Sejarah Alkitab Indonesia

Gereja-gereja di Jawa

Bagikan ke Facebook

Dari Sejarah Alkitab Indonesia

Langsung ke: navigasi, cari
Sejarah Gereja di Indonesia
Sejarah Alkitab Daerah di Indonesia



Pemandangan umum mengenai usaha penginjilan di pulau Jawa

Sejarah Gereja di Jawa barulah dimulai pada abad ke-19. Memang sebelum itu yakni di zaman VOC sudah terdapat beberapa jemaat di pantai-pantai, misalnya Jakarta (1619), Semarang (1753) dan Surabaya (1785). Selanjutnya terdapat lagi beberapa kumpulan seperti di Cirebon dan Banten yang menerima pemeliharaan gerejani dari jemaat-jemaat tadi. Tetapi kumpulan-kumpulan ini semata-mata terdiri dari golongan Eropa. Pemeliharaan gerejani bagi "jemaat-jemaat berbahasa Melayu" hanyalah terdapat di Jakarta, Semarang dan Surabaya. Di samping itu patut disebut pula dua "anak jemaat" dari Jakarta yaitu Depok dan Tugu. Harus diakui bahwa Gereja di zaman VOC tidak berusaha sedikitpun untuk membawa Injil kepada rakyat Jawa. Adanya Gereja di Jawa hampir 200 tahun lamanya tidak mengakibatkan pengaruh apapun bagi penginjilan pulau Jawa (1619 hingga 1815 yakni saat pengambilan alih kekuasaan oleh Kerajaan Belanda). Kita bertanya, mengapakah Gereja sepanyang masa yang lama itu bersikap begitu acuh tak acuh? Memang, ia merupakan Gereja suatu badan perdagangan yaitu VOC, dan kita telah melihat bahwa ia banyak sedikitnya menaklukkan dirinya ke bawah paksaan pemerintah VOC ini. Tetapi berdasarkan oktroinya maka pemerintah VOC berkewayiban untuk memberitakan Firman Allah. Ia harus memberikan kepada Gereja segala keperluan supaya Gereja dapat menunaikan panggilannya. Tetapi berdasarkan pertimbangan-pertimbangan politik dan ekonomi hal itu tidak dilakukannya, sungguhpun pulau Jawa terbuka lebar bagi VOC. Dengan kekerasan senjata ia bertindak terhadap kekacauan dinasti di beberapa kesultanan, bahkan ia menetapkan perbatasan masing-masing kesultanan itu. Ia menuntut pajak dari rakyat dengan perantaraan para bupati, wilayah kekuasaannya tidak saja terbatas di pantai-pantai dan pengaruhnya meluas sampai ke mana-mana. Ia memiliki cukup kekuasaan dan kewibawaan untuk menolong Gereja dalam menunaikan panggilan pekabaran Injilnya. Tetapi sedikitpun ia tak menaruh perhatian, bahkan hal itu dianggapnya berbahaya. Dan Gereja di masa lalu itu sama sekali belum atau tidak mengenal tugas kerasulannya. Tidak pernah kita mendengar bahwa ia menyadari sedikitpun akan panggilannya, apalagi untuk mencari pelbagai jalan dan cara bagaimana hendak melaksanakannya. Barulah pada masa apa yang disebut "pemerintahan sementara" Inggris (1811-1815) dilakukankan usaha-usaha pekabaran Injil yang pertama di Jawa. Ini terjadi atas inisiatif Gubernur Raffles sendiri, dan tenaga-tenaga yang diutus bukannya berasal dari Gereja melainkan dari perhimpunan-perhimpunan Pekabaran Injil Inggris.

Tetapi juga setelah pemerintah Belanda berkuasa kembali (1815) tidaklah berubah sikap yang lama terhadap soal pekabaran Injil di Jawa. Malah penyebaran Injil dirintangi oleh pemerintah berpuluh-puluh tahun lamanya. Sebenarnya pada waktu itu pemerintah lebih menyerupai suatu badan perdagangan. Hal ini terutama ternyata dari pembentukan apa yang disebut "kultuurstelsel". Agar supaya ushaa-usaha tersebut memberikan hasil yang menguntungkan secara ekonomi, maka pemerintah berpendapat bahwa harus disingkirkan segala pengaruh yang dapat mengganggu "keamanan dan ketertiban umum". Terutama pemerintah takut akan adanya suatu gerakan pekabaran Injil, sehingga dunia Islam di Jawa akan tergoncang karenanya. Dan justru oleh sebab dalam perang-perang Jawa (1825-1830) melawan Diponegoro sudah harus dikorbankan demikian banyak jiwa dan wang, maka pemerintahpun menjadi kuatir terhadap setiap gangguan yang mungkin timbul. Dengan demikian tertutuplah pulau Jawa bagi Pekabaran Injil hingga 1850.

