluarga Walsh. Di samping imbalan yang diterimanya, ia juga ditampung di rumah keluarga Walsh yang mewah. Hari demi hari ia memimpin kebaktian untuk seisi rumah tangganya.
Pada masa lebih dari empat setengah abad yang lalu itu, banyak orang Inggris suka berbicang-bincang tentang soal agama. Di negeri Jerman, Martin Luther baru menantang sri paus serta memulai suatu gerakan pembaruan gereja yang kemudian terkenal sebagai Reformasi Protestan. Percakapan mengenai peristiwa itu selalu menimbulkan perdebatan hangat.
Bahasa Inggris masih berpaut pada cara-cara gereja lama. Namun William Tyndale lebih memperhatikan kata-kata yang terdapat di dalam Alkitab, daripada kata-kata yang diamanatkan oleh para pembesar gereja. Hal itu pun sering menghangatkan diskusi di sekitar meja makan besar di rumah Sir John Walsh.
Sir John adalah seorang tuan rumah yang sangat ramah; sering ia mengundang makan para pendeta dan pembesar gereja yang tinggal di sekitar rumahnya. Pada salah satu perjamuan malam, William Tyndale berdebat panjang lebar dengan para rohaniawan yang lebih tua dari pada dia. Ternyata pendeta-pendeta senior itu amat pintar tentang seluk-beluk doktrin gereja, namun sangat bodoh tentang isi Alkitab. Tidak seorang pun di antara mereka itu yang sanggup mengutip Doa Bapa Kami. Tidak seorang pun di antara mereka tahu di mana letaknya contoh doa itu di dalam Alkitab. Dan yang lebih payah lagi tidak seorang pun di antara mereka menganggap penting kebodohan itu . . . kecuali William Tyndale saja.
Meja makan sudah dibersihkan oleh para pelayan; lilin-lilin sudah dinyalakan; namun perdebatan itu masih terus berlangsung. Akhirnya salah seorang ahli doktrin gereja itu berteriak, sambil membanting tinjunya ke meja: "Wah! Lebih baik kita kehilangan hukum Tuhan, daripada kehilangan hukum para pembesar gereja!"
William Tyndale membalas dengan berseru: "Aku menantang para pembesar gereja dan segala hukumnya! Kalau Tuhan memperpanjang umurku, pada tahun-tahun mendatang aku akan menjadikan setiap anak laki-laki yang membajak di ladang lebih mengetahui isi Alkitab daripada engkau sendiri!"
Setelah para tamu pulang istri Sir John Walsh berkata dengan cemasnya, "Aduh, Pendeta tyndale, bukankah perkataanmu tadi agak keterlaluan? Namun pendeta sudah banyak dipercakapkan di kedai-kedai minuman keras. Para rohaniawan yang bodoh-bodoh itu suka menceritakan kembali setiap perkataanmu, dibumbui dengan perkataan lain lagi yang sebenarnya belum pernah kaucapkan. Dan . . . mereka suka menuduh bahwa Pendeta Tyndale sudah menganut ajaran bidat."
William Tyndale merasa menyesal. Ia mengusulkan agar ia meninggalkan rumah keluarga Walsh. Namun Sir John dan istrinya adalah orang Kristen yang berani. Mereka sudah diyakinkan Pdt. Tyndale, bahwa iman yang sejati harus dinyatakan melalui mendalami Alkitab serta menjalani hidup secara layak sebagai orang Kristen. Maka mereka tidak mau melepaskan pelayanan William Tyndale dari keluarga mereka. Tetapi supaya mereka tidak lagi dipermalukan, mereka berhenti mengundang para pendeta senior dan para pembesar gereja ke rumah mereka.
Pdt. Tyndale merasa tindakan itu cukup bijaksana. Ia sendiri lebih senang mengkhotbahkan isi Alkitab kepada orang biasa di gereja-gereja desa, daripada memperdebatkan soal-soal agama dengan para rohaniawan. Jika diberitakan bahwa William Tyndale akan mengisi mimbar di gereja tertentu, selalu orang berbondong-bondong menghadiri kebaktian di sana. Pdt. Tyndale suka membacakan Alkitab berbahasa Latin kepada rakyat jelata, lalu menjelaskan maknanya ke dalam bahasa Inggris yang sederhana.
