Dari Sejarah Alkitab Indonesia
Mengapa Alkitab tidak dipertahankan dalam bahasa aslinya saja untuk mengurangi kesalahan penerjemahan? Seringkali ada penerjemahan yang kurang tepat sehingga harus melihat dulu dari bahasa aslinya baru tahu yang dimaksud itu seperti apa. Yang jadi masalah adalah banyak keyakinan yang timbul, yang terkadang menimbulkan kontroversi, padahal ayat tersebut diambil dari ayat berbahasa Indonesia yang artinya kurang begitu tepat kalau dilihat dari bahasa aslinya. Bagaimana bila kasus seperti ini terjadi pada teman-teman seiman yang tidak memiliki pengetahuan tentang bahasa asli alkitab ?
Sebenarnya penerjemahan Alkitab direstui bahkan didorong oleh Tuhan, Nabi, Imam, Yesus dan para Rasul, karena merupakan tradisi firman Tuhan sendiri. Perlu diketahui bahwa bahasa lbrani berkembang, baik kata-kata, gramatika, maupun kegunaannya, ada kalanya menjadi bahasa `mati' (tidak digunakan dalam percakapan) dan kemudian digunakan sebagai bahasa `hidup' (percakapan). Ketika Perjanjian Lama dalam bahasa lbrani sudah tidak dimengerti umat, Ezra menerjemahkannya ke dalam bahasa Aram (Targum, Neh.8:2-9), kemudian Imam Besar Eliezer merestui dan mengirimkan penerjemah untuk menerjemahkan naskah lbrani PL ke dalam bahasa Yunani (LXX). Ketika hari Pentakosta, Roh Kudus sendiri menerjemahkan firman Tuhan ke banyak bahasa (Kis.2:4), dan PB ditulis dalam bahasa Yunani dan bukan lbrani. Firman Tuhan adalah hidup dan tidak dibatasi bahasa manusia. Bila kita ingin menghindari penerjemahan dan kembali ke bahasa Alkitab, resikonya sama yaitu orang yang mempelajari bahasa asli Alkitab belum tentu mengertinya sama, karena itu lebih baik, sekalipun tidak sempurna, penerjemahan dilakukan oleh kumpulan spesialis yang ahli teologi dan bahasa agar ada keseragaman, dan mempelajari bahasa asli dapat merupakan penambahan pengertian yang saling melengkapi. Terjemahan Alkitab selalu terbuka akan perbaikan untuk lebih memperjelas artinya dan disesuaikan dengan perkembangan bahasa terjemahannya. Kita jangan menjadikan firman Tuhan sebagai mati dalam keterbatasanAlkitab, namun dalam keterbatasannya itu kita menganggapnya cukup untuk membawa kita kepada iman akan Yesus yang adalah Messias dan agar kita hidup dalam Nama-Nya (Yoh. 20:30-31).
Diluar 66 kitab, ada kitab-kitab lain yang tidak dimasukkan dalam kanonisasi. Bagaimana proses kanonisasi tersebut dilakukan ? Apa standar yang digunakan, sehingga bisa memilah ini kitab yang benar, itu kitab yang salah? Apakah kanonisasi yang sekarang masih terbuka terhadap masuknya kitab yang baru ? Misalnya nanti ada temuan arkeologis salah satu kitab masa para rasul, lalu apakah akhirnya kitab tersebut boleh kita tambahkan pada kanon sekarang? Mengapa kita yang protestan tidak menerima kitab-kitab yang termasuk dalam Deuterokanonika dalam Alkitabnya teman-teman kita yang Katolik ?
KANON ALKITAB adalah hasil proses sejarah yang disahkan melalui konsensus para bapa gereja. Dalam hal PL, para Imam Yahudi dan keluarga Masoretlah yang menyusun konsensus kanon lbrani di Jamna (ca-90). Kanon Alkitab tidak dihasilkan oleh pertemuan pemimpin agama tetapi merupakan proses sejarah yang kelihatannya dipimpin Roh Kudus dan baru persidangan pemimpin agama mensahkannya. Demikian juga halnya dengan proses sejarah kanon PB sampai disahkan dalam konsensus para Bapa Gereja. Kanon sudah tertutup dan tidak perlu ditambah lagi, dan bukan kebetulan kalau ucapan rasul Yohanes pada Why. 22:18-21 dijadikan 'Penutup' bukan saja kitab Wahyu tetapi seluruh Alkitab. Umat Kristen tidak menerima deuteronomika Roma Katolik, karena kitab-kitab itu tidak diterima dalam kanon Yahudi dan Yesus juga tidak menggunakannya sekalipun Yesus menggunakan kitab Septuaginta (LXX) yang digunakan di Sinagoge dan oleh umat Kristen pada abad pertama.
Ada beberapa pendapat yang dijadikan doktrin, yang menyatakan Alkitab tidak bisa salah termasuk dalam setiap katanya. Bagaimana menyikapinya ?
Memang dalam sejarah gereja ada pandangan yang disebut sebagai Inerrancy (ketidak bersalahan) Alkitab, ada yang mengatakan tidak bersalah dalam semua hal baik hal iman maupun pengetahuan, ada yang mengatakan tidak bersalah dalam hal-hal iman sekalipun bisa bersalah dalam hal-hal non-iman, bahkan ada yang mengatakan ketidak bersalahan itu pada setiap kata-katanya, dan ada yang menambahkan setidak-tidaknya dalam bahasa aslinya. Bila kita menghayati hakekat Alkitab sebagai firman Allah (yang tidak terbatas) yang diilhamkan kepada manusia (yang terbatas), maka kita tidak perlu mengikat firman Allah yang kekal dengan Alkitab yang terbatas, namun kita juga jangan lari kepada ekstrim lain seakan-akan firman Allah bisa juga dijumpai di luar Alkitab. Alkitab sudah cukup namun harus disadari keterbatasannya sebagai karya sastra manusiawi yang ingin mengungkapkan kebenaran Allah yang tidak terbatas itu, itulah sebabnya kita perlu mempejari teologi agar makin mengerti akan kebenaran Allah yang tidak terbatas di balik keterbatasan manusia itu. Membatasi firman Allah sebagai 'tidak bersalah setiap kata- katanya baik dalam hal iman maupun pengetahuan' merupakan tindakan gegabah karena kekurang pengertian akan hakekat ilham ilahi. Demikian juga doktrin yang menyebutkan seakan-akan 'Alkitab benar setiap kata-katanya dalam bahasa aslinya' itu sama halnya dengan mengakui bahwa terjemahan itu ada salahnya, padahal selama ini gereja dan umat Kristen bertumbuh diatas dasar Alkitab terjemahan!
Artikel ini diambil dari: |