Sejarah Alkitab Indonesia

Jesus, Pewaris Tradisi Deuteronomis

Bagikan ke Facebook

Dari Sejarah Alkitab Indonesia

Langsung ke: navigasi, cari
Taurat, Persaingan Dua Komunitas Imam

Kontinuitas tradisi Musaiyah dan Haruni telah terbukti dari adanya benang merah yang terdapat dalam manuskrip E dan D, J dan P. Konsep-konsep Musaiyah dalam tradisi E, mengalir dalam tradisi deuteronomis, hingga kitab-kitab para Nabi Besar, antara lain Jeremia, seperti ternyata dari pembandingan keduanya. Di banyak bagian Kitab Jeremiah menggunakan gaya bahasa dan ungkapan yang sama dengan Kitab Ulangan.

Lima contoh dari banyak persamaan terlihat di bawah ini :

  1. Jer 4:4
    Ul 10:16
  • Sunatlah dirimu bagi TUHAN, dan jauhkanlah kulit khatan hatimu, . .
    . . sunatlah hatimu dan . . . .
  1. Jer 8:2
    Ul 4:19
  • di depan matahari, di depan bulan dan di depan segenap tentara langit.
    melihat matahari, bulan dan bintang, segenap tentara langit, (juga Jer 19:13 dan Ul 17:3)
  1. Jer 11:4
    Ul 4:20
  • . . . Kubawa keluar dari tanah Mesir, dari dapur peleburan besi,
    . . . .membawa kamu keluar dari dapur peleburan besi, dari Mesir, .
  1. Jer 17:24
    Ul 28:1
  • Apabila kamu sungguh-sungguh mendengarkan Aku, . . . .
    "Jika engkau baik-baik mendengarkan suara TUHAN, Allahmu, . . .
  1. Jer 32:41
    Ul 4:29
  • . . . dengan segenap hati-Ku dan dengan segenap jiwa-Ku.
    .. . . . dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu. (juga Ul 10:12; 11:13; 13:4)

Kontinuitas itu bahkan terus berlanjut seperti estafet, dari generasi ke generasi, paska-Babelonia. Hingga ke masa Jesus, masa Perjanjian Baru !

Komunitas Musaiyah atau Kaum Deuteronomis sejak awal masa monarki (paska-Samuel) tidak menghendaki kekuasaan raja yang terlalu besar. Mereka menghendaki pemisahan kekuasaan politik (di tangan raja) dari kekuasaan agama (di tangan para imam Lewi). Bentuk monarki yang paling mereka tentang pastilah teokrasi, yang menggabungkan kekuasaan agama dengan politik di satu tangan. Dengan konsep seperti itu, komunitas Musaiyah pasti akan tersingkir ketika muncul seorang raja yang kuat dan mandiri. Misalnya dalam kasus Salomo, yang memiliki prajurit profesional non-Israel. Atau dalam kasus Jerobeam yang menjalankan sistem quasi-teokratis, karena imam kerajaan yang non-Lewi, bersedia menjalankan peran bagai boneka di Bethel.

Marginalisasi semacam itu muncul lagi di masa intertestamental. Ketika seorang raja Dinasti Hasmonean memilih menjalankan sistem monarki-teokratis. Di Baitallah, Jerusalem, terkonsentrasi sejumlah imam dari komunitas Saduki, para "imam bangsawan" yang berasal dari keturunan Zadok. Mereka bersedia berkolabarasi dengan istana. Maka roda sejarah kembali berulang. Sekelompok imam menyingkir jauh dari Baitallah. Selama berabad-abad mereka melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan komunitas Musaiyah, dari masa Salomo hingga Josia. Di tempat terasing mereka memelihara tradisi, menjaga kitab suci, mengembangkan konsep keagamaan tersendiri, sambil bersiap mengambilalih jika kesempatan tiba.

Pada komunitas dalam pengasingan ini tumbuh antara lain komunitas Therapeutae yang berpusat di dekat Alexandria, Mesir. Sayang, hingga kini tidak ditemukan kitab tradisi Therapeutae. Satu-satunya teks yang mencatat langsung keberadaan mereka ditulis oleh Philo Alexandria, yang hidup sejaman dengan Jesus. Philo pernah tinggal bersama komunitas Therapeutae dan menjalani kehidupan komunal mereka. Sekalipun belum terdapat bukti langsung, ada dugaan cukup kuat bahwa komunitas ini terkait dengan pertumbuhan komunitas Gnostik. Tempat penemuan Kepustakaan Gnostik di Nag Hammadi, berada di dekat lokasi komunitas Therapeutae. Beberapa praktek Gnostik juga mirip dengan Therapeutae. Selain itu, dari Josefus, sejarawan Jahudi, diketahui keberadaan komunitas Esseni di Judea. Salah satu sub-sektenya terpusat di Qumran, di dekat tempat penemuan Gulungan Laut Mati (pertengahan 1940-an). Hubungan komunitas Esseni di Judea dengan komunitas Therapeutae di Mesir, tampak nyata dari ditemukannya keramik penyimpan naskah di Qumran yang berasal dari kawasan komunitas Therapeutae.