Namun tindakan Sir John Walsh tadi tidak menyelesaikan masalahnya, malah menjadikannya lebih sengit. Para rohaniawan yang tinggal di sekitarnya itu telah kehilangan kesempatan untuk menikmati makanan yang lezat serta penginapan yang nyaman di rumah keluarga Walsh. Tentu saja mereka mempersalahkan William Tybdale atas kerugian itu.
Perkataan Tyndale dilaporkan kepada atasan para petugas gereja di daerah itu. Segera ia menyuruh Pdt. Tyndale menghadap, dan mengundang beberapa penuduhnya untuk hadir pula. Rupanya hanya para penuduh saja yang diizinkan berbicara, sehingga Tyndale tidak sempat membela diri. Mengenai pemeriksaan di hadapan pengawasannya itu, Tyndale mencatat: "Ia mengancam segala macam, serta mencaci maki diriku seolah-olah aku ini seekor anjing saja."
Setelah dilakukan pemeriksaan yang kurang adil itu, William Tyndale memang pindah dari rumah Sir John Walsh. Ia tidak mau mencelakakan keluarga yang baik hati itu. Di samping perkataannya yang dianggap ajaran bidat, ia pun sudah memberanikan diri mulai menyusun ayat-ayat Alkitab dalam bahasa Inggris. Pembuatan terjemahan baru itu sudah jelas berarti melanggar hukum.
Satu setengah abad sebelum masa hidup William Tyndale, pernah ada orang-orang Kristen yang berani menerjemahkan seluruh Alkitab dari bahasa Latin ke dalam bahasa Inggris. Tetapi perbuatan mereka itu dikutuk, baik oleh gereja maupun oleh negara. Undang-undang Kerajaan Inggris masih melarang menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa nasional itu masih tetap berlaku.
Namun Tyndale mulai berani menyalin Firman Allah ke dalam kata-kata yang dapat dipahami oleh orang biasa. Ia bukan hanya menerjemahkan berdasarkan Alkitab berbahasa Latin saja: Sebagai seorang sarjana lulusan universitas, ia sudah pandai berbahasa Ibrani dan Yunani, yaitu bahasa-bahasa asli Alkitab. Maka ia sanggup mengerjakan terjemahan Alkitab bahasa Inggris yang jauh lebih tepat daripada yang pernah dihasilkan satu setengah abad sebelumnya itu.
Hanya ada satu orang saja yang berhak memberi izin pengecualian, sehingga terjemahan Alkitab dalam bahasa Inggris boleh diterbitkan tanpa melanggar hukum. Orang itu adalah Uskup Tunstall di London. William Tyndale memutuskan untuk pindah ke ibu kota itu, agar ia dapat menghadap sang uskup.
"Aku tidak udah digaji," kata Pdt. Tyndale sambil berusaha membujuk Uskup Tunstall. "Aku hanya minta disediakan sebuah kamar yang sepi, agar aku dapat bekerja dengan tenang sampai terjemahan baru itu selesai."
Rupanya Uskup Tunstall sudah mendengar desas-desus tentang pendeta muda ini. Namun ia tidak terang-terangan menolak permintaan Tyndale. "Sudah terlalu banyak orang yang harus diberi makan dari anggaran belanjaku," kata sang uskup dengan sangat halus. "Maaf, aku tidak sanggup menambah lagi seorang karyawan."
William Tyndale kecewa, tetapi tidak putus asa. Ia mencari sampai mendapat sebuah gereja kecil di ibu kota London yang rela menerima dia sebagai gembala sidangnya. Dengan sungguh-sungguh ia melayani jemaat itu, sehingga hanya tinggal sisa waktunya untuk meneruskan pekerjaan menerjemahkan Alkitab.
Khotbahnya yang berapi-api di gereja kecil itu menarik perhatian seorang bangsawan dan saudagar kain bernama Sir Humphrey Monmouth. Beberapa kali Sir Humprhrey melintasi seluruh kota London yang luas itu, hanya agar ia dapat mendengar khotbah Pdt. Tyndale.
"Datanglah ke rumahku," Sir Huphrey mengundang. "Tinggallah bersamaku. Aku rela meminjamkan uang kepadamu, sehingga engkau dapat meneruskan terjemahanmu dengan lebih leluasa."
William Tyndale menerima undangan yang bersifat murah hati itu. Selama enam bulan ia menginap di rumah Sir Humphrey Monmouth. Sepanjang hari, bahkan sampai larut malam ia bekerja keras, mengalihkan Kitab Perjanjian Baru ke dalam bahasa Inggris.