Tidak usah diherankan bahwa "Gereja gubernemen" yaitu Gereja Protestan, sama sekali merasa tak perlu untuk mengadakan perubahan dalam keadaan yang serba pincang itu. Sikapnya lamban dan ia senang sudah jika dapat memelihara jemaat-jemaatnya sendiri. Kita sudah maklum bahwa hanya itulah tujuannya. Memang, jumlah jemaat-jemaatnya makin bertambah di Jawa berhubung dengan masuknya orang-orang Kristen Belanda dari luar Jawa. Di karesidenan-karesidenan bertempatlah pendeta-pendeta yang memelihara jemaat-jemaat dan kelompok-kelompok Kristen yang terdapat di perkebunan-perkebunan yang terpencil. Gedung-gedung gerejapun didirikan menjadi tempat kebaktian. Tetapi orang-orang kristen Indonesia bolehlah dikatakan hampir tidak memperoleh pemeliharaan rohani sedikitpun. Belumlah terdapat pendeta-pendeta Indonesia, sedangkan pendeta-pendeta Belanda yang dapat berbahasa Indonesia secukupnya sedikit sekali. Tidaklah ada harapan, bahwa Gereja itu akan sanggup melaksanakan tugasnya dalam menyebarkan Injil diluar lingkungannya. Apalagi karena sikapnya ke dalam adalah lambat dan lamban.

Tetapi para pekabar Injil di Belanda yang baru bergabung dalam NZG (1797) tidak puas dengan keadaan tersebut. Seringkali tercantum dalam acara sidang soal Pekabaran Injil di pulau Jawa. Tetapi adpis-adpis yang diterima oleh NZG dari "Hindia-Belanda" terutama dari para tokoh yang bertanggung jawab membuat orang mengalah terhadap pendirian pemerintah. Misalnya Gubernur Jendral Baud (1833), seorang Kristen yang telah mengaku percaya, menulis bahwa pemerintah akan mengawasi dengan keras "tiap usaha untuk bekerja di Jawa guna kepentingan Pekabaran Injil, buat mencegah agar keamanan jangan terganggu oleh tindakan-tindakan yang keterlaluan". Bahwa kata-kata ini bukanlah kata-kata kosong belaka ternyata pada tahun 1831, ketika seluruh buku-buku Perjanjian Baru yang baru dicetak dalam bahasa Jawa terjemahan Brückner disita oleh pemerintah. Bahkan sejumlah traktat (surat selebaran) harus diserahkan juga, meskipun orang-orang Jawa di Semarang hampir menyerbu ke dalam rumah Brückner untuk memperoleh sebuah traktat dengan harga yang tinggi sekalipun yakni 30 sen. Masih dalam tahun 1847 Gubernur Jendral Van Rokhussen berkata kepada Ds. Van Rhiyn di suatu audiensi ketika ia sedang melakukan perjalanan ke seluruh Indonesia, bahwa "pemberitaan Injil yang bebas mau tak mau harus mengakibatkan suatu perubahan besar dalam sistim pemerintahan".

Dan bagaimanakah reaksi kalangan Pekabaran Injil di Belanda terhadap sikap pemerintah ini? Tentulah mereka diliputi oleh perasaan kuatir, tetapi segera mereka mengalah. Lagi pula ternyata, bahwa justru orang-orang mereka di Indonesialah yang membela politik pemerintah. Bahkan seorang kawan Pekabaran Injil seperti Ds. Lenting yang ikut membentuk Lembaga Alkitab Indonesia, menulis bahwa "sebelum pemerintah dengan tak bersyarat memberi izin kepada para pekabar Injil, maka ia berusaha mempertinggi perabadan rakyat dengan memberikan pengajaran kepada anak-anak tentang soal-soal kesusilaan dalam bahawa Jawa agar supaya mereka memperoleh persiapan untuk memeluk agama Kristen". Dan ketua Lembaga kerjasama Pekabaran Injil di Jakarta, yang adalah seorang pegawai tinggi, berkata bahwa "sebagai pegawai pemerintah ia tidak menyetujui dilakukan penginjilan terhadap orang-orang Jawa".

Jadi pulau Jawa sebenarnya merupakan lapangan tertutup. Para pekabar Injil yang dikirim oleh NZG, diteruskan ke Indonesia Timur sungguhpun sebenarnya mereka diuntukkan bagi pulau Jawa. Hanya Lembaga Alkitab Belanda sajalah yang boleh menempatkan seorang ahli bahasa, yaitu Gericke di Surakarta. Satu-satunya pekabar Injil di Jawa ialah Brückner, yang ditempatkan oleh NZG di Semarang sebagai pendeta Gereja Protestan. Tetapi setelah setahun berpindahlah ia ke Perhimpunan Pekabaran Injil Baptis (Baptist Missionary Society). Sayang bahwa perkumpulan ini tidak mau menunjang pekerjaanya. Sesudah perjalanan keliling oleh Ds. Van Rhiyn (1847-'49) barulah terjadi perubahan yang besar, ketika Yellesma ditempatkan di Surabaya. Dari sana ia mendapat izin untuk memasuki daerah pedalaman Jawa sebagai pekabar Injil yang pertama. Iapun menetaplah di Mojowarno.

