Dari Sejarah Alkitab Indonesia
Menuju gereja berdiri sendiri
Sama seperti di Jawa Tengah, Zending Gereformeerd bermaksud hendak menciptakan prasarana bagi gereja yang mandiri. Akan tetapi, di Sumba proses ini tidak berlangsung dengan sama cepat seperti di Jawa Tengah (lihat § 46). Jemaat Kambaniru dinyatakan berdiri sendiri pada tahun 1916 (artinya, pada tahun itu ditahbiskan penatua dan diaken). Hanya, Kambaniru adalah jemaat orang Sawu; barulah pada tahun 1937 dua jemaat Sumba berdiri sendiri. Pada masa itu terdapat 4.000 orang Kristen. Sebetulnya peresmian jemaat Sumba bisa berlangsung lebih dulu, tetapi soal poligami (perkawinan ganda) mempersulit pengangkatan majelis, sebab orang yang hidup berpoligami tidak diterima menjadi anggota majelis. Di samping penatua dan diaken dibutuhkan pula penghantar jemaat. Tenaga pelayanan ini disediakan lewat pendidikan dalam sekolah pendidikan guru (normaalcursus) yang pada tahun 1914 didirikan di Payeti, dan lewat Kursus Teologi yang pada tahun 1924 dimulai di karuni. Akan tetapi, sampai tahun 1942 tidak satu pun penghantar jemaat yang ditahbiskan menjadi pendeta, meskipun jemaatnya telah dinyatakan berdiri sendiri. Pada tahun 1931 jemaat Melolo memanggil seorang guru injil (yang bukan anak daerah, bnd. kejadian serupa di Toraja, § 40) agar menjadi pendetanya. Akan tetapi, dua pendeta utusan menyatakan kepada guru Injil tersebut bahwa Melolo "belum matang" secara rohani dan finansial, dengan akibat ia tidak berani menerima panggilan. Zending mengupayakan pula penerjemahan Alkitab. Langkah pertama di bidang itu dilakukan oleh pendeta zending D.K Wielenga (1904-1921 di Sumba), tetapi karena tugas seperti itu sulit untuk diselenggarakan di samping sekian tugas lain, maka Lembaga Alkitab Belanda (§ 30) mengutus seorang ahli bahasa bernama L. Onvlee (di Sumba (1926-1955). Pada tahun 1961 PB bahasa Kambera (Sumba Timur) dan pada tahun 1970 PB bahasa Wewewa (Sumba Barat) diterbitkan oleh LAI. Sebelum perang hanya tersedia buku bacaan Alkitab. Di tahun 1941 diterbitkan pula kumpulan Mazmur dan nyanyian rohani dalam bahasa Kambera yang memakai gaya sastra Sumba dan yang bisa dinyanyikan dengan lagu Eropa dan dengan lagu Sumba asli. Semua karangan tersebut dikerjakan bersama dengan tokoh-tokoh masyarakat Sumba, diantara Umbu H. Kapita, yang pada masa kemerdekaan mengepalai bagian pendidikan dalam pemerintahan daerah tingkat II Sumba. Di samping Alkitab berbahasa Melayu, karangan-karangan itulah yang menjadi bekal jemaat-jemaat Sumba selama masa Jepang. Nasib orang Sumba pada waktu itu berat: sebab letak pulau Sumba dekat Australia, maka di sana terdapat pasukan Jepang yang kuat dan banyak orang yang ditangkap oleh Kempetai karena dicurigai sebagai mata-mata Sekutu.
Bibliografi | |
Artikel ini diambil dari: |