Dari Gulungan Laut Mati yang terkenal itu ditemukan hampir seluruh manuskrip kitab Taurat, Nebiim, dan Ketubim. Juga manuskrip lain yang menggambarkan disiplin kehidupan sekte, dan pandangan-pandangan mereka terhadap peran sentral para imam di Baitallah Jerusalem. Johanes Pembaptis dengan satu cara atau lainnya menunjukkan kesamaan pandangan ini. Pembaptisan massal yang dilakukannya jelas merupakan sikap opposan terhadap dominasi para imam dalam hal purifikasi. Injil juga mencatat sentimen negatif Jesus terhadap para Saduki, dan minimal ketawarannya terhadap para imam di Baitallah Jerusalem. Ia bukan saja digambarkan sering berdebat dengan para Saduki, namun bahkan dikisahkan mengobrak-abrik halaman Baitallah yang dijadikan tempat transaksi perdagangan hewan korban. Rupanya Jesus tidak tahan melihat kolusi para imam Baitallah dengan para pedagang, yang tidak saja berujung pada korupsi nilai ritual keagamaan, namun juga pembebanan terhadap ekonomi rakyat kebanyakan.

Tak hanya itu, hampir seluruh ucapan Jesus yang mengutip kitab yang berada di kumpulan Taurat dan Nebiim, ternyata bersumber dari teks bertradisi Deuteronomis. Seluruh isi Kitab Ulangan, yang paling sering dikutip Jesus, hampir dapat dikatakan sebagai karya utuh dari tradisi Deuteronomis. Demikian pula kutipan dari Kitab Jesaya, yang sebagian berasal dari tradisi Deuteronomis. Hal ini memang masih memerlukan penyelidikan lebih lanjut. Jika hal ini benar, maka dapat disimpulkan bahwa Jesus atau paling tidak penulis Injil bukan saja sangat familiar, tetapi *hanya* mengunakan manuskrip dari tradisi Deuteronomis. Lebih lanjut, hal ini berarti bahwa ada komunitas yang tetap menjaga kelestarian tradisi Deuteronomis, sekalipun Ezra sudah melakukan reunifikasi, dalam waktu beberapa dasawarsa setelah bangsa Israel kembali dari pembuangan di Babelonia. Tetapi ada satu hal yang sudah jelas, yaitu bahwa pada masa Jesus Taurat dan Nebiim bukan dalam bentuk seperti yang kita miliki saat ini. Pada masa itu, kitab-kitab berbentuk gulungan perkamen (dari kulit binatang) atau papirus (dari sejenis rumput yang banyak tumbuh di sungai Nil, Mesir). Masing-masing kitab bisa terdiri dari satu gulungan tersendiri. Ketika Jesus membaca "Kitab" Jesaya atau "Kitab" Ulangan, pasti ia harus mengambil dan membuka satu gulungan "Jesaya" atau satu gulungan lain "Ulangan", bergantian. Kanonisasi Taurat dan Nebiim di masa Ezra tidak berarti menggabungkan lima kitab menjadi satu kumpulan kitab Taurat, dan delapan kitab lain menjadi satu kumpulan kitab Nebiim. Kanonisasi Ezra hanya berarti membakukan isi 13 kitab menjadi dua kumpulan kitab, sebagaimana telah disunting, ditulis-ulang, dibawa dan dibacakannya di Jerusalem.

Sekali lagi, jika ini benar, maka Jesus terkait dengan komunitas yang termarginalisasi dari Baitallah. Paling tidak pandangan dan ajarannya menunjukkan keparalelan dengan komunitas marginal semacam Therapeutae di Mesir dan Esseni di Judea. Dalam hal keterpinggiran, Jesus bahkan paralel dengan berbagai komunitas Israel lain yang bernasib sama di masa pendudukan Romawi. Misalnya komunitas Galilean, Nazaren, bahkan Zealot. Dari perspektif demikian, ada benang merah antara kitab-kitab Perjanjian Lama dengan Injil dalam Perjanjian Baru. Keduanya merefleksikan "persaingan" konsep dan kepentingan komunitas imam.

Bersambung ke MT9 - Hikmah Taurat, Epilog

Bandung, Maret 2002
Heri Muliono


Bibliografi
Artikel ini diambil dari:
Milis i-kan-untuk-CyberGki, 27 Maret 2002. Oleh Heri Muliono http://www.gki.or.id
kembali ke atas