Sikap pemerintah dan kelambanan masyarakat Kristen telah menyebabkan, bahwa setengah abad lamanya terbuang-buanglah segala kesempatan untuk menanamkan Gereja Kristus di pulau Jawa. Hampir tak dapat kita menduga betapa besarnya kesempatan-kesempatan tersebut. Yang pasti ialah bahwa pada waktu itu Islam hampir belum berakar di dalam masyarakat Jawa. Memang ia telah meresap juga, mula-mula ke dalam istana-istana para sultan lalu dari sana ke rakyat jelata, tetapi sudah tak dapat dilenyapkannya tradisi Jawa-Hindu yang kaya itu serta kegemaran akan mistik. Kebanyakan orang pada waktu itu tidaklah secara sadar serta penuh keyakinan menganut agama Islam itu. Mereka mengikuti kiainya, gurunya saja, dan banyak bukti menunjukkan bahwa tanpa berpikir mereka akan bersedia memeluk agama lain jika itu misalnya diinginkan oleh rajanya ataupun pemerintah. Seandainya telah dilakukan suatu gerakan pekabaran Injil yang sungguh-sungguh, tak dapat tiada banyak orang dapat dihimpunkan di sekitar Kristus.

Tetapi kita melihat bahwa daya hidup Injil menjelma dengan cara-cara yang lain, jika jalan-jalan resmi ternyata tertutup baginya. Malah dapat dikatakan bahwa puluhan tahun pertama dari sejarah Gereja di Jawa merupakan suatu sejarah daripada daya-saksi beberapa oknum. Semata-mata atas inisiatif sendiri tanpa campur tangan Gereja dan organisasi Pekabaran Injil mereka merasa terpanggil untuk mengaku Tuhannya di tengah-tengah masyarakat Jawa. Nama-nama seperti bapak Emde, Coolen, nyonya Philips, Oostrom dan Le-Yolle bahkan pegawai-pegawai tinggi seperti Esser, dan terutama Anthing patutlah dicatat dalam sejarah Gereja di Jawa.

Kesaksian para saksi ini anehnya disambut dengan hati terbuka oleh pihak masyarakat Jawa. Maklum dalam masyarakat ini terdapat banyak sekali "pencari ngelmu". Mereka berkumpul di sekeliling guru dan kiainya supaya dengan demikian bisa memperoleh pengetahuan tentang hidup sejati dan kekuatan untuk mendapat selamat serta kesejahteraan. Dengan pelbagai cara para guru dan kiai ini menuntut ilmu yang dalam-dalam. Di antara mereka terdapat pertapa-pertama yang berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun lamanya hidup sendirian di kaki-kaki atau di lereng-lereng gunung terutama di gunung Kelud. Ada juga "santri-santri" yang telah memperoleh pendidikan Islam dan mistik di salah suatu pesantren. Dalam pada itu apa yang disebut "primbon" memainkan juga peranannya yang penting. Terutama kedatangan seorang Ratu Adil di masa yang akan datang menjadi perhatian serta buah pembicaraan banyak orang.

Selanjutnya kita melihat bahwa para kiai dan guru ini rada saling berkonkurensi. Dalam perdebetan yang sering terjadi mereka saling mencoba meyakinkan kebenaran serta kekuatan ajaran-ajarannya. Sering terjadi bahwa guru yang kalah sesudah perdebatan demikian menjadi pengikut dari sang guru itu yang ternyata memiliki ngelmu yang lebih kuat. Dengan sendirinya para pengikutnya akan diserahkannya juga kepada sang pemenang. Jadi suasana rohani di Jawa tidaklah tenang dan lembek, tetapi serba terbuka dan hidup. Ini ternyata juga dengan jelas pada asas-asas agama Kristen di Jawa. Perjumpaan antara para saksi Yesus Kristus dengan para "pencari ngelmu" mengakibatkan dibentuknya kumpulan-kumpulan bahkan jemaat-jemaat yang sebenarnya merupakan permulaan Gereja di Jawa.

