Sejarah Alkitab Indonesia

Musa dan YAHWE

Bagikan ke Facebook

Dari Sejarah Alkitab Indonesia

Langsung ke: navigasi, cari
Buku Hijau
Sejarah Alkitab di Indonesia
Sejarah Alkitab Daerah Indonesia
Sejarah Alkitab di Luar Indonesia
Biblika
Doktrin Alkitab
Pengantar dan Garis Besar Kitab
Studi Kata Alkitab



Musa

Musa adalah tokoh yang tidak dapat dilepaskan dari pengungsian Israil dari Mesir dan dari pembentukan bangsa itu digurun. Kitab Suci membicarakan tokoh itu terutama dalam kitab Pengungsian, Levitika, Cacah Jiwa dan Ulangtutur. Selanjutnya sungguhpun namanya tidak amat sering disebut lagi, namun tokoh itu se-olah-olah selalu dilatarbelakang dan hadir di-mana-mana. Sampai dalam Perjanjian Baru Musa nyatalah tokoh yang amat penting. Demikian pentingnya sehingga Perjanjian Baru mensejajarkan (kadang-kadang mempertentangkan) Musa dan Yesus. Yesus se-olah-olah Musa yang baru.

Pengetahuan tentang diri Musa dan riwayat hidupnya seluruhnya harus diambil dari Kitab Suci. Berita-berita lain tentang dia tidak ada. Berita-berita Kitab Suci berasal dari pelbagai tradisi dan mempunyai cirinya sendiri, yakni berupa cerita rakyat dan renungan keagamaan. Maka itu tak mungkin riwayat hidup Musa direkonstruir menurut kebenaran sejarah. Tokoh yang besar itu menarik kepada dirinya pelbagai dongeng yang juga diketemukan dalam dokumen-dokumen dari jaman dahulu sehubungan dengan tokoh-tokoh besar lainnya. Tentang beberapa tokoh sedemikian itu misalnya diceritakan, bahwa mereka waktu masih kecil terancam hidupnya oleh musuhnya tapi secara ajaib diselamatkan (Musa dalam keranjang disungai Nil; cerita yang hampir sama dikisahkan tentang raja Assyriah Sargon). Lalu mereka mendapat kedudukan tinggi, masuk istana raja, kawin dengan puteri raja dsb. (Musa dipungut oleh puteri Fare'o dan mendapat pendidikan diistana raja Mesir). Namun demikian tidak dapat dipungkiri, bahwa Musa sungguh seorang tokoh kesejarahan yang teramat penting untuk bangsa dan agama Israil.

Nama Musa (Hibraninya: Mosyeh) sesungguhnya nama Mesir dan bukan nama Hibrani. Hal itu kiranya membuktikan bahwa Musa sungguh berasal dari Mesir. Kitab Suci (Peng 2:10) memberikan keterangannya sendiri tentang nama itu (yang ditarik dari air), tetapi keterangan itu bercorak populer. Mula-mula nama Musa kiranya terdiri atas dua bagian, yakni: nama seorang dewa dengan akhiran "moses". Arti akhiran itu tidak diketahui. Boleh dibandingkan nama beberapa Fare'o Mesir, misalnya: Tut-Moses (Tut=dewa Tut) atau Ra-meses (Ra=dewa Ra). Kemudian nama dewa dibuang dari nama Musa, sehingga tersisa hanya "Mosyeh".

Menurut pendapat yang lebih umum diterima maka Musa hidup dijaman Fare'o Ramses II (bdk Peng 1:11) yang memerintah Mesir th 1303-1242 seb. Mas. Kalau demikian pengungsian Israil dibawah pimpinan Musa juga terjadi dijaman itu. Meskipun berita Kitab Suci bahwa Musa dididik dalam istana Fare'o (Peng 2:10) berupa dongeng, namun kiranya benar jugalah ia sungguh mahir dalam kebudayaan Mesir yang bermutu tinggi dijaman itu. Kiranya benar pulalah, bahwa Musa (dia sendiri atau marganya) mempunyai hubungan dengan suku badui Midian (Peng 2:15-22) dan ia mungkin terpengaruh oleh agama suku itu (Isterinya puteri seorang iman suku itu!). Sudah pasti juga bahwa Musa memainkan peranan penting dalam pengungsian (beberapa) suku-suku Semit dari Mesir. Kemudian ia mengorganisir suku-suku itu atas dasar agama bersama dan ibadah serta hukum yang sama juga. Sudah barang tentu organisasi itu masih amat primitif dan tidak sesempurna yang diberitahukan Kitab Suci. Namun demikian Musalah yang meletakkan dasar kesatuan bangsa dan agama yang selanjutnya berkembang.

Agama yang diberikan Musa kepada suku-suku itu kiranya berupa menoteisme dan tidak lagi berupa mono-latria seperti agama para leluhur. Sudah barang tentu monoteisme tsb. bukan monoteisme filsafat, melainkan suatu monoteisme praktis. Bagi Musa tidak ada Allah kecuali Allahnya sendiri tanpa memikirkan nasib dewata atau mengambil segala konsekwensi dari pendiriannya itu. Boleh dicatat juga bahwa agama di Mesir sudah berkembang menuju suatu monoteisme dijaman Fare'o Akhn-aton (=Amenofis IV sekitar th 1370 seb. Mas.). Tetapi Musa menyamakan Allahnya dengan Allah leluhur Israil.