Makin lama Tyndale tinggal di ibu kota, maka jelaslah bahwa Alkitab bahasa Inggris itu tak mungkin diterbitkan di negeri Inggris. Tanpa seizin uskup Tunstall, semua tukang cetak merasa takut mengerjakan terjemahan baru yang terlarang itu. Tetapi di negeri Jerman dan di negeri-negeri lain di benua Eropa, ada banyak orang Kristen yang sudah menyokong gerakan pembaharuan gereja yang sudah dimulai oleh Martin Luther. Mungkin di sana ada kesempatan yang lebih luas untuk menerbitkan terjemahanku, demikianlah pikiran Tyndale.
Pada bulan Mei tahun 1524, William Tyndale meninggalkan negeri Inggris. Ia telah meminjam sejumlah uang dari Sir Humphrey Monmouth untuk menutupi ongkos perjalanannya. Lalu ia naik sebuah kapal layar dari pulau Inggris dan menyeberangi lautan ke benua Eropa. Sama sekali tidak terlintas di dalam pikirannya bahwa seumur hidup ia tidak akan sempat melihat tanah airnya lagi.
Pdt. Tyndale mendarat di pelabuhan Hamburg. Selama satu tahun ia menetap di negeri Jerman sambil menyelesaikan terjemahannya. Mungkin ia sempat bertemu serta berunding dengan Dr. Martin Luther, pendekar Reformasi Protestan itu. (Cerita penerjemah Alkitab agung tersebut dimuat dalam Jilid 2 dari seri buku ini.)
Kota Koln adalah pusat kegiatan para tukang cetak Jerman yang terkenal. Salah seorang di antara mereka itu bernama Peter Quentel. Kepada dialah William Tyndale bertanya, "Relakah engkau mencetak tiga ribu eksemplar Kitab Perjanjian Baru dalam bahasa Inggris?"
Dengan senang hati," Jawab Peter Quentel. Maka pekerjaan itu segera dimulai.
Tyndale tidak tahu bahwa pada saat yang sama itu Quentel juga sedang mencetak sebuah buku untuk Johann Dobneck, seorang pemimpin gereja yang sangat membenci Martin Luther. Bahkan Dobneck membenci setiap gerakan pembaharuan di kalangan orang Kristen.
Pada suatu hari Dobneck mendengar percakapan beberapa tukang cetak yang sedang memperbincangkan Martin Luther. "Banyak yang dapat kuceritakan, kalau aku mau," kata salah seorang tukang cetak itu dengan berbual-bual. Di sini juga sedang dikerjakan sesuatu yang akan membuat semua orang Inggris menganut gerakan Luther!"
Untuk mendapat keterangan yang lebih jitu, Dobneck mengundang para tukang cetak itu ke rumahnya. Ia pun menyuguhkan banyak air anggur, sehingga mereka mulai mabuk dan rela menceritakan rahasia itu: "Ada beberapa saudagar bangsa Inggris yang mengongkosi proyek di dalam bungkusan kain biasa. Dengan cara itu Alkitab akan dibawa dari negeri Jerman, lalu diselundupkan ke negeri Inggris untuk dijual."
Johann Dobneck bertindak dengan cepat. Ia mempengaruhi para pembesar di kota Koln untuk menghentikan proyek penerbitan rahasia itu. Ia pun menulis surat kepada raja Inggris dan Uskup Tunstall, supaya semua kapal perniagaan digeledah, kalau-kalau di dalam muatannya ada barang selundupan berupa Alkitab bahasa Inggris yang terlarang itu.
Tetapi William Tyndale juga bertindak dengan cepat. Salah seorang tukang cetak tadi, setelah siuman kembali dari mabuknya, merasa sangat menyesal karena sudah membocorkan rahasia itu. Ia memberitahukan apa yang telah terjadi. Dengan sangat tergesa-gesa Tyndale sempat pergi ke bengkel percetakan Peter Quentel. Serta merta ia mengambil dan membungkus halaman-halaman yang sudah selesai, karena 22 pasal pertama dari Kitab Injil Matius itu sudah jadi dicetak.
Dengan tiga ribu salinan dari Matius 1-22 serta naskah terjemahannya yang sangat berharga itu, William Tyndale berhasil mengungsi dari kota Koln ke kota Worms. Di sana ia mencari seorang tukang cetak baru, dan proyek penerbitan itu pun masih diteruskan. Kali ini semuanya berjalan lancar. Enam ribu Kitab Perjanjian Baru berbahasa Inggris dicetak, yakni dua kali lipat jumlah yang mula-mula dipesan itu.
Sesungguhnya penundaan proses penerbitan itu sangat menguntungkan. Selama minggu-minggu pertama sesudah usaha William Tyndale diketahui oleh musuh-musuhnya, semua kapal yang berlabuh di negeri Inggris itu digeledah. Tetapi setelah lewat beberapa bulan, keadaan waspada itu agak mereda. Maka pada musim semi tahun 1526, keenam ribu Perjanjian Baru yang disembunyikan di dalam bungkusan kain itu tiba dengan selamat, serta disebarluaskan di antara bangsa Inggris.
Bukan main murka raja Inggris dan Uskup Tunstall pada waktu mereka mengetahui hal itu! Mereka bukan hanya menyuruh menyita semua Kitab Perjanjian Baru itu, tetapi juga menahan semua pemiliknya. Sebanyak 158 keranjang besar berisi Firman Allah berbahasa Inggris itu ditumpuk di depan sebuah gereja agung di ibu kota. Lalu para tahanan tadi dipaksa membuang bara api ke atas keranjang-keranjang besar itu sampai seluruh isinya terbakar.
Anehnya, . . . tindakan kekerasan itu pun ternyata sangat menguntungkan bagi usaha William Tyndale dan kawan-kawannya. Banyak orang yang menyaksikan kebakaran besar itu mulai bertanya-tanya: "Mengapa buku-buku itu dianggap begitu jahat? Siapa yang tahu, dimana kita dapat membelinya?
Para saudagar Inggris yang mengongkosi proyek penerbitan itu sangat cerdik; mereka tahu bahwa pertanyaan spontan semacam itu merupakan iklan gratis yang paling unggul. Maka mereka memesan lebih banyak lagi Kitab Perjanjian Baru terjemahan William Tyndale. Alkitab-Alkitab itu dicetak di beberapa tempat di negeri Belanda. Ribuan eksemplar diselundupkan ke negeri Inggris dari negeri Skotlandia, dengan menyembunyikannya ke dalam karung gandum dan bungkusan rami. Sedemikian besar rasa ingin tahu khalayak ramai tentang terjemahan baru itu, sehingga ada orang-orang yang rela membayar dengan harga yang mahal, asal saja mereka dapat mempunyai sebuah Alkitab bahasa Inggris.
Sang raja dan sang uskup di ibu kota itu lebih murka lagi! Semua orang yang diketahui pernah menemani William Tyndale, segera ditahan dan diperiksa. Bahkan yang berpangkat bangsawan sekalipun tidak luput, seperti misalnya Sir Humphrey Monmouth. Ratusan orang dikucilkan dari gereja; puluhan orang dipenjarakan; dan tidak sedikit orang dibakar hidup-hidup.
Agen-agen rahasia Inggris disuruh ke negeri Jerman, dengan maskud untuk menangkap Tyndale. Tetapi ia meloloskan diri ke kota Antwerpen, di negeri Belgia. Uskup Tunstall sendiri menyeberang ke Antwerpen, namun tidak berhasil menemukan orang yang dilacaknya itu.
Sambil merantau, sang uskup sempat bertemu dengan seorang saudagar Inggris bernama Augustine Packington.
"Tuanku," kata saudagar itu, "jikalau Tuanku menghendaki, dan rela membayar, aku dapat mengumpulkan buku yang terlarang itu sebanyak-banyaknya.
"Baiklah!" kata Uskup Tunstall. "Dengan hati yang bulat aku akan membayar seluruh ongkosmu, karena buku itu sangat jahat, dan aku bertekad akan memusnahkan semuanya."
Tidak lama kemudian, Augustine Packington pergi ke suatu tempat persembunyian di kota Antwerpen. "William," katanya kepada Pdt. Tyndale, "aku telah mendapatkan seorang langganan yang mau membeli banyak sekali Kitab Perjanjian Barumu."
"Siapa dia?" tanya William Tyndale.
"Sang uskup dari London," jawab Packington.
"Ah! Dia hanya mau membakarnya saja!" cetus Tyndale.
"Ya, betul," temannya itu mengiakan.
Lalu William Tyndale mulai berpikir: Kalau Uskup Tunstall rela membayar sisa cetakan ini, dengan hasil uang itu aku dapat mencetak edisi baru yang sudah diperbaiki. Apa lagi, seluruh dunia akan memprotes pembakaran Firman Allah, sehingga akan muncul lagi iklan gratis!
Tidak lama kemudian, Augustine Packington memenuhi janjinya. Ia datang ke rumah besar di ibu kota tempat tinggal Uskup Tunstall, dengan menuntun seekor bagal. Binatang itu sarat dengan Kitab-Kitab Perjanjian Baru hasil terjemahan Tyndale. Sang uskup membayar harganya. Lalu uang itu dibawa ke seberang, demi melancarkan usaha penyediaan Alkitab bahasa Inggris dalam edisi yang baru.
Sementara itu Pdt. Tyndale bukan hanya menyempurnakan terjemahan Kitab Perjanjian Baru saja; ia pun mulai mengusahakan terjemahan Kitab Perjanjian Lama. Kejadian, Keluaran, Imamat, Bilangan, Ulangan . . . kitab demi kitab dialihkan dari bahasa Ibrani ke dalam bahasa Inggris. Dan ia bukan hanya menerjemahkan Alkitab saja: Ia pun berusaha menyampaikan maknanya kepada orang-orang lain.
Pada suatu hari di kota Antwerpen ia mengumpulkan beberapa saudagar Inggris yang rela menolong dia menyelundupkan Alkitab ke tanah air mereka. Salah seorang yang sempat mendengarkan Tyndale membacakan terjemahannya pada hari itu, kemudian bercerita sebagai berikut:
"Kata-katanya begitu halus terdengar, begitu sedap dan manis, sehingga mirip dengan kata-kata Rasul Yohanes sendiri. Kami merasa terhibur, bahkan bergembira, pada saat kami sempat mendengar dia membacakan Firman Allah dalam bahasa kami sendiri."
Tetapi pada suatu hari yang lain di kota Antwerpen, ada seorang kawan yang mengajak William Tyndale meninggalkan rumah tempat pengungsiannya dan pergi berjalan-jalan. Tyndale rela saja pergi . . . karena ia tidak tahu bahwa orang itu sesungguhnya bukan kawan melainkan lawan. Orang itu memimpin Pdt. Tyndale langsung ke arah suatu pasukan tentara, yang dengan segera menyeret dia ke penjara negara di Benteng Vilvoorde.
Proses pengendalian William Tyndale berlangsung selama hampir satu setengah tahun. Sementara itu ia tidak tinggal diam. Mula-mula ia tidak diizinkan membawa apa-apa ke dalam selnya. Tetapi dengan setia ia bersaksi kepada kepala penjara, sehingga orang itu maupun seluruh keluarganya menjadi percaya kepada Tuhan Yesus. Lalu dengan bantuan teman-temannya yang baru itu, Pdt. Tyndale mendapat kembali buku-buku miliknya yang sangat berharga: Alkitab bahasa Ibrani, pedoman tata bahasa Ibrani, dan kamus bahasa Ibrani. Ia pun mendapat persediaan kertas dan pena, juga lilin agar dalam kegelapan malam ia dapat bekerja terus.
Selama proses pengadilan yang berkepanjangan itu, William Tyndale berhasil menerjemahkan Perjanjian Lama sampai dengan Kitab 2 Tawarikh. Lalu pada suatu hari dalam musim rontok ia dituntun ke luar dari selnya. Pada tanggal 6 Oktober tahun 1536, di depan orang banyak, lehernya dicekik dengan rantai sampai ia melepaskan nyawanya. Lalu mayatnya dibakar.
Beberapa saat sebelum ia meninggal, William Tyndale sempat mencetuskan suatu doa penghabisan:
"Ya Tuhan, celikkanlah mata raja negeri Inggris!"
Anehnya, . . . pada tahun itu juga sang raja memberi izin supaya sebuah versi Alkitab dalam bahasa Inggris boleh diterbitkan.
Dan bukan hanya itu saja: Dari tahun 1536 hingga kini, Alkitab bahasa Inggris berkali-kali diterjemahkan kembali dan berkali-kali diterbitkan kembali. Juga dari tahun 1536 hingga kini, tiap-tiap versi Alkitab dalam bahasa Internasional itu sangat dipengaruhi oleh terjemahan yang mula-mula dikerjakan William Tyndale, seorang sarjana yang rela mengorbankan nyawanya sebagai harga Alkitab bahasa Inggris.
Bibliografi | |
Artikel ini diambil dari:. |