Hal yang jelas ialah bahwa perjumpaan Injil dengan ngelmu mengakibatkan suatu pergumulan. Sebab Injil bukan merupakan ngelmu tertinggi seperti yang diharap-harapkan, penuh daya hidup dan hikmat seperti yang diinginkan, dan Sang Ratu Adil tidak dapat disama-oknumkan begitu saja dengan Tuhan Yesus Kristus beserta KerajaanNya. Pergumulan rohani ini malah menyentuh tingkah-laku orang-orang Kristen muda itu. Haruskah mereka tinggalkan cara hidup Jawa atau tidak? Itulah soal yang sudah muncul pada Kristen dalam bentuk Jawa ataukah Barat.
masa pertama hidup Gereja di Jawa, yaitu soal tentang agamaBahwa ada orang-orang Jawa yang minta dibaptiskan, agak menimbulkan juga pelbagai persoalan bagi pemerintah dan Gereja yang resmi, yaitu Gereja Protestan. Seperti telah kita lihat, pemerintah mencegah Pekabaran Injil untuk menginjili pulau Jawa. Tetapi ia tak dapat melarang orang-orang Jawa menjadi Kristen, sebab menurut undang-undang dasar ia bersikap "netral" dalam soal agama. Yang dianggapnya menjadi tugasnya ialah menjaga supaya jangan timbul kerusuhan dan jangan terjadi hal-hal yang tidak adil. Memang ada beberapa kejadian di mana pegawai-pegawai Eropa harus bertindak untuk melindungi orang-orang Kristen Jawa terhadap para bupati dan para lurah. Mereka ini mencoba merintangi terbentuknya kumpulan-kumpulan Kristen, sebab orang-orang Kristen itu tidak lagi bersedia pergi kepada penghulu yang resmi untuk meneguhkan pernikahan mereka; dan ini berarti bahwa pemasukan-pemasukan wang tertentu ke dalam kas desa dan sebagainya menjadi berkurang. Ditinjau dari keadaan ini dapatlah dimengerti, bahwa orang-orang Kristen ini lebih suka mendirikan desa-desa sendiri supaya dengan demikian dapat menghindari gangguan-gangguan para bupati dan lurah itu.

Tetapi bagaimanakah sikap "Gereja yang resmi" terhadap orang-orang Kristen Jawa ini? Pada waktu itu dialah satu-satunya yang berhak untuk memiliki anggota-anggota serta menerimanya dengan perantaraan baptisan. Sebenarnya di samping Gereja ini tidak ada seorangpun di Jawa yang berhak menghimpunkan jemaat-jemaat serta membentuk kumpulan-kumpulan. Keadaan ini menjelaskan mengapa orang-orang Jawa yang pertama telah dibaptiskan di lingkungan Gereja Protestan. Buku-buku baptisan di jemaat-jemaat Surabaya, Semarang, Purwokerto penuh dengan nama-nama Jawa. Bahkan beberapa di antaranya dibaptiskan di Jakarta, misalnya Sadrakh, seorang tokoh pemimpin yang besar di antara orang-orang Kristen di Jawa. Dalam pada itu hampir tidak pernah dipersoalkan kalau-kalau di samping Gereja Protestan harus dibentuk juga suatu Gereja khusus untuk orang-orang Jawa. Di Jawa Tengah pernah ditawarkan kepada beberapa pekabar Injil untuk bekerja sebagai "pendeta pembantu" Gereja Protestan dan berusaha memasukkan kumpulan-kumpulan Jawa yang sudah ada ke dalam lingkungan Gereja Protestan. Tetapi maksud tersebut dilepaskan sehingga tidak jadi dilaksanakan, ketika Pekabaran Injil sudah cukup mengutus tenaga-tenaga yang diberi hak memimpin ibadat dan membaptiskan orang. Dengan demikian maka jemaat-jemaat Pekabaran Injil berdiri sendiri lepas dari Gereja Protestan. Pada asasnya kalangan Gereja Protestan menyetujui peraturan tersebut. Tambahan pula mereka merasa tak sanggup untuk memperluas Gerejanya itu. Terikatnya Gereja itu kepada negara "netral" dan buruknya keadaan keuangannya membuat ia tidak mungkin untuk melaksanakan pekabaran Injil. Peranannya ketika itu hanyalah berupa hak untuk memberi tempat perlindungan bagi orang-orang Kristen Jawa, sehingga mereka akhirnya bisa memperoleh Gerejanya sendiri.

Jadi lukisan Gereja di Jawa pada abad ke-19 adalah sangat beraneka warna. Injil bukannya memasuki suatu dunia ynag belum dijamah sama sekali, melainkan kesaksian Kristen itu berbentrokan dengan segala aliran rohani yang serba muskil dari agama Islam dan tradisi lama, dan dengan segala nisbah yang sama muskilnya di dalam kehidupan masyarakat dan ekonominya. Di dunia semacam itulah Injil harus membuktikan daya hidupnya.


Catatan: dialihaksarakan ke ejaan baru oleh SABDA
Bibliografi
Artikel ini diambil dari:
Kruger, Dr. Th. Muller. 1966. Sejarah Gereja di Indonesia. Badan Penerbitan Kristen-Djakarta.
kembali ke atas