Kitab suci memperkenalkan Musa terutama sebagai nabi dan pembuat hukum. Musa adalah jurubicara Yahwe; dengan perantaraannya Allah memberitahukan kehendakNya kepada Israil. Musa bukan pertama-tama pahlawan nasional melainkan pendiri agama. Selaku nabi Musa juga mengartikan segala hal-ihwal yang mendatangi Israil di Mesir dan digurun sebagai turun tangan Allah baik untuk menyelamatkan maupun untuk menghukum. Oleh karena Musa juga memberitahukan kehendak Tuhan, maka ia menjadi pembuat hukum pula. Memang Kitab Suci mempertalikan semua hukum dengan diri Musa, meskipun kebanyakan sesungguhnya hasil keadaan sosial dan perkembangan sejarah. Namun demikian Musalah sebagai yang pertama meletakkan dasar tatahukum Israil. Mungkin sekali dekalog (10 perintah) dalam bentuk primitifnya dibuat oleh Musa sebagai undang bersama bagi semua suku yang dapat dipersatukannya.

Musapun kiranya yang pertama menganggap hubungan Israil dengan Allahnya sebagai suatu "perjanjian". Suku-suku yang dipimpin Musa masuk persekutuan yang berdasarkan agama dan Allah bersama. Perjanjian ini diartikan oleh Musa sebagai suatu perjanjian dengan Allah, yang sesungguhnya menjadi dasar perjanjian tsb. Gagasan "perjanjian" itu kiranya diambil Musa dari dunia politik dijamannya. Hubungan Israil dengan Allah dianggap mirip dengan hubungan seorang maharaja dengan raja-raja taklukannya yang tunduk kepadanya dengan rela maupun terpaksa. Allah adalah raja semua suku itu dan mereka dengan rela menerima perjanjian yang ditawarkan kepadanya oleh Allah. Maka merekapun menaklukkan diri kepada Yahwe dan dilindungi olehNya. Demikian persekutuan suku-suku diartikan oleh Musa.

Yahwe

Yahwe adalah nama diri Allah Israil. Nama itu (yhwh) juga terdapat dalam Kitab Suci singkatannya, yaitu: Yah, Yaho (Yahu), Yo (Yu). Singkatan tsb. tidak atau jarang dipakai tersendiri, melainkan biasanya sebagai bagian nama diri orang. Misalnya: Yeho-syua', Yo-yakim, Yeho-sya-fat, Yerem-yahu, Yesya-yah (u), dsb. "Yehova" yang kadang-kadang dipakai orang sudah barang tentu salah. Ucapan itu berasal dari adat-kebiasaan orang Yahudi dijaman belakangan. waktu nama Yahwe tidak boleh disebut lagi karena kudus. Mereka membubuhkan huruf hidup dari sebutan "A (E) donay" (=Tuhan) pada huruf mati nama Yahwe. Jadi yhwh diberi huruf hidup e, o, a. Demikian lahirlah "Yehova" (atau Yehowa).

Para ahli belum sependapat tentang makna nama Yahwe. Kiranya harus dihubungkan dengan kata (kerja) Hibrani yang berarti: ada. Lalu "Yahwe" dapat diartikan sebagai "Yang Ada" (demikian terjemahan Yunani Septuaginta). Kalau demikian maka nama itu menunjukkan hakikat, zat Allah: yang ada karena diriNya sendiri. Tapi boleh juga diartikan sebagai: "Yang membuat ada", dengan perkataan lain: Yang mengadakan, menciptakan. Jadi Allah dipandang sebagai Pencipta, baik alam semesta maupun khususnya Israil. Akhirnya nama Yahwe boleh diartikan sbb: "Yang ada hadir", yaitu untuk melindungi, membela dan memberkati. Allah lalu dipandang khususnya sebagai yang berbuat sesuatu bagi Israil, manusia, sebagai Penolong dan Penyelamat. Kiranya keterangan terakhir inilah yang paling baik. Keterangan itupun lebih sesuai dengan Peng. 3:13-15. Teks ini kiranya tidak bermaksud mengatakan bahwa Allah enggan memberitahukan namaNya kepada Musa.

Tentang asal nama Yahwe itu para ahli juga masih berselisih paham. Menurut Kitab Suci (Peng 3:13-15) nama itu diwahyukan kepada Musa dan sebelumnya belum diberitahukan (Peng 6:2-3). Namun demikian dikatakan juga (Kej 4:26) bahwa Allah dengan nama Yahwe sudah dipuja sebelum air-bah. Sebelum wahyu kepada Musa sudah ada nama orang yang memuat nama Yahwe. Ibu Musa sendiri ({{ayat|Peng 6:20 bernama: Yo-kabed. Dokumen-dokumen dari dahulukala juga memberitahukan, bahwa pada bangsa-bangsa disekeliling Israil ada dewa yang bernama Yo atau Yau, yang sama saja dengan Yahwe. Tetapi bagaimanapun jua duduk perkaranya, Musa membuat nama itu menjadi nama Allah Israil yang khas dan memberinya arti dan isi yang baru. Halnya cukup serupa dengan nama "Allah" dalam bahasa Arab. Sebelum Muhammad tampil orang-orang Arab memang sudah memuja dewa "Allah", yang dianggap dewa tertinggi didunia kedewataan. Tetapi Muhammad membuatnya menjadi nama Allah Islam yang khas, bukan dewa tertinggi melainkan Allah yang Mahaesa.

Nama Yahwe dalam Kitab Suci selalu menunjuk kepada hubungan khas yang ada antara Allah dan Israil. Allah yang memilih Israil menjadi umatNya serta melindungi dan memimpinnya (atau menghukumnya) disebut Yahwe. Karena itupun tak pernah nama itu dipergunakan oleh kaum kafir yang berbicara tentang Allah Israil. Demikianpun tidak disebut Yahwe, apabila orang Israil berbicara tentang Allah dalam hubungannya dengan bangsa-bangsa lain.


Catatan: dialihaksarakan ke ejaan baru oleh SABDA
Artikel ini diambil dari:
Judul belum diketahui, tapi kami menyebutnya sebagai buku hijau.
kembali